Selasa, 23 April 2013

Desakralisasi UN


UN sudah sedemikian sakral, melebihi sakralitas pemberantasan korupsi. Ini harus segera diakhiri.

Ada pemikiran agar UN dihapus saja.

Ada juga pemikiran UN masih dibutuhkan yang salah satu alasannya adalah untuk mengetahui tingkat pendidikan secara nasional.

Saya pribadi berpendapat bahwa UN masih dibutuhkan dengan beberapa modifikasi terutama pada desakralisasi UN dan mempermurah biaya baik biaya finansial maupun biaya sosial. Semua cerita haru biru UN yang hanya diketahui oleh para pengambil kebijakan di jakarta melalui media cetak dan elektronik tapi tidak menyaksikan langsung dan semua cerita haru biru ini harus segera diakhiri. Negara didirikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk menstreskan kehidupan bangsa.

Alokasi APBD sistem merit point


Saya tidak begitu faham bagaimana mekanisme dan parameter serta rumusan dalam membagi alokasi anggaran perdaerah, baik itu oleh legislatif maupun eksekutif. Namun yang membuat miris adalah isu tentang adanya upaya dari beberapa daerah untuk menaikkan jumlah alokasi anggaran untuk daerah mereka dengan berbagai cara. Sepertinya negara ini dibangun dengan lobying. Hal ini apabila dibiarkan berlangsung terus selain tidak mendidik, juga akan mengganggu proses reformasi birokrasi yang semakin sayup – sayup dan sering menjadi bahan tertawaan beberapa teman birokrasi.

Bahkan sering terjadi penambahan anggaran yang tidak pada tempatnya, seperti penambahan anggaran pengembangan hutan padahal hutan di daerah tersebut tidak seberapa luas, sementara daerah yang memiliki hutan yang sangat luas justru hanya mendapat tambahan anggaran yang minim. Di bidang lain ini juga sering terjadi yang seperti ini.

Harus ada rumusan yang jelas bagaimana anggaran dialokasikan perdaerah. Dan pintu lobying harus ditutup rapat dengan menciptakan sistem dan prosedur yang ketat dan kaku sehingga tak perlu lagi para pejabat daerah melakukan lobying ke pemerintah pusat.

Standarisasi hukuman dan ganti rugi


Walaupun sebenarnya sudah menjadi pemandangan yang biasa, namun mendengar bahwa seorang maling kerbau dan seorang koruptor ratusan juta dan seorang koruptor puluhan milyar sama – sama dihukum dengan masa hukuman yang nyaris sama, ternyata membuat miris pikiran sehat kita.

Seorang teman yang berdisiplin ilmu hukum pernah menyampaikan bahwa dalam KUHP tidak ada standar dan korelasi antara jumlah penyimpangan dengan masa hukuman. Malah bisa saja kerugian yang lebih kecil justru mendapat hukuman yang lebih besar. Dan ini jelas sangat menginjak rasa keadilan publik. Bukankah hukum gunanya untuk menegakkan keadilan ???

Ada baiknya peraturan hukum ditinjau kembali dengan memasukkan logika matematis terhadap masa hukuman yang dikorelasikan dengan jumlah kerugian negara. Perlu dibuat tabel fungsi antara masa hukuman dengan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan sehingga di samping memberi rasa keadilan publik, juga akan memberi efek jera.

Namun, apakah kita akan berhenti dengan penghukuman demi penghukuman ?

Masa depan nasionalitas birokrasi


Ada apa dengan CPNS 2005 ? Selain mencari nafkah, entah apa yang dikejar dengan menjadi PNS ? Saya sendiri seorang PNS.

Otonomi Daerah telah membuat degradasi nasionalisme di birokrasi. Bayangkan bila seorang Bendahara Proyek sudah tidak tahu dan tidak mau tahu siapa Menteri Keuangan, padahal Menteri Keuangannya cakepnya minta ampun. Degradasi nasionalisme ini akan semakin meluas jauh dengan sistem seleksi CPNS yang kental dengan nuansa kedaerahan.

Bila kita bedah lebih jauh anatomi CPNS 2006, maka di Pemerintahan Kabupaten akan didominasi CPNS dari kabupaten itu sendiri, di Pemerintahan Kota akan didominasi CPNS dari Kota itu sendiri, di Pemerintahan Provinsi akan didominasi CPNS dari tempat domisili ibukota provinsi itu sendiri. Demikian juga di instansi Departemen akan didominasi oleh CPNS tempat domisili Departemen tersebut. Sedikit lebih luas jangkauannya apabila Departemen tersebut melakukan seleksi CPNS perwilayah sebagaimana halnya Departemen Agama dan Kejaksaan.

Jumat, 19 April 2013

BBM 2 Harga


Telah berkembang wacana penjualan BBM 2 harga. Ini akan menjadi masalah di lapangan. Bila dijual 2 harga, apakah SPBU juga akan membeli 2 harga ? Tentu harus dibuat jalur yang berbeda antara angkutan umum dan angkutan pribadi. Bagaimana dengan angkutan barang/jasa akankah wajib membeli BBM nonsubsidi ? Bila ini terjadi akan menimbulkan kenaikan harga bahan pokok. Bagaimana dengan para petani dan peladang serta pekebun pedesaan yang memakai kenderaan pribadi sebagai sarana pengangkutan hasil pertaniannya ? Tentu harga BBM nonsubsidi akan masuk pada komponen modal pak tani dan harus diperhitungkan dalam menentukan harga jual hasil pertaniannya.

Dan apakah BBM 2 harga akan menjadi satu-satunya kebijakan yang akan diambil pemerintah ?

Saya melihat bahwa pemerintah pusat terutama Kementrian ESDM tidak mengetahui kondisi riel rakyat pengkonsumsi BBM. Mereka hanya tahu bahwa BBM subsidi dipakai oleh yang tidak berhak yaitu kenderaan pribadi. Mereka tidak tahu bahwa banyak kenderaan pribadi justru menjadi sarana mencari penghidupan rakyat dan menjadi komponen modal yang menjadi salah satu faktor penentuan harga jual produk komoditi barang/jasa terutama barang kebutuhan pokok. Dan angkutan umum juga akan berpotensi pengembangan mata pencaharian baru berupa menjual BBM dari tangkinya kepada kenderaan pribadi secara diam-diam tanpa bisa terawasi.

Preman, Suatu Ketika


Preman identik dengan kekerasan, keamanan, kriminal, urbanisasi, tato.

Preman hadir pada umumnya di wilayah yang tidak terjangkau oleh negara selama 24 jam. Preman ada di jalanan, bukan di perkantoran. Preman eksis secara riel di lapangan. Sepanjang yang saya tahu preman menguasai pengamanan areal tertentu seperti parkir, hiburan, pusat perbelanjaan, pasar dll.

Preman sering berkelompok, yang pada umumnya berbasis kedaerahan dan sebagai efek urbanisasi. Berbicara urbanisasi maka kita bicara tentang lapangan pekerjaan. Daerah asal hanya menjanjikan pekerjaan bertani, berladang dan dagang kelas kampung. Dan ini bukan pekerjaan yang bergengsi. Maka para putra daerah ini mencoba mengadu nasib ke kota. Bagi yang memiliki keterampilan mereka bisa bekerja di sektor riel formal. Bagi yang hanya modal nekad mereka siap bekerja dengan modal keberanian. Di kota bagi yang tak memiliki keluarga, mereka akan mencari komunitas sedaerah. Bergabunglah mereka dengan kelompok-kelompok kedaerahan. Bagi yang kebetulan bergabung dengan kelompok berbasis preman, maka merekapun terpaksa mempremankan dirinya. Yang tak pernah perkelahi terpaksa harus belajar berkelahi. Demikian seterusnya preman tumbuh subur seiring dengan urbanisasi dan minimnya lapangan pekerjaan di desa.

Perkembangan Program Konversi BBM Ke Gas


Di tengah belum hilangnya ingatan masyarakat tentang momok ledakan gas elpiji, program konversi BBM ke gas semakin melebarkan sayap ke kabupaten – kabupaten. Hal ini menimbukan kekhawatiran dalam berbagai bentuknya.

Memang tidak mudah bagi masyarakat untuk menerima sesuatu yang baru, apalagi hal baru tersebut pernah menjadi masalah dan dipertontonkan di media elektronik.

Dan tidak mudah bagi masyarakat untuk meninggalkan hal yang lama yang sudah begitu familier bagi kehidupannya.

Pemerintah dihadapkan pada pilihan – pilihan. Dan pemerintah kelihatannya memilih meneruskan program konversi BBM ke gas dengan segala konsekuensinya.

Solo, Calon Ibukota Alternatif


Jakarta macet. Apakah itu saja ? Tidak. Jakarta banjir, Jakarta sumpek. Apalagi ? Malah ada pepatah : ”Kejam ibu tiri, lebih kejam ibukota”. Nah, lho ???

Bagaimanapun juga Jakarta sebagai ibukota negara adalah tempat tujuan dari segala – galanya.

Jakarta merupakan pusat pemerintahan, pusat bisnis dan ekonomi, pusat pendidikan, dan sebagainya. Orang mau cari kerja, datang ke Jakarta. Orang mau mengadu nasib, datang ke Jakarta. Ingin karir PNSnya bertambah baik, datang ke Jakarta. Karir pekerjaannya bagus, ditarik ke Jakarta. Hampir semua ke Jakarta. Bahkan preman, pengemis dan tukang copet yang ingin pekerjaannya lebih meningkat penghasilannya, datang ke Jakarta. Mau diapain lagi ? Semua berjalan alami bahkan mulai dari zaman Belanda, yang dulunya bernama Sunda Kelapa atau Batavia, yang mana duluanpun aku sudah lupa.

(Bermimpi) Calon Independen Plus Pada Pemilukada


(bermimpi) CALON INDEPENDEN PLUS PADA PEMILUKADA

Sudah bukan rahasia lagi bahwa harga perahu politik pada event pemilukada merupakan sesuatu yang sangat mahal. Banyaknya peminat sementara terbatasnya ketersediaan dukungan politik ditambah kepentingan internal partai membuat harga perahu politik menjadi sedemikin mahal. Hal ini nyata tapi takkan pernah terbuktikan secara hukum karena semuanya takkan pernah meninggalkan bekas dan jejak.

Atas dasar pemikiran di atas maka ide tentang calon kepala daerah non partai menjadi penting. Muncullah ide calon independen. Calon independen maju mengikuti pentas politik pemilukada dengan dukungan langsung rakyat dengan bukti fotokopi KTP. Namun ternyata dukungan fotokopi KTP ini banyak pihak yang meragukannya karena banyak pihak yang bisa menyediakan fotokopi KTP baik dengan cara yang baik ataupun cara yang kurang baik. Sehingga kemurnian dan kesungguhan dukungan secara langsung rakyat kepada calon independen dengan pembuktian jumlah fotokopi KTP menjadi kurang meyakinkan.

Polemik UU BHP


Ada apa dengan UU BHP ? Saya sendiri belum pernah membaca isi dari UU Badan Hukum Pendidikan tersebut. Namun dari polemik yang berkembang di media massa ada kecurigaan di mana pendidikan dan perguruan tinggi akan dikelola secara otonom dan mencari sendiri biaya operasionalnya yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan biaya pendidikan sehingga pendidikan tinggi hanya akan bisa dinikmati oleh mereka yang berasal dari keluarga kaya sementara keluarga miskin tidak bisa menikmati pendidikan tinggi padahal salah satu tujuan kemerdekaan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan juga ada kecurigaan akan adanya komersialisasi pendidikan tinggi.

Sayang sekali saya tidak punya data berapa sebenarnya kebutuhan operasional pembiayaan seluruh PTN seIndonesia, di luar kebutuhan insfrastruktur dan pendidikan dosen untuk sekolah magister dan doktoralnya. Dan berapa biaya yang ditanggung oleh para mahasiswa. Serta berapa akhirnya beban subsidi yang harus ditanggung pemerinmtah dalam membiayai pendidikan tinggi negeri.

Disiplin PNS


Di tengah gencarnya aksi pemberantasan korupsi yang membuat posisi dan kehormatan PNS berada pada posisi terendah abad ini, membicarakan PNS masih cukup menarik untuk dibahas.

PNS masih merupakan tulang punggung administrasi negara. Dalam menjalankan administrasi negara tersebut, hal paling penting yang harus segera dibenahi adalah disiplinitas PNS. Sudah bukan rahasia lagi bahwa salah satu bentuk ketidak efektifan dan ketidak efisienan administrasi negara disebabkan disiplin yang amburadul. Berdasarkan survei dan pengamatan pribadi, ketidak disiplinan ini, selain dipengaruhi kepribadian, adalah disebabkan tidak adanya perbedaan antara disiplin atau tidak disiplin. Disiplin atau tidak, gaji tetap terus mengalir. Disiplin atau tidak, tunjangan jabatan, tunjangan operasional dan tunjangan lainnya tetap terus mengalir. Disiplin atau tidak, pangkat/golongan akan naik terus. Bahkan banyak ditemukan para PNS hanya datang pada tanggal 1 setiap bulan hanya untuk mengambil gaji dan tunjangannya dan langsung pulang dengan kehidupan yang aman sentosa tanpa pernah berhadapan dengan aparat pemberantasan korupsi. Sementara para PNS yang memiliki kesadaran kedisiplinan mendapat hasil materi yang sama, bahkan karena disiplin bekerja sehingga harus terus menerus berhadapan dengan para aparat pemberantasan korupsi.

Parpol dan Kualitas : Refleksi Ke Depan


Bila kita bedah anatomi SDM suatu parpol di daerah, dari 100 % pengurus maupun aktifisnya, berapa persenkah dari mereka yang tahu nama ketua umum dan Sekjen DPP/DPWnya, wakil parpolnya di kabinet, ataupun memiliki / pernah membaca ataupun memahami AD/ART parpolnya ? Yang lebih mengkhawatirkan adalah berapa persen dari mereka yang benar – benar memperjuangkan aspirasi masyarakat lewat parpolnya / fraksinya di DPRD ?

Secara eksak pertanyaan di atas tak bisa dijawab tanpa memiliki data yang sah sebagai dasar pemberian nilai, namun secara abstrak bisa kita jawab walaupun akan banyak pihak yang mempertanyakan dasar penilaian yang abstrak tersebut.

Tanpa bermaksud mengecilkan arti penting parpol di daerah, saya pribadi mengeluhkan rendahnya kualitas SDM dan pengabdian pengurus / aktifis parpol di daerah dalam berpolitik keseharian. Pertanyaan di atas sering saya lontarkan secara guyonan kepada teman – teman aktifis parpol di daerah dan jawabannya sungguh mengecewakan.

Link Data Base Perguruan Tinggi Dengan Dunia Usaha/Industri



Pada suatu malam, saya merenung menatapi iklan pelelangan nasional yang menjadi kewenangan Harian Media Indonesia. Bila dihitung secara kasar di mana untuk satu penayangan iklan lelang akan memakan biaya kurang lebih 2,5 juta rupiah, maka sudah berapa banyak anggaran pemerintah pusat dan daerah yang habis hanya untuk biaya iklan lelang saja ? Akan sangat hemat apabila teknologi informasi bisa diterapkan pada pelelangan nasional dengan penayangan iklan pada internet di website www.pengadaan-nasional.bappenas.go.id namun kendala kembali berpulang pada ketidaksiapan SDM baik di kalangan pemerintah maupun swasta sendiri terutama di daerah.

Rabu, 17 April 2013

Penundaan UN Dalam Perspektif Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


Secara teknis administratif pengadaan barang/jasa pemerintah mengalami kegagalan itu biasa. Mulai dari kegagalan yang di luar kendali akibat kondisi alam sampai pada kegagalan berbentuk fiktif. Namun pengadaan barang/jasa untuk pencetakan dan distribusi soal dan jawaban ujian nasional ketika mengalami masalah, walau sebenarnya bersifat teknis administratif namun mengingat UN sudah bersifat nasional dan berdimensi politik tinggi, ditambah dengan tahun-tahun politis maka keterlambatan distribusi soal dan jawaban UN menjadi permasalahan politik. Pencetakan dan distribusi soal dan jawaban UN yang secara teknis administratif merupakan tanggungjawab pejabat pembuat komitmen (sama dengan pimpro) dan pejabat pembuat komitmen bertanggungjawab kepada kuasa pengguna anggaran namun permasalahan ini justru langsung mempermalukan Mendikbud dan Presiden.

Manajemen Pensiun PNS


Pada pemberitaan menyebutkan bahwa salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden mengusulkan percepatan pensiun PNS dari 55 – 58 tahun menjadi 50 tahun.

Ada apa dengan pensiun ¿

Pada umumnya orang mengejar jadi PNS salah satunya karena mempunyai uang pensiun di hari tuanya. Sementara usulan usia pensiun 50 tahun tentu akan membawa implikasi terutama implikasi sosial mengingat image bahwa pensiun itu di hari tua sementara usia 50 tahun walaupun sudah tua namun belum bisa disebut menjalani hari tua.

Bila dilihat anatomi jumlah PNS memang terlalu banyak, apalagi setiap tahunnya masih terus dilakukan penambahan PNS. Padahal bila dibedah ternyata sebagian besar adalah sudah tidak produktif lagi baik dari segi umur maupun kapasitas. Tentu usulan umur pensiun 50 tahun akan menjadi kabar baik dan salah satu alternatif perampingan jumlah PNS.

Kunjungan Kerja Pejabat : Antara Biaya dan Pola Hidup Sederhana


KUNJUNGAN KERJA PEJABAT : ANTARA BIAYA DAN POLA HIDUP SEDERHANA

Apa yang terlintas di pikiran para pejabat daerah apabila akan ada pejabat dari pusat akan berkunjung ke daerahnya dalam rangka kunjungan kenegaraan atau peresmian sebuah momen pembangunan ?

Yang pasti adalah harus memeriahkan kunjungan dan pengamanan.

Adalah hal yang lumrah apabila kunjungan kerja pejabat pusat ke daerah harus dibuat semeriah mungkin, karena jarang – jarang seorang pejabat pusat berkunjung ke daerah, apalagi daerah yang jauh dari pusat kekuasaan. Juga hal yang lumrah apabila kunjungan tersebut harus dijaga keamanannya. Di samping untuk keamanan dan kenyamanan kunjungan juga untuk menjaga nama baik daerah.

Dari kedua hal di atas, apakah selanjutnya yang terbit di pikiran para pejabat daerah ?

UU BHP, Jangan Cengeng


Bagi sekolah dan perguruan tinggi swasta mereka tidak ambil pusing dengan keberadaan UU BHP karena toh selama ini mereka sudah membiayai sendiri seluruh kebutuhan institusinya, termasuk pembiayaan infrastruktur.

Memang sangat tidak masuk akal apabila UU BHP diterapkan kepada sekolah dasar negeri dan menengah umum negeri karena jangankan untuk membiayai sendiri operasioanl sekolahnya, dengan bertabur subsidi saja mereka masih kesulitan mengembangkan pendidikannya.

UU BHP lebih layak diterapkan kepada sekolah menengah kejuruan negeri dan perguruan tinggi negeri karena target kelulusan mereka adalah untuk bisa bekerja sendiri atau bekerja pada orang / perusahaan lain. UU BHP merupakan “sarana pemaksa” bangkitnya wirausaha SMK dan perguruan tinggi negeri.

Elektronisasi Birokrasi Pemda


Pada beberapa pilkada setelah pengumuman hasil perhitungan suara dan pengumuman pemenang pilkada, maka pihak yang kalah tidak menerima hasil perhitungan suara. Biasanya alasan yang dipakai adalah adanya penggelembungan suara, ketidaksesuaian data pemilih dan lain sebagainya yang berkaitan dengan data pemilih manual. Berapa banyak energi, waktu dan biaya akibat dari konflik pilkada berbasis data ini.

Pada beberapa pemda, terjadi kebingungan penentuan jumlah PNS di daerahnya karena setiap kali dilakukan pendataan selalu terjadi perbedaan jumlah. Belum lagi jumlah perkategori, kategori kesarjanaan atau kategori umur misalnya. Yang ini akan berimbas pada perhitungan penggajian.

Pada beberapa pemda, terjadi kesulitan dalam menyusun sebuah Perda karena minimnya peraturan manual yang dimiliki sementara akses ke sumber data peraturan tersebut tidak ada kecuali akses langsung yaitu mendatangi langsung sumber peraturan tersebut, itupun tidak bisa langsung diperoleh. Sehingga terjadi perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Jaringan Komunikasi Antar Lembaga Pemerintah


Secara hukum, apakah seseorang yang tidak mengetahui aturan hukum karena memang aturan hukum tersebut tidak sampai padanya ataupun sampai secara formal maupun informal tapi tidak ada sosialisasi terhadap aturan hukum tersebut sehingga aturan hukum tersebut tidak terterapkan ataupun diterapkan tidak sebagaimana mestinya akan membawa pada implikasi hukum ?

Pertanyaan ini sering terjadi ketika lembaga pemeriksa seperti KPK, BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal Departemen dan Inspektorat Pemerintah Propinsi / Kabupaten / Kota melakukan pemeriksaan rutin ataupun insidentil yang menyampaikan temuan penyimpangan yang terjadi pada suatu instansi tertentu dengan menghubungkannya dengan peraturan tertentu. Sehingga timbul kesan bahwa ketidaktahuan tersebut menjadi alasan utama dalam menyatakan suatu masalah menjadi sebuah temuan penyimpangan atas pemeriksaan pada instansi tersebut.