Pada masa berlakunya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun
2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pelaksanaan
pengadaan barang/jasa dilaksanakan oleh panitia pengadaan yang diangkat oleh
pengguna anggaran yaitu kepala instansi.
Saat itu tidak begitu banyak masalah yang timbul antara kepala
instansi dengan panitia pengadaan karena para panitia pengadaan adalah bawahan
langsung dari pengguna anggaran. Artinya, semua kepentingan terpenuhi dan
berjalan sebagaimana mestinya.
Kalaupun ada permasalahan yang timbul, dengan mudah dapat
ditangani oleh pengguna anggaran mengingat SK panitia pengadaan ditandatangani
oleh pengguna anggaran sehingga tanggung jawab atas permasalahan yang terjadi
melekat pada jabatan pengguna anggaran.
Kesetaraan ULP dengan
PA
Ketika pengadaan sudah berpedoman pada Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
pelaksanaan pengadaan barang/jasa dilaksanakan oleh kelompok kerja yang
bernaung di bawah Unit Layanan Pengadaan (ULP).
Ketidaktegasan tentang regulasi mengakibatkan banyaknya varian
bentuk kelembagaan ULP, mulai dari yang masih mempertahankan lembaga ad
hoc (non struktural)
maupun berbentuk struktural seperti badan pengadaan, biro pengadaan, bagian
pengadaan, ataupun yang dilaksanakan oleh biro pembangunan atau bagian
pembangunan.
Prinsip yang digunakan adalah mencoba untuk menyetarakan posisi
dari pengguna anggaran dengan kepala ULP dan menyetarakan posisi pejabat
pembuat komitmen dengan pokja ULP. Akan tetapi penyetaraan posisi ini tidak
berjalan mulus akibat eselon pejabat pengadaan masih lebih rendah.
Pada level provinsi, misalnya, bila pengguna anggaran memangku
jabatan eselon II A, dan jika kepala ULP dijabat oleh kepala biro pengadaan
yang bereselon II B, maka pejabat pengadaan kalah satu tingkat dari pengguna
anggaran.
Lebih parah lagi bila kepala ULP dijabat oleh kepala bagian
pengadaan yang setingkat jabatan eselon III A. Begitu pula pada level
pemerintah kabupaten/kota, pengguna anggaran pada dinas berada pada tingkatan
eselon II B, sedangkan kepala ULP bila dijabat oleh kepala bagian pengadaan
yang tingkatannya pada eselon III A.
Dengan posisi secara struktural yang kalah tingkatan eselon
seperti itu, maka tekanan dan intervensi terhadap pejabat pengadaan akan begitu
kuat. Namun, bila terjadi permasalahan maka pengguna anggaran tidak punya beban
moral untuk menyelesaikan permasalahan sehingga ULP dan pokja ULP berjalan
sendirian dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.
Hanya ada beberapa pemerintahan daerah yang membentuk badan
pengadaan. Dengan bentuk kelembagaan seperti ini penyetaraan tingkatan eselon
antara pengguna anggaran dan kepala ULP yang dijabat oleh kepala badan
pengadaan sudah tercapai. Kepala ULP sudah bisa duduk dan berdiri pada posisi
yang sama dengan pengguna anggaran.
Munculnya UKPBJ
Dewasa ini, ketika Perpres nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah telah terbit, unit layanan pengadaaan makin memiliki
posisi yang mantap. Perpres itu langsung ditindaklanjuti dengan Peraturan
Lembaga (Perlem) LKPP Nomor 14 Tahun 2018 tentang Unit Kerja Pengadaan
Barang/Jasa (UKPBJ).
Tugas besar yang diemban oleh UKPBJ adalah pelaksanaan tender oleh
pokja pemilihan, pengelolaan sistem pengadaan secara elektronik oleh LPSE,
advokasi permasalahan, dan pembinaan SDM.
Pembinaan SDM di sini bukan semata hanya pada anggota UKPBJ namun
meliputi keseluruhan pelaku pengadaan mulai dari pengguna anggaran, kuasa pengguna
anggaran, pejabat pembuat komitmen, pejabat pengadaan, pokja pemilihan, agen
pengadaan, dan panitia penerima hasil pekerjaan, pejabat penerima hasil
pekerjaan, penyelenggara swakelola, dan penyedia/perusahaan.
Atas dasar tugas besar tersebut, maka bentuk ideal kelembagaan
UKPBJ adalah berbentuk badan pengadaan. Posisinya antara kepala UKPBJ dengan
pengguna anggaran adalah setara.
Kerancuan Permendagri
Namun, kemunduran justru terjadi ketika Kementerian Dalam Negeri
menerbitkan Permendagri Nomor 112 Tahun 2018 tentang Pembentukan UKPBJ di
Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Permendagri tersebut menempatkan UKPBJ di bawah sekretariat
daerah. Adapun klasifikasinya adalah: untuk pemerintah provinsi, UKPBJ kelas A
berbentuk biro pengadaan (eselon II B) dan Kelas B berbentuk bagian pengadaan
(eselon III A).
Klasifikasi untuk Pemerintah Kabupaten/Kota adalah: UKPBJ Kelas A
berbentuk bagian pengadaan (Eselon III A) dan Kelas B berbentuk sub bagian
pengadaan (eselon IV A).
Klasifikasi tersebut didasarkan pada hasil berbagai macam
perhitungan indikator teknis. Perhitungan tersebut meliputi: rata-rata
jumlah paket pengadaan 3 tahun terakhir, rata-rata jumlah paket konstruksi 3
tahun terakhir, rata-rata jumlah paket pengadaan barang 3 tahun terakhir,
rata-rata jumlah paket jasa konsultansi 3 tahun terakhir, rata-rata jumlah
paket jasa lainnya 3 tahun terakhir, jumlah pemegang sertifikat Ahli PBJ,
jumlah OPD, jumlah penyedia terdaftar pada LPSE, dan juga jumlah
kelurahan/desa. Kategori kelas A dibentuk bila total skor variabel lebih dari
500. Sedangkan kategori kelas B dibentuk bila total skor variabel maksimal atau
di bawah 500.
Terlihat bahwa pengaturan bentuk UKPBJ tersebut tidak menampung
aspirasi dari para praktisi dan ahli pengadaan. Kementerian Dalam Negeri lebih
fokus pada pembentukan kelembagaan UKPBJ berbasis beban kerja 3 tahun terakhir.
Kementerian Dalam Negeri tidak memperhitungkan permasalahan
kuantitatif yang terjadi pada setiap tender yaitu permasalahan intervensi dan
kriminalisasi pengadaan. Permasalahan ini tidak terukur namun dominan dalam
pelaksanaan tugas tender barang/jasa.
Intervensi dan kriminalisasi pengadaan menjadi fokus utama
perlunya pembentukan UKPBJ yang independen dalam pengambilan keputusan, bukan
hanya permanen dan struktural semata.
Independensi ini bisa dicapai secara ideal apabila para pokja
pemilihan berada di bawah UKPBJ nasional lepas dari kekuasaan kepala daerah.
Namun, mengingat ide UKPBJ nasional belum realistis untuk saat ini, maka posisi
UKPBJ paling tidak harus disetarakan dengan posisi pengguna anggaran.
Dapat dikatakan, meskipun belum bisa lepas dari intervensi dan
kriminalisasi, tetapi paling tidak posisi UKPBJ tidak kalah dan tidak di bawah
pengguna anggaran.
Dengan demikian, peluang intervensi dan kriminalisasi bisa
diminimalisir. Apalagi dengan posisi eselon II maka jabatan kepala badan
pengadaan akan melalui proses lelang jabatan sehingga tidak mudah bagi kepala
daerah untuk mengganti sesuka hatinya bila hasil pelelangan tidak sesuai dengan
keinginannya.
Sedangkan model UKPBJ versi Permendagri nomor 112 tahun 2018 ini
membuat posisi Kepala UKPBJ hanya kokoh pada jabatan kepala biro pemerintah
provinsi karena melalui proses lelang jabatan.
Adapun pada posisi lainnya yaitu kepala bagian pengadaan yang
hanya eselon III A atau kepala sub bagian pengadaan yang hanya eselon IV
A, sangat rentan untuk diintervensi dan diganti setiap saat tergantung dari
hasil tender apakah memuaskan para pihak atau tidak. Dengan demikian, model ini
rawan mengalami pelemahan kelembagaan.
Epilog
Oleh karena itu, bila kita ingin memperbaiki negara ini, yang
salah satunya melalui perbaikan tata kelola pengadaan barang/jasa, maka selain
opsi pembentukan UKPBJ Nasional maka opsi pembentukan Badan Pengadaan harus
kembali dipertimbangkan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Kalaupun Kementerian Dalam Negeri ngotot dengan format yang ada pada
Permendagri nomor 112 tahun 2018, maka jabatan Kepala UKPBJ apa pun bentuknya
harus melalui seleksi terbuka/lelang jabatan.
Salam reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar