Rabu, 24 Agustus 2016

Corruption Amnesty

Bila kita baca UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2 maka ditemukan defenisi dari korupsi yaitu setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Bila dilihat pada posisi lebih awal lagi bahwa tindak pidana korupsi akan menghambat pembangunan nasional, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional. Maka disusunlah UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan harapan lebih efektif mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

Pergerakan pemberantasan korupsi bila dipandang dari kacamata UU nomor 31 tahun 1999 sudah tidak konsisten lagi kepada tujuan penyusunannya yaitu pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebagian besar pemberantasan korupsi justru berbentuk penindakan korupsi baik yang dilakukan oleh KPK maupun Kejaksaan dan Kepolisian.

Dari defenisinya, korupsi akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Akhir-akhir ini, gerakan pemberantasan korupsi berbentuk penindakan korupsi justru tidak linear dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam bentuk penyerapan anggaran. Penyerapan anggaran identik dengan perputaran anggaran terutama di sektor pengadaan barang/jasa pemerintah. Aktor utama  penyerapan anggaran adalah panitia tender dan pimpro. Proyek bisa dikerjakan apabila proses tender berjalan dan kontrak kerja berjalan. Gerakan pemberantasan korupsi justru tidak linear dengan percepatan penyerapan anggaran. Yang terjadi justru sebaliknya. Sebagian besar PNS tidak bersedia menjadi aktor penyerapan anggaran (panitia tender dan pimpro). Kalaupun ada yang bersedia, ternyasta tidak akan bertahan lama. Derasnya arus penindakan korupsi sampai menyentuh wilayah administrasi dan teknis membuat ranah pidana sudah melewati batas kewajaran. Dan ini mengakibatkan anggaran tidak terserap dan tersimpan di kas negara/daerah. Bahkan sampai pada triwulan ketiga tahun anggaran berjalan sebagian anggaran negara belum terserap dengan baik.

Hal ini membuat risau presiden. Beberapa kali pertemuan presiden dengan kepala daerah serta pimpinan aparat penegak hukum seIndonesia digelar. Terakhir pada tanggal 19 Juli 2016 yang lalu yang mengevaluasi lima kebijakan. Namun toh belum ada perubahan yang signifikan. Diagnosa belum sesuai dengan obatnya.