Jumat, 30 Desember 2016

Kaji Ulang Sistem Gugur Pengadaan Jasa Konstruksi

Pengadaan jasa konstruksi masih merupakan pemegang dominasi pengadaan barang/jasa pemerintah mengingat pengadaan jasa konstruksi memiliki anggaran terbesar baik pada APBN maupun APBD. Hal ini mengingat jasa konstruksi memiliki kaitan dengan aspek lainnya seperti transportasi, distribusi air, permukiman, penataan ruang dan gedung.

Pada Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah beserta keempat perubahannya diatur bahwa metode evaluasi pengadaan jasa konstruksi terdiri atas sistem gugur, sistem nilai dan sistem penilaian biaya selama umur ekonomis. Sistem gugur identik dengan pemenang lelang dengan harga terendah yang memiliki kelengkapan administrasi dan teknis. Sistem nilai identik dengan skoring namun masih didominasi oleh bobot biaya antara 70-90 % total skor. Sedangkan sistem penilaian biaya selama umur ekonomis jarang dipergunakan.

Sistem gugur biasanya dipergunakan pada konstruksi dengan bentuk sederhana dan menggunakan teknologi sederhana yang didominasi oleh tenaga kerja trampil bersertifikat. Sedangkan sistem nilai biasanya dipergunakan pada konstruksi dengan bentuk komplek dan teknologi menengah dan teknologi tinggi yang memakai tenaga kerja ahli bersertifikat.

Pada beberapa penerapan pelelangan dengan sistem gugur, seringkali terjadi hasil pelelangan dengan perusahaan pemenang lelang tidak sebanding dengan kinerja di lapangan dalam bentuk pelaksanaan kontrak di mana baik kualitas kerja maupun kualitas hasil pekerjaan tidak seindah dokumen penawaran pada saat pelelangan dilaksanakan. Dokumen penawaran baik itu penawaran administrasi, penawaran teknis dan penawaran biaya begitu bagus namun tidak linear dengan kualitas kinerja dan produk konstruksi yang dihasilkan. Di sini baik pejabat pembuat komitmen/pimpro maupun kelompok kerja pengadaan (pokja pengadaan)/panitia lelang mengalami dilema dan sering harus berurusan dengan penegak hukum manakala produk kerja di lapangan berkualitas rendah dan mudah rusak sehingga urusan dengan penegak hukum membuat mereka kapok dan tidak bersedia lagi menjalankan tugas yang sama dengan sebelumnya walaupun mereka sudah menjalankan tugas sesuai dengan alur tahapan kerja di peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Saya sendiri sering dicecar dengan berbagai pertanyaan baik dari elemen masyarakat maupun oleh pihak legislatif dengan tuduhan tidak cermat dalam memilih perusahaan penyedia jasa konstruksi.

Rabu, 28 Desember 2016

Satu Tahun Pemerintahan Desa

Era pemerintahan desa diawali dengan terbitnya UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Pemerintahan desa dibentuk dengan spirit di mana desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Pemerintahan desa didefenisikan sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan pemerintahan desa semakin dikukuhkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Juklak UU Desa. Peraturan turunan di tingkat menteri juga sudah banyak diterbitkan.

Pada APBN Perubahan tahun 2015 dialokasikan dana desa sebesar Rp. 20,77 trilyun atau 3,23 % dari total APBN. Di mana seharusnya alokasi dana desa adalah sebesar 10 % APBN. Bila dibagikan kepada seluruh desa yg berjumlah 72.944 desa maka setiap desa memperoleh masing-masing Rp.284 juta. Pada APBN tahun 2016 dialokasikan dana desa sebesar Rp.46,98 trilyun atau 6,5 % dari total APBN. Masih jauh dari angka 10 %. Bila dibagikan kepada seluruh desa maka setiap desa akan memperoleh Rp.565 juta perdesa. Sedangkan pada APBN tahun 2017 dialokasikan dana desa sebesar Rp.60 trilyun dengan jumlah desa sebanyak 74.954 sehingga rata-rata dana desa perdesa sebesar Rp.800 juta perdesa.

Pada fase 1 tahun pemerintahan desa ini perlu dilakukan beberapa introspeksi, bila perlu dalam bentuk otokritik demi perbaikan pemerinthaan desa itu sendiri.

Saya sendiri memendang perlu perbaikan dari aspek regulasinya.

Rabu, 19 Oktober 2016

Mata Rantai Pungli : Benci Tapi Rindu

Bangsa ini kembali disuguhkan dengan satu drama baru stok lama yang bernama pungli (pungutan liar). Begitu kagetnya kita sebagai bangsa seolah pungli ini sebagai sesuatu yang baru. Semua kaget. Para korban pungli kaget. Para pelaku pungli kaget. Penadah tingkat pertama pungli kaget. Penadah tingkat kedua pungli kaget. Bahkan orang yang tak paham pungli pun ikut kaget.

Reaksi beragam pun muncul. Reaksi yang paling mengedepan adalah lagi-lagi penindakan. Para pelaku pungli ditangkap dengan beberapa operasi tangkap tangan. Beberapa petugas birokrasi maupun petugas keamanan terancam dipecat dari pekerjaannya gara-gara pungli kelas puluhan ribu rupiah.

Kita semua sepakat apabila pungli harus dihapus di bumi nusantara ini. Namun yang kita butuhkan bukan solusi sesaat atau solusi salah kaprah dengan bentuk penindakan atau pemecatan dari pekerjaan. Juga tidak akan selesai dengan membentuk satgas dalam berbagai bentuk dan nama yang ujung-ujungnya juga berakhir dengan penangkapan atau OTT. Yang kita butuhkan adalah solusi menyeluruh dan terintegrasi.

Apabila kita bedah lebih jauh, pungli ini untuk apa ? dan ada berapa tingkatan ?

Pungli tingkat terendah kelas ribuan, puluhan ribu dan ratusan ribu ini memiliki jangkauan hampir di seluruh lapisan masyarakat yang pada umumnya merupakan hubungan layanan masyarakat umum dengan birokrasi. Pungli setingkat di atasnya merupakan hubungan layanan masyarakat terbatas dengan birokrasi. Pungli setingkat lebih tinggi lagi merupakan hubungan intern birokrasi. Pungli setingkat lebih tinggi lagi merupakan hubungan birokrasi dengan instansi pemerintah lainnya. Setingkat lebih tinggi lagi merupakan hubungan birokrasi dengan lembaga non birokrasi.

Rabu, 24 Agustus 2016

Corruption Amnesty

Bila kita baca UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2 maka ditemukan defenisi dari korupsi yaitu setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Bila dilihat pada posisi lebih awal lagi bahwa tindak pidana korupsi akan menghambat pembangunan nasional, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional. Maka disusunlah UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan harapan lebih efektif mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

Pergerakan pemberantasan korupsi bila dipandang dari kacamata UU nomor 31 tahun 1999 sudah tidak konsisten lagi kepada tujuan penyusunannya yaitu pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebagian besar pemberantasan korupsi justru berbentuk penindakan korupsi baik yang dilakukan oleh KPK maupun Kejaksaan dan Kepolisian.

Dari defenisinya, korupsi akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Akhir-akhir ini, gerakan pemberantasan korupsi berbentuk penindakan korupsi justru tidak linear dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam bentuk penyerapan anggaran. Penyerapan anggaran identik dengan perputaran anggaran terutama di sektor pengadaan barang/jasa pemerintah. Aktor utama  penyerapan anggaran adalah panitia tender dan pimpro. Proyek bisa dikerjakan apabila proses tender berjalan dan kontrak kerja berjalan. Gerakan pemberantasan korupsi justru tidak linear dengan percepatan penyerapan anggaran. Yang terjadi justru sebaliknya. Sebagian besar PNS tidak bersedia menjadi aktor penyerapan anggaran (panitia tender dan pimpro). Kalaupun ada yang bersedia, ternyasta tidak akan bertahan lama. Derasnya arus penindakan korupsi sampai menyentuh wilayah administrasi dan teknis membuat ranah pidana sudah melewati batas kewajaran. Dan ini mengakibatkan anggaran tidak terserap dan tersimpan di kas negara/daerah. Bahkan sampai pada triwulan ketiga tahun anggaran berjalan sebagian anggaran negara belum terserap dengan baik.

Hal ini membuat risau presiden. Beberapa kali pertemuan presiden dengan kepala daerah serta pimpinan aparat penegak hukum seIndonesia digelar. Terakhir pada tanggal 19 Juli 2016 yang lalu yang mengevaluasi lima kebijakan. Namun toh belum ada perubahan yang signifikan. Diagnosa belum sesuai dengan obatnya.

Rabu, 01 Juni 2016

Pendidikan Menengah dan Swasembada Pangan

Mulai tahun 2015 Pemerintah Provinsi akan mengambil alih pengelolaan Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMA/SMK) dari Pemerintah Kabupaten/kota. Hal itu mempedomani Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang salah satunya adalah pembagian urusan pemerintahan bidang pendidikan yang menyatakan bahwa manajemen pengelolaan SMA/SMK berada di tangan pemerintah provinsi, sementara pemerintah kabupaten/kota hanya menangani sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

Di sisi lain, Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009 menyatakan bahwa rasio pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan menengah umum ditargetkan sebesar 50:50 pada tahun 2010 dan 70:30 pada tahun 2015. Namun kenyataan sampai saat ini jumlah SMU masih jauh lebih banyak dari SMK.

Para pelajar tamatan SMU cenderung untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi terutama setingkat S1. Sedangkan pelajar tamatan SMK cenderung untuk melanjutkan pendidikan ke politeknik atau mengikuti pendidikan kursus praktis untuk dipakai sebagai bekal mencari pekerjaan.

Mari kita lihat situasi sosial saat ini. Suasana menjelang bulan Ramadhan. Bulan puasa identik dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Permintaan meningkat yang menyebabkan harga naik. Sehingga perlu tambahan pasokan barang dalam waktu yang singkat untuk menormalkan kembali harga pasar. Pasokan dalam waktu singkat hanya bisa ditempuh lewat impor barang pangan.

Minggu, 28 Februari 2016

Sinergi KPK - LKPP Untuk Pencegahan Korupsi

Bila kita menelaah UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Pada pasal 1 nomor 3 disebutkan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6 menyebutkan KPKmempunyai tugas : a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi ; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi ; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi ; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi ; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Pasal 14 menyebutkan dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah ; b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;

Saya mencoba menggarisbawahi pada pasal 1 nomor 3 bahwa mencegah terlebih dahulu disebutkan sebelum memberantas korupsi.  Dan upaya koordinasi, supervisi dan monitor lebih dahulu disebutkan sebelum penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan. Pada pasal 6 saya menggaris bawahi melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Sedangkan pada pasal 14 saya menggaris bawahi memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan.

Dalam beberapa waktu akhir-akhir ini KPK sudah melakukan koordinasi dengan beberapa lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, Mabes Polri, BPK dan instansi lainnya. Semua itu dalam rangka sinergi dalam pemberantasan korupsi. Namun belum pernah saya melihat dan mendengar KPK berkoordinasi dengan lembaga atau instansi dalam rangka meningkatkan koordinasi pencegahan korupsi.

Pada seleksi pimpinan KPK jilid 4 tahun 2015 yang lalu ada suatu hal yang menarik yaitu terpilihnya Agus Raharjo mantan Kepala LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/Jasa Pemerintah). Isu pencegahan korupsi yang menjadi andalan dari Agus raharjo cukup menarik perhatian di Komisi III DPR. Sehingga KPK jilid 4 dipandang sebagai era pencegahan korupsi.

Minggu, 24 Januari 2016

Percepatan Pengembangan Ekonomi Pariwisata

Dunia pariwisata kembali naik daun setelah pada pilpres yang lalu para capres mengedepankan pariwisata sebagai salah satu alternatif pengembangan ekonomi kerakyatan. Salah satu istilah yang dipakai adalah ekonomi kreatif.

pada akhir tahun 2015 pemerintah berencana membentuk otoritas wisata di 10 destinasi pariwisata unggulan secara nasional. Tahap pertama danau Toba akan menjadi prioritas pertama menjadi otoritas pariwisata yang dikembangkan. Sedangkan ke-9 destinasi wisata lainnya akan dituntaskan paling lambat pada triwulan ke-3 tahun 2016. Ke-10 destinasi wisata tersebut yaitu Danau Toba (Sumatera Utara), Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Pulau Seribu (DKI Jakarta), Borobudur dan sekitarnya (Jawa Tengah dan DIY), Bromo (Jawa Timur), Mandalika (NTB), Labuan Bajo (NTT), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Morotai (Maluku Utara). Pengembangannya akan didukung dengan infrastruktur seperti jalan umum, jalan tol, pelabuhan, bandara, air bersih serta sarana komunikasi. Otoritas dibentuk sebagai struktur organisasi untuk mempermudah koordinasi dengan pemerintah pusat.

Diperkirakan dibutuhkan dana Rp. 70 trilyun untuk pengembangan Danau Toba saja. Tentu ini akan memberatkan apabila hanya dibebankan kepada APBN saja. Pemerintah melalui Perpres nomor 38 tahun 2015 telah membuka peluang kepada kerjasama pemerintah dan badan usaha dalam pengembangan infrastruktur yang salah satunya meliputi infrastruktur pariwisata. Oleh karena itu pengembangan Danau Toba seharusnya membuka peluang untuk investor dalam dan luar negeri dalam berpartisipasi untuk pengembangan wisata Danau Toba.