Minggu, 27 Januari 2019

Menggugah Kembali Semangat Pembentukan Badan Pengadaan Nasional

Di tengah semakin merosotnya semangat dan gairah dunia pengadaan barang/jasa, di tengah masih tingginya angka kriminalisasi pengadaan, di tengah vulgarnya pelanggaran terhadap MOU APH-APIP, dan di tengah tidak berpihaknya Permendagri ttg UKPBJ kepada kaum pengadaan karena ketidaksetaraan instansi PA/KPA dengan UKPBJ. Tiba-tiba pada hari jumat tanggal 25 Januari 2019 yang lalu ada 2 berita besar dalam sejarah pengadaan Indonesia modern. Yang pertama adalah pelantikan bapak Roni Dwi Susanto sebagai Kepala LKPP. Yang membuatnya menjadi menarik adalah latar belakang beliau sebagai mantan Direktur Litbang KPK. Yang kedua adalah Menteri PUPR menyatakan akan membentuk Balai Pengadaan Barang/Jasa di setiap provinsi untuk meningkatkan disiplin dan kualitas pengadaan barang/jasa di lingkungan Kementerian PUPR. Keberadaan Balai Pengadaan Barang/Jasa kemenPUPR akan memisahkan jalur perintah atasan-bawahan antara PA/KPA/PPK dengan UKPBJ/Pokja Pemilihan.

Bila kita mencoba melihat surut ke belakang, begitu banyak diskursus tentang kelembagaan UKPBJ. Mulai dari rentannya UKPBJ terhadap kriminalisasi hingga lemahnya komitmen pimpinan terhadap penguatan kelembagaan UKPBJ. Terakhir dengan ketidaktegasan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah yang tidak tegas dalam menentukan bentuk kelembagaan UKPBJ sehingga melahirkan Permendagri Nomor 112 Tahun 2018 tentang UKPBJ Pemda yang memposisikan UKPBJ lebih rendah dari instansi Pengguna Anggaran. Dengan kata lain pengadaan kalah penting dari urusan perpustakaan yang bisa berbentuk dinas.

Di tengah beragam ketidakberpihakan kontemporer tersebut muncul 2 gebrakan di atas yang melahirkan kembali harapan baru. KPK dan Kementerian PUPR adalah instansi pemerintah kelas kakap. KPK kakap dari segi pengaruh. Kementerian PUPR kakap dari segi anggaran dan SDM serta struktur organisasi.

Rabu, 02 Januari 2019

Konsep Pencegahan Pasca Penindakan OTT KPK

Pada tanggal 28 Desember 2018 malam, tim penindakan KPK kembali beraksi dengan operasi tangkap tangan (OTT) di Kementerian PUPR, kementerian paling gemuk anggarannya dengan total anggaran  106,9 trilyun pada APBN tahun 2018. OTT terjadi pada satuan kerja tanggap darurat pembangunan sistem penyediaan air minum Direktorat Jenderal Cipta Karya dengan korban 8 orang tersangka yaitu 4 orang dari perusahaan, 2 orang pejabat setingkat kepala satuan kerja dan 2 orang pejabat pembuat komitmen/pimpro.

Yang menarik dari OTT kali ini adalah Menteri PUPR langsung melakukan koordinasi internal dan menugaskan Inspektur Jenderal Kementerian PUPR untuk segera berkoordinasi dengan pihak KPK malam itu juga.

Bila kita lihat visi dari KPK yaitu : “bersama elemen bangsa mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi”. Sedangkan Misi KPK yaitu : “Meningkatkan efisiensi dan efektifitas penegakan hukum dan menurunkan tingkat korupsi di Indonesia melalui koordinasi, supervisi, monitoring, pencegahan dan penindakan dengan peran serta seluruh elemen bangsa”

Dari visi dan missi di atas ditemukan kata kunci : bersama, koordinasi, pencegahan dan penindakan. Bersama artinya KPK tidak bertindak sendirian tapi bekerjasama dengan semua elemen bangsa termasuk instansi pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi artinya KPK berkoordinasi dengan semua pihak. Pencegahan dan penindakan artinya pencegahan dan penindakan berada pada satu langkah dan bukan terpisah satu sama lain.

Dari sekian banyak kejadian OTT baru kali ini yang namanya Inspektorat Jenderal segera turun tangan pada hari H langsung berkoordinasi dengan KPK atas perintah Menteri PUPR. Pada kejadian OTT yang lain misalnya kejadian OTT pada kepala daerah bupati atau walikota, tidak nampak ada koordinasi Inspektorat ke KPK, baik itu Inspektorat Kabupaten/Kota maupun Inspektorat Propinsi. Demikian juga pada OTT di kementerian, tidak nampak Inspektur Jenderalnya langsung turun menemui KPK.