Di tengah deraan penyakit ispa
akibat kabut asap kebakaran (pembakaran???) hutan di Propinsi Riau, saya
mencoba kembali mengingat-ingat mata pelajaran sejarah ketika di sekolah dasar
dulu. Teringat ketika penjajahan VOC Belanda membuka perkebunan tebu dan
rempah-rempah. Haqqul yaqin sama sekali tidak ada halaman pelajaran atau guru
yang menceritakan terjadinya kabut asap akibat pembukaan lahan perkebunan
kumpeni VOC Belanda tersebut. Kabut asap menyerang beberapa provinsi justru
terjadi di alam kemerdekaan. Kabut asap justru terjadi menjelang pemilu
legislatif april 2014. Politik uang yang
diam-diam diidam-idamkan rakyat untuk menambah income sekali 5 tahun yang dalam
angan-angan rakyat akan dipakai membeli panci, kuali, cangkul, mengganti ban
becak atau setidaknya makan 2 hari ternyata harapan itu harus dilupakan
mengingat politik uang yang akan diterima harus dipakai untuk berobat akibat
gangguan kabut asap yang paling banyak menyerang paru-paru.
Udara dan air merupakan tanda
kehidupan. Manusia walau tanpa makanan tapi bisa mendapat air dan udara masih
bisa bertahan hidup berjam-jam. Manusia walau tanpa makanan dan air masih bisa
bertahan hidup beberapa jam. Tapi manusia tanpa udara hanya bisa bertahan hidup
beberapa detik. Makanya ketika kabut asap harus dihirup rakyat di beberapa
provinsi sekitar Riau lebih dari 1 bulan, wajar sumpah serapah rakyat kepada
para pemimpin negara ini. Negara hanya hadir ketika memungut pajak dan memberantas
korupsi tapi tidak terasa kehadirannya ketika kabut asap menyelimuti langit.
Tanpa perlu disurvei bisa dipastikan mungkin rakyat lebih peduli penghapusan
kabut asap daripada penghapusan KPK.
Kembali kepada pelajaran sejarah
sekolah dasar, penjajah VOC Belanda jauh-jauh berlayar dari negeri Belanda
menuju nusantara tujuan utamanya adalah untuk mencari sumber bahan mentah
pertanian terutama tebu dan rempah-rempah. Kas negara Belanda berlimpah ruah
akibat setoran pemerintahan VOC dari sektor perkebunan tebu dan rempah-rempah. Kas
negara melimpah tapi tak pernah ada dalam buku sejarah adanya kabut asap akibat
pembukaan lahan. Apakah penjajah VOC Belanda jauh lebih beradab daripada kita
dalam membuka lahan perkebunan ?
Harus diakui bahwa sektor
perkebunan merupakan salah satu sektor solusi ketenagakerjaan. Berkebun adalah
salah satu mata pencaharian rakyat agraris. Cara termudah untuk membuka kebun
adalah dengan jalan membakar lahan. Apalagi kebun dalam jumlah yang sangat luas
tentu akan memakan biaya yang banyak bila membuka lahan tanpa membakar. Sampai
di sini tidak ada masalah. Masalah muncul apabila asap akibat membakar lahan
tersebut sudah mengganggu kebersihan udara. Apalagi udara yang dicemari bukan
hanya radius kilometer lagi tapi sudah mencapai 4 provinsi. Langit yang begitu
luas tidak bisa menetralkan kabut asap yang terjadi. Oleh karena itu perlu
dipikirkan untuk membuat penindakan yang keras dan hukuman yang keras kepada
pembakar lahan dan menimbulkan efek jera. Karena sebagian besar kebun skala
kecil maupun skala besar membuka lahan dengan jalan membakar. Harus juga
dipikirkan bagaimana cara membuka lahan yang hemat biaya dan waktu yang singkat
bisa membuka lahan perkebunan tanpa harus membakar lahan.
Satu yang dikeluhkan dari
kejadian kabut asap adalah lemahnya penanggulangan kabut asap akibat pembakaran
lahan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai lembaga pemerintah di
daerah yang bertugas menanggulangi segala macam bencana nyaris tidak mampu
menyelesaikan permasalahan kabut asap. Hal ini dikarenakan kurang lincahnya
BPBD sebagai bagian dari pemerintahahn daerah yang dikungkung oleh segala macam
peraturan penganggaran dan peraturan pengadaan yang begitu rumit dan melelahkan
bahkan terkadang harus berurusan dengan hukum sementara sebagai lembaga yang
bertugas menanggulangi bencana seharusnya memiliki fleksibilitas dan kelincahan
luar biasa untuk menanggulangi bencana. Oleh karena itu perlu kiranya
kelembagaaan BPBD dilepaskan dari pemerintahan daerah menjadi sebuah lembaga
vertikal ke atas sebagai struktur dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB). Hal ini penting mengingat penyakit birokrasi pemerintahan daerah tentu
juga diidap oleh BPBD bila masih bergabung dengan pemerintahan daerah. Tapi
bila BPBD bergabung secara vertikal dengan BNPB maka gerakannya akan lebih
lincah dan fleksibel, serta akan terbentuk keseragaman keterampilan SDM dan
sarana prasarana peralatan yang saling mendukung antar semua BPBD. Bila BNPB
dan BPBD memiliki struktur vertikal maka SDM bisa terseleksi dan terlatih
secara standar dengan berintikan unsur TNI, Polri, SAR, Satpol PP dan Kesbang
Linmas yang mana unsur ini merupakan satuan terlatih dan bila telah memiliki
SOP seragam seIndonesia maka dalam melaksanakan penanggulangan bencana di suatu
daerah seperti bencana kabut asap maka SDM dan peralatan dari seluruh Indonesia
bisa dikerahkan melaksanakan penanggulangan bencana kabut asap. Tidak seperti
sekarang ini bang terkesan gagap, jalan sendiri-sendiri dan tidak tahu harus
berbuat apa.
Sedangkan kebakaran lahan gambut
juga tidak bisa dikesampingkan pengaruhnya terhadap terjadinya kabut asap.
Lahan gambut harus dipetakan di seluruh Indonesia. Dari peta lahan gambut ini
bisa disusun desain paret dan irigasi untuk membanjiri lahan gambut sebagai
upaya pemadaman kebakaran lahan gambut dengan sumber air dari sungai terdekat
atau bila perlu dipompa dari air laut. Konstruksi paret dan irigasi cukup murah
harganya. Saya rasa biaya paret pembanjir lahan gambut jauh lebih murah
biayanya daripada rekayasa hujan buatan atau pemadaman konvensional yang
terjadi setiap tahun.
Bagaimananpun juga kabut asap
yang menimpa beberapa wilayah di Sumatra tak bisa dikesampingkan karena
menyangkut kepuasan rakyat dalam bernegara. Apalagi rakyat merasa sudah
membayar pajak secara taat. Bahkan ketika rakyat kecil merokok di kedai kopi
mereka sudah ikut menyumbang membayar pajak dari cukai rokok. Ketika negara
hadir ketika memungut pajak tapi kehadiran negara nyaris tidak terasa dalam
mengatasi kabut asap maka jangan salahkan rakyat bila harapan kepada politik
uang akan semakin besar karena perlu biaya berobat yang lebih besar karena
lembaga kesehatan milik negara hanya buka pagi sampai siang hari dan hanya
berada di perkotaan dan di kecamatan pada hari kerja sedangkan di desa-desa pada
malam hari harus berobat dengan biaya sendiri.
Kabut asap, politik uang, ISPA.
Entahlah.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
14 maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar