Minggu, 27 Agustus 2023

MENUJU 10 TAHUN PEMERINTAHAN DESA


Desa atau sebutan lain di berbagai daerah telah hadir jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Negara menghormati keberadaan tersebut dan memberikan jaminan keberlangsungan Pemerintahan Desa dalam kerangka dan koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat (2) disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.

 Dalam sejarah Negara Republik Indonesia, telah ditetapkan beberapa Undang-Undang tentang Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Untuk menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam membangun Desa maka dibentuklah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Walaupun dalam kenyataannya sebagian regulasi tentang Desa justru lebih banyak diatur oleh Kementerian Dalam Negeri.

 Tanpa terasa UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa akan berumur 10 tahun, tepatnya pada tanggal 15 Januari 2014 nanti. Dalam usia 10 tahun tentunya sudah cukup banyak hal yang perlu disempurnakan baik dari segi regulasi, struktur organisasi, rekrutmen SDM dan tata kelola kenegaraan Desa.

 Ada beberapa persoalan kontemporer dan empiris yang menjadi persoalan dalam tataran mikro namun harus diselesaikan secara makro dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang kabarnya sedang dalam proses revisi di DPR RI. Persoalan-persoalan tersebut antara lain sebagai berikut :

 I.     REFORMULASI REKRUTMEN KEPALA DESA

1.    E-VOTING PILKADES

Pelaksanaan pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak secara bergelombang maksimal 3 kali dalam periodesasi Kepala Daerah. Pelaksanaan pemilihan Kepala Desa ini cukup menguras tenaga semua pihak baik Pemerintahan Desa, Pemerintahan Daerah maupun pihak otoritas keamanan. Secara anggaran juga sangat menguras anggaran APBD Pemerintah Daerah maupun APBDes Pemerintah Desa. Belum lagi tahapan waktu yang hampir memakan setengah dari masa pelaksanaan anggaran alias kurang lebih 6 bulan tentu akan sangat mengganggu pelaksanaan pembangunan Desa. Kondisi ini harus dirubah dalam kerangka berfikir efisiensi baik efisiensi anggaran, efisiensi waktu, efisiensi pembangunan dan efisiensi pengamanan. Harus dilakukan digitalisasi pelaksanaan pemilihan Kepala Desa dari metode konvensional menjadi metode digital alias e-voting. Dari segi teknologi tidak terlalu sulit. Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri bisa bekerjasama dengan salah satu perguruan tinggi yang memiliki Fakultas IT untuk mendesain aplikasi e-voting pemilihan Kepala Desa dan sebagai pilot project diujicobakan pada salah satu Desa dengan tingkat kesiapan data kependudukan paling lengkap namun hal ini baru bisa diujicobakan setelah pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak. Untuk persiapan anggaran aplikasi e-voting pemilihan Kepala Desa sudah bisa difikirkan mulai dari sekarang. Ilmu dan teknologi harus diterapkan ke masyarakat, jangan hanya terkungkung di balik tembok dan menara kampus.  

2.    UJI KOMPETENSI

Harus diakui bahwa jabatan Kepala Desa adalah jabatan politis tingkat Desa. Tidak diperlukan kompetensi akademik yang terlalu tinggi untuk menduduki jabatan Kepala Desa. Namun di sisi lain, regulasi dan tata kelola Pemerintahan Desa semakin lama semakin rumit untuk dimengerti oleh kalangan masyarakat berpendidikan rendah. Sehingga perlu difikirkan untuk meningkatkan kualitas SDM Kepala Desa tanpa harus membuat kriteria yang diskriminatif terhadap persyaratan menjadi calon Kepala Desa. Metode Uji Kompetensi bisa menjadi metode alternatif untuk menjaring bakal calon Kepala Desa terbaik. Uji kompetensi cukup dilaksanakan selama setengah jam dengan jumlah soal 30 soal bersifat pilihan ganda dan bersifat open book dengan materi Peraturan Pemerintahan Desa. Uji kompetensi menghasilkan 5 calon terbaik untuk bertarung di pemilihan Kepala Desa. Uji kompetensi bisa meminimalisir keampuhan politik uang. Kenapa minat kalangan terdidik masih rendah untuk menjadi Kepala Desa di Desa masing-masing salah satunya dikarenakan masih saktinya politik uang dalam memenangkan pemilihan Kepala Desa. Dengan adanya Uji Kompetensi maka akan memberikan harapan kepada kalangan terdidik di Desa untuk optimis bisa memenangkan kompetensi pemilihan Kepala Desa.

3.    DIKLAT AWAL JABATAN

Pasca pemilihan Kepala Desa dan sebelum dilaksanakan pelantikan Kepala Desa selayaknya Kepala Desa terpilih untuk menjalani pendidikan dan pelatihan awal masa jabatan selama 1 minggu secara terisolasi dengan tujuan agar Kepala Desa terpilih memperoleh wawasan dan keterampilan tentang kepemimpinan dan manajemen Pemerintahan Desa.

 II.      REFORMULASI STRUKTUR ORGANISASI

1.    SEKRETARIAT DESA

Sebagai sebuah Pemerintahan maka sudah seharusnya Pemerintah Desa memiliki staf permanen. Apabila dipandang PNS masih sulit untuk direalisasikan, paling tidak Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dengan masa ikatan kerja yang sama dengan periodesasi Kepala Desa bisa direalisasikan. Ketiadaan staf permanen ini sangat terasa pada Sekretariat Desa yang mengurusi anggaran, aset dan pertanggungjawaban/audit. Apabila dimungkinkan maka Kepala Daerah harus membantu Kepala Desa dengan menugaskan PNS di lingkungannya untuk menjadi Sekretaris Desa sehingga penatausahaan Pemerintahan Desa bisa ditangani dengan baik dan tidak menjadi bulan-bulanan kelompok masyarakat dengan membuat pengaduan kepada Aparat Penegak Hukum tentang dugaan penyimpangan keuangan Desa dan pembangunan Desa.  

2.    SELEKTIFITAS PERANGKAT DESA

Dari regulasi tentang keuangan Desa, pembangunan Desa, aset Desa dan pengawasan Desa sangat terasa betapa diperlukannya kualitas Perangkat Desa yang dibutuhkan setara kemampuannya dengan PNS. Oleh karena itu walaupun pengaturan kewajiban seleksi Perangkat Desa sudah dibuat namun masih bersifat terlalu umum sehingga masih bisa ditembus oleh godaan penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Desa sehingga walaupun bersifat seleksi terbuka namun kenyataannya baik keluarga maupun pertemanan masih mendominasi jabatan Perangkat Desa. Regulasi Seleksi Perangkat Desa harus lebih diatur sedemikian teknis bahkan sampai kepada materi dan cara ujian kompetensinya harus diatur sedemikian teknis sehingga Kepala Desa maupun pihak-pihak tertentu tidak bisa mengintervensi seleksi Perangkat Desa dan bisa menghasilkan Perangkat Desa terbaik untuk mengelola Pemerintahan Desa yang semakin lama semakin menuntut kompetensi yang semakin tinggi.

3.    PERANGKAT DESA TEKNIS

Jabatan Perangkat Desa perlu diperbanyak dengan melakukan inventarisasi potensi daerah yang dimiliki. Apabila Desa tersebut kemiliki potensi besar di bidang pertanian maka wajib dibentuk jabatan Kepala Seksi Pertanian. Demikian juga potensi Desa lainnya sehingga memungkinkan dibentuk jabatan Kepala Seksi Peternakan, Kepala Seksi Kelautan, Kepala Seksi Perikanan, Kepala Seksi Pariwisata dan lain sebagainya.

4.    PENDAMPING DESA JADI STAF AHLI KEPALA DESA

Posisi Pendamping Desa sangat strategis dalam membantu Kepala Desa. Namun masih ditemukan satu orang Pendamping Desa harus menangani beberapa Desa sehingga tidak memiliki waktu yang penuh dalam mendampingi Kepala Desa. Perlu difikirkan untuk menambah jumlah Pendamping Desa menjadi satu Pendamping Desa untuk 1 Desa. Serta dimerger dalam Pemerintahan Desa menjadi Staf Ahli Kepala Desa. Dengan menjadi Staf Ahli Kepala Desa maka Pendamping Desa tersebut mEnjadi wajib berkantor di Kantor Desa setiap hari mendampingi Kepala Desa dalam menjalankan Pemerintahan Desa.

5.    UNIT PENGAWASAN INTERNAL BERSERTIFIKAT

Salah satu kelemahan dari struktur Pemerintahan Desa adalah tidak adanya Unit Pengawasan Internal. Hal ini harus menjadi perhatian Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri dikarenakan fungsi pengawasan yang diserahkan kepada Inspektorat Pemerintah Daerah sangat kurang maksimal dikarenakan terutama jauhnya rentang kendali antara kantor Inspektorat Pemerintah Daerah dengan kantor Desa sehingga pengawasan melekat sangat sulit dilaksanakan. Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri perlu membentuk struktur dan staf Internal Audit pada seluruh Pemerintah Desa dengan melakukan rekrutmen dan pelatihan dengan kriteria yang ketat bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembagunan (BPKP). Untuk menjaga independensinya maka gaji beserta tunjangan internal audit Desa jangan berasal dari APBDes namun langsung dari Kementerian Desa.

 III.   REFORMULASI PERIODESASI JABATAN

Periodesasi Jabatan merupakan hal krusial. Periodesasi jabatan dengan masa 6 tahun masa jabatan untuk 3 kali periodesasi dirasakan terlalu lama dan sangat memungkinkan terjadinya pejabat yang otoriter dan diktator. Periodesasi jabatan Kepala Desa cukup 2 kali periode dan serentak dengan pengangkatan dan pemberhentian Badan Permusyawaratan Desa dan Perangkat Desa. Kelemahan pada regulasi tentang Perangkat Desa membuat semua Perangkat Desa merasa tidak bisa digantikan walaupun Kepala Desa telah berganti. Periodesasi serentak pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Perangkat Desa hanya 2 kali periode sangat diperlukan agar proses regenerasi dan kaderisasi di Pemerintahan Desa berjalan dengan baik.

 IV.   REFORMULASI TRIAS POLITIKA

Pemerintahan Desa sudah memiliki fungsi dan struktur eksekutif dan legislatif. Namun fungsi judikatif belum ada secara struktur dan masih dijalankan oleh Kejaksaan Negeri dan Kepolisian Resort tingkat kabupaten. Kepolisian sudah memiliki struktur Kepolisian Sektor di tingkat kecamatan namun secara fungsi belum ada kewenangan judikatif. Demikian juga Kejaksaan Negeri sudah memiliki struktur Cabang Kejaksaan Negeri yang membawahi beberapa kecamatan namun dirasa masih kurang untuk menjalankan fungsi judikatif sehingga perlu difikirkan untuk memperbanyak struktur Kacabjari di daerah. Di samping fungsi judikatif juga untuk menjalankan fungsi pencegahan dan pendampingan.  Tidak adanya struktur judikatif yang bersentuhan langsung dengan Pemerintahan Desa membuat Pemerintah Desa terlalu bebas dan menganggap diri mereka kebal hukum.

 V.      REFORMULASI PENGGAJIAN

Rendahnya gaji dan tunjangan Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Perangkat Desa menjadi faktor utama tingginya keinginan untuk melakukan penyalahgunaan anggaran Desa. Oleh karena itu perlu difikirkan untuk melakukan penyetaraan gaji dan tunjangan Pemerintahan Desa menjadi setara dengan jabatan setingkat Eselon IV. Kepala Desa dan Ketua BPD disetarakan dengan gaji/tunjangan Eselon IV/A sedangkan Perangkat Desa dan Anggota BPD disetarakan dengan gaji/tunjangan Eselon IV/B. sumber penggajian tentunya harus ditanggung oleh Pemerintah Pusat dalam berbentuk Dana Perbantuan dari Kementerian Desa sehingga tidak membebani APBD Pemerintah Daerah karena Pemerintah Daerah juga memiliki banyak kebutuhan anggaran untuk pembagunan daerah.

 Demikian beberapa persoalan empiris kontemporer yang perlu diselesaikan secara regultif dan sistematik sehingga tujuan bernegara dengan membentuk Pemerintahan Desa bisa memberi manfaat kepada rakyat banyak. Bukan justru malah menjadi masalah baru atau terkesan menjadi pemindahan korupsi ke Pemerintah Desa.

 Desa Kuat Rakyat Sejahtera.

***

 


Minggu, 12 Februari 2023

Kredit Usaha Rakyat dan Swa Sembada Pangan

 

Program Kredit Usaha Rakyat yang biasa dikenal dengan KUR digagas pada masa pemerintahan Presiden SBY dan diteruskan sampai dengan sekarang ini. Kredit Usaha Rakyat berbentuk kredit kepada para pelaku usaha mikro kecil menengah dengan jaminan pemerintah atau dengan kata lain pelaku usaha tidak perlu memberikan jaminan atau agunan sebagaimana layaknya kredit biasa. Kredit Usaha Rakyat  dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan permodalan usaha dalam rangka pelaksanaan percepatan pengembangan sektor ril dan pemberdayaan UKM. Kredit Usaha Rakyat menyentuh sektor usaha pertanian, perikanan, kelautan, kehutanan perindustrian dan perdagangan. Perbankan penyalur Kredit Usaha Rakyat sudah mencapai 46 penyalur yang terdiri atas bank pemerintah, bank swasta, bank pembangunan daerah, perusahaan pembiayaan dan koperasi dengan bank penyalur terbesar yaitu Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia dan Bank Syariah Indonesia. Program Kredit Usaha Rakyat didukung 10 lembaga penjamin kredit yang bertujuan mendukung prinsip kehati-hatian selama masa penyaluran pembiayaan kepada masyarakat.

 Pada tahun 2023 pemerintah menaikkan target penyaluran Kredit Usaha Rakyat menjadi Rp.460 trilyun. Naik 23,32 % dari tahun 2022 yang sebesar Rp.373 trilyun. Total debitur sebanyak 7,62 juta debitur dengan nilai penyaluran Rp. 356,32 trilyun yang terbagi dalam kategori KUR mikro 66,41 %, KUR usaha kecil 31,84 %, KUR super mikro 1,74 % dan KUR pekerja migran di bawah 1 %. Sampai dengan Desember 2022 nilai sisa pinjaman yang belum dikembalikan oleh seluruh debitur mencapai Rp. 476 trilyun dengan rasio kredit bermasalah sebanyak 1,1 %.

 Suku bunga kredit usaha rakyat dengan plafon di bawah Rp10 juta sebesar 3 % pertahun dan di atas Rp.10 juta sebesar 6 % pertahun. Hingga kini plafon tertinggi Kredit Usaha Rakyat sudah mencapai Rp.500 juta dengan tenggang waktu masa pengembalian 5 tahun.

 Dengan uraian di atas tentunya harus diimbangi dengan sosialisasi yang masif agar fasilitas Kredit Usaha Rakyat bisa menyentuh seluruh usaha mikro kecil menengah sehingga bisa membantu permodalan dan pengembangan usaha rakyat.

 Di sisi lain, kita masih dihadapkan kepada tingginya angka impor komoditi pertanian. Bila dilihat dengan luasnya wilayah nusantara serta tingginya potensi alam untuk pengembangan pertanian dan besarnya jumlah sumber daya manusia yang ada maka sudah tidak wajar apabila kita masih harus mengimpor bahan komoditi pertanian. Pada tahun 2021 kita mengimpor beras sebanyak 407.741,4 ton, kedelai sebanyak 2.489.690 ton, gula sebanyak 5.455.144 ton, garam sebanyak 2.831.081 ton, daging lembu/kerbau sebanyak 273.532 ton, gandum sebanyak 11.172 ribu kilogram ton, tembakau sebanyak 116.931 ribu kilogram, pupuk sebanyak 8.123 ribu ton, buah-buahan sebanyak 775.422 ribu kilogram, sayur-sayuran sebanyak 969.503 ribu kilogram. Dan masih banyak komoditi pertanian yang harus diimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.

 Data impor komoditi pertanian di atas tentu membuat terkuras anggaran devisa negara. Seharusnya manajemen pertanian bisa direkayasa sehingga seluruh komoditi pertanian tersebut bisa diproduksi di dalam negeri yang sangat luas dengan tanah dan lautan.  Salah satu modal besar yang bisa dimanfaatkan adalah Kredit Usaha Rakyat. Manajemen tata kelola Kredit Usaha Rakyat harus disesuaikan dengan pola tanam dan pola panen sehingga para petani bisa memakai fasilitas Kredit Usaha Rakyat untuk memperluas kapasitas produksi pertaniannya. Juga harus dibuka peluang terhadap petani baru dengan lahan dan pola tanam yang masih baru.

 Selama ini fasilitas Kredit Usaha Rakyat setelah memperoleh pinjaman, petani sudah harus membayar cicilan kredit mulai bulan pertama sementara sawah, kebun dan ladangnya baru saja ditanami dan belum bisa menghasilkan. Ini perlu disesuaikan di mana pola dan waktu cicilan disesuaikan dengan jadwal panen. Misalnya hasil panen secara berkala sekali tiga bulan maka pola cicilan Kredit Usaha Rakyat juga sekali tiga bulan. Misalnya hasil panen kebun baru mulai berbuah pada tahun ketiga maka pola cicilan Kredit Usaha Rakyat juga mulai di tahun ketiga. Penyesuaian antara pola panen pertanian dengan pola cicilan Kredit Usaha Rakyat akan sangat mendukung minat para petani untuk memakai Kredit Usaha Rakyat dalam meperluas kapasitas produksi pertaniannya. Juga akan mengundang minat calon petani baru untuk berkecimpung di usaha pertanian. Dengan meningkatnya kapasitas produksi pertanian akan mendukung upaya swasembada pangan. Agar pemakaian anggaran kredit bisa efisien maka pemerintah melalui para penyuluh pertanian yang ada di setiap desa harus mendampingi seluruh petani agar tidak terjadi gagal panen atau gagal produksi.

 Pertanian sehat negara kuat.

 Salam reformasi

 Rahmad Daulay

 12 Februari 2023.

 ***