Jumat, 28 Maret 2014

Korpri dan Pemerataan Pendidikan Tinggi



Alkisah, konon kabarnya, si Fulan, tamatan terbaik di suatu sekolah menengah atas di suatu daerah perdesaan, ingin menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Namun apa daya, kondisi ekonomi keluarga mereka tidak memungkinkan untuk membiayainya kuliah di tempat perguruan tinggi berdomisili yaitu di perkotaan. Kalau hanya sekedar membiayai biaya pendidikannya saja keluarganya masih mampu tapi untuk membiayai hidup di perantauan keluarganya tidak mampu lagi. Akhirnya si Fulan berwirausaha menjadi penjual makanan tenda di pinggir jalan seperti nasi goreng, mie goreng, mie kuah, cap cai dan sebagainya di depan ruko milik orang lain pada malam hari. Hasilnya lumayan dengan omzet berpenghasilan bersih antara 100 ribu sampai 200 ribu tiap malam yang kalau dihitung perbulan berkisar antara 3 juta sampai 6 juta perbulan. Sudah menyerupai gaji pokok pegawai negeri sipil golongan III. Walaupun dari segi penghasilan si Fulan sudah tidak kekurangan lagi namun di lubuk hatinya yang terdalam dia masih ingin menikmati bangku perguruan tinggi dan masih ingin memiliki titel sarjana yang akan membuat keluarganya bangga di desanya.

Kisah di atas hanyalah kisah fiktif namun pada dasarnya mewakili potret pendidikan di pedesaan.

Bagaimanapun juga perguruan tinggi merupakan impian semua pelajar. Perguruan tinggi juga merupakan amanah UUD 1945 dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Perguruan tinggi diatur dalam UU pendidikan tinggi di mana penyelenggaranya adalah pemerintah pusat (dalam hal ini kementrian tertentu) dan kelompok masyarakat seperti yayasan. Pemerintah daerah tidak punya kewenangan mengelola perguruan tinggi namun pemerintah daerah bisa bekerjasama dengan pemerintah pusat dalam mengembangkan perguruan tinggi kejuruan sesuai potensi daerahnya. Potensi daerah terutama seperti pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, kelautan maka wajarlah apabila jurusan yang sesuai di kembangkan di pedesaan. Tidak wajar apabila potensi pedesaan tapi jurusannya dikembangkan di perkotaan. Atau mengembangkan jurusan yang dibutuhkan di pedesaan seperti keguruan dan kebidanan/keperawatan

Senin, 24 Maret 2014

Kegelisahan Gubernur Jokowi



Saya yakin dan percaya ketika Jokowi menjadi walikota solo, tidak terbersit sedikitpun dalam hatinya untuk suatu saat nantinya akan menjadi gubernur Jakarta. Dan saya yakin dan percaya pada saat awal kepemimpinan Jokowi menjadi gubernur Jakarta, tak terbersit sedikitpun dalam hatinya untuk suatu saat nantinya menjadi calon presiden RI.

Di awal kepemimpinannya sebagai gubernur Jakarta, Jokowi mulai mengenali masalah Jakarta, mulai dari yang paling kronis seperti kemacetan dan banjir, sampai pada permasalahan perkotaan pada umumnya seperti kawasan kumuh, urbanisasi, kriminal, birokrasi dan lainnya. Ternyata Jakarta bukanlah sebuah daerah otonom biasa tapi sebuah daerah otonom luar biasa. Hampir semua masalah kronis Jakarta saling kait mengkait dengan daerah sekitarnya terutama daerah Jabodetabek. Kemacetan Jakarta ternyata bukan disebabkan oleh mobilitas keseharian penduduknya sendiri tapi mobilitas keseharian penduduk luar Jakarta yang bergerak dari rumah kediaman menuju tempat beraktifitas terutama bekerja mencari nafkah pada jam yang hampir bersamaan melewati titik lalu lintas tertentu pada waktu yang hampir bersamaan sedangkan keterbatasan daya tampung jalan terhadap pengguna jalan sangat terbatas sehingga terjadilah kemacetan. Solusi jangka pendek adalah membangun rumah susun terhadap pekerja buruh sebagai jumlah terbanyak berdekatan dengan kawasan industri tempatnya bekerja. Jalan layang dibangun untuk memperlancar arus kenderaan tanpa harus menjalani antrian lampu merah perempatan jalan. Bus transjakarat diperbanyak jumlah dan rutenya. Kereta rel listrik diperbanyak. Namun solusi jangka pendek ini tidak begitu efektif. Hanya sekedar memindahkan penggunaan sarana transportasi dari bis kota ke bus transjakarta atau kereta rel listrik. Belum maksimal perpindahan dari penggunaan mobil pribadi ke saraana angkutan umum. Di sini Gubernur Jokowi mulai gelisah. Sudah mulai muncul pemikiran bahwa masalah Jakarta takkan terselesaikan oleh hanya seorang gubernur. Muncul pemikiran sarana transportasi massal seperti MRT dan monorail yang terbukti urusannya tak terbatas hanya pada seorang gubernur tapi terkait dengan beberapa menteri terkait seperti Menteri PU dan Menteri Perhubungan. Setelah melalui jalan berliku akhirnya MRT dan monorail proyeknya mulai dibangun. Gubernur Jokowi kembali gelisah karena MRT dan monorail adalah sebuah proyek jangka menengah yang baru bisa dinikmati hasilnya belasan tahun lagi dan bisa saja berhenti di tengah jalan oleh sesuatu hal. Belum lagi proyek jangka menengah selesai, muncul kebijakan mobil murah yang diprediksi akan membanjiri jalanan Jakarta. Gubernur Jokowi kembali gelisah, akankah kemacetan bisa diatasi hanya oleh seorang gubernur Jakarta ?

Selasa, 18 Maret 2014

Pajak Bunga Simpanan Bank



Pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara terbesar kontribusinya pada APBN. Pada APBN 2014 target pajak sebesar Rp. 1.110 trilyun. Sedangkan pada APBN 2013 realisasi penerimaan pajak sebesar Rp. 1.071 trilyun. Dalam kondisi penuh ketidakpercayaan saja penerimaan pajak sudah melebihi 1.000 trilyun. Bisa dibayangkan apabila tata kelola pajak diselimuti oleh atmosfer penuh kepercayaan dengan kebocoran mendekati nol. Atau apabila diversifikasi pajak berhasil dilakukan.

Sebagai salah satu upaya memaksimalkan penerimaan pajak maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencoba untuk mengakses rekening nasabah bank. Tentu ini di samping melanggar UU Perbankan juga menuai protes dari nasabah bank itu sendiri.

Belum ada kejelasan apa motif dan tujuan dari DJP untuk membuka rekening nasabah bank selain memaksimalkan penerimaan pajak. Apakah ada unsur ketidakpercayaan atas nominal pembayaran pajak selama ini atau tidak.

Jumat, 14 Maret 2014

Manajemen Kabut Asap Sumatra



Di tengah deraan penyakit ispa akibat kabut asap kebakaran (pembakaran???) hutan di Propinsi Riau, saya mencoba kembali mengingat-ingat mata pelajaran sejarah ketika di sekolah dasar dulu. Teringat ketika penjajahan VOC Belanda membuka perkebunan tebu dan rempah-rempah. Haqqul yaqin sama sekali tidak ada halaman pelajaran atau guru yang menceritakan terjadinya kabut asap akibat pembukaan lahan perkebunan kumpeni VOC Belanda tersebut. Kabut asap menyerang beberapa provinsi justru terjadi di alam kemerdekaan. Kabut asap justru terjadi menjelang pemilu legislatif april 2014.  Politik uang yang diam-diam diidam-idamkan rakyat untuk menambah income sekali 5 tahun yang dalam angan-angan rakyat akan dipakai membeli panci, kuali, cangkul, mengganti ban becak atau setidaknya makan 2 hari ternyata harapan itu harus dilupakan mengingat politik uang yang akan diterima harus dipakai untuk berobat akibat gangguan kabut asap yang paling banyak menyerang paru-paru.

Udara dan air merupakan tanda kehidupan. Manusia walau tanpa makanan tapi bisa mendapat air dan udara masih bisa bertahan hidup berjam-jam. Manusia walau tanpa makanan dan air masih bisa bertahan hidup beberapa jam. Tapi manusia tanpa udara hanya bisa bertahan hidup beberapa detik. Makanya ketika kabut asap harus dihirup rakyat di beberapa provinsi sekitar Riau lebih dari 1 bulan, wajar sumpah serapah rakyat kepada para pemimpin negara ini. Negara hanya hadir ketika memungut pajak dan memberantas korupsi tapi tidak terasa kehadirannya ketika kabut asap menyelimuti langit. Tanpa perlu disurvei bisa dipastikan mungkin rakyat lebih peduli penghapusan kabut asap daripada penghapusan KPK.

Jumat, 07 Maret 2014

Pembakaran Lahan dan Potensi Kayu Bakar

Entah kenapa kebakaran hutan yang sering terjadi di provinsi Riau lebih sering ketika angin berhembus ke arah barat laut sehingga kabut asap menyelimuti provinsi Sumatra barat dan Provinsi Sumatra Utara. Jarang terjadi kebakaran hutan ketika angin bergerak ke arah lain.

Kebakaran hutan terbagi pada dua kelompok besar yaitu kebakaran alami dan pembakaran. Kebakaran alami terjadi bermula dari akibat musim kemarau membuat kering lingkungan sehingga sedikit saja pemicunya dengan mudah terjadi kebakaran terutama pada lahan gambut yang berada di bawah permukaan tanah. Sedangkan pembakaran terjadi karena untuk membuka lahan perkebunan baru akan lebih murah bila dibakar saja. Hanya dengan bermodalkan beberapa jerigen minyak tanah saja yang disebar dalam beberapa lokasi maka pembakaran lahan bisa dengan mudah meratakan bukan hanya puluhan atau ratusan hektare tapi ribuan hektare lahan. Tertangkapnya puluhan orang yang diduga melakukan pembakaran lahan menguatkan asumsi terjadinya pembakaran lahan ini. Seandainya pembersihan lahan dilakukan dengan tanpa pembakaran bisa dibayangkan berapa modal yang harus dikeluarkan untuk pembersihan lahan tersebut, mulai dari untuk menggaji orang, pembelian mesin sinsaw, mobil pengangkut pepohonan yang tumbang dan lain sebagainya.