Kamis, 18 Mei 2017

E-katalog Material/Barang Konstruksi

Salah satu program andalan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemeritah (LKPP) adalah e-katalog dengan website https://e-katalog.lkpp.go.id yang sudah menjadi  basis dalam pengadaan kebutuhan pemerintah pusat dan daerah. E-katalog secara umum memuat daftar harga, spesifikasi dan perusahaan penyedia barang. Pada umumnya hampir seluruh kebutuhan pemerintah pusat dan daerah yang berbentuk fabrikan sudah ada di e-katalog.

Di sisi lain, pengadaan barang/jasa pemerintah baik pusat maupun daerah masih didominasi oleh pengadaan jasa konstruksi baik itu konstruksi terknologi sederhana maupun konstruksi teknolgi tinggi, baik itu meliputi sarana transportasi, distribusi air, permukiman, penataan ruang maupun gedung. Mulai dari hanya sekedar tanah timbun sampai pada pelabuhan laut maupun udara. Dari sekedar jalan setapak maupun jalan tol. Dari sekedar saluran air sawah maupun bendungan besar.

Bila kita bicara tentang pengadaan jasa konstruksi maka dengan nilai anggaran di atas Rp. 200 juta rupiah akan digunakan metode pelelangan, baik itu pelelangan sederhana, pelelangan terbatas maupun pelelangan umum. Sistem evaluasi yang digunakan mulai dari sistem gugur (harga terendah) ataupun sistem nilai. Sistem nilai yang identik dengan skoring juga masih didominasi oleh bobot biaya yaitu antara 70-90 % dari total skor. Sistem gugur biasanya dipergunakan pada pelelangan dengan teknologi sederhana. Sedangkan sistem nilai biasanya dipergunakan pada pelelangan dengan teknologi menengah dan teknologi tinggi.

Sabtu, 06 Mei 2017

Pokok-Pokok Pikiran Tentang Kriminalisasi Pengadaan Pada Diskusi Cafe APPI

(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link https://birokratmenulis.org/paradigma-statis-dan-intervensi-yang-dapat-berujung-pada-kriminalisasi/)

Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (APPI) DPW Sumatra Utara melaksanakan Diskusi CafĂ© APPI pada 21 April 2017 di Medan dengan tema : “Kriminalisasi Pengadaan Barang dan Jasa, Paradoks Pembangunan Ekonomi dan Penegakan Hukum”. Pikiranku kembali melayang pada kriminalisasi pengadaan secara empiris.

Pengadaan barang/jasa mengalami perubahan yang mendasar sejak LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) dilaunching pada tahun 2010 dan secara tegas diwajibkan paling lambat tahun 2012 yang dicantumkan dalam Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemeritah. Perbedaan utama adalah pada pelelangan manual keseluruhan tahapan pelelangan dilaksanakan secara manual. Pada pelelangan secara elektronik seluruh tahapan pelelangan dilaksanakan secara elektronik atau dengan kata lain tender online.

Namun perubahan itu hanya berputar pada metode pelelangan. Sedangkan perilaku dan atmosfer ekosistem pengadaan tidak mengalami perubahan yang berarti. Pada masa tender manual, seluruh dinamika ekosistem pengadaan masih bisa diimbangi oleh praktisi pengadaan dikarenakan sifat manual yang dimilikinya. Namun pada masa tender online di mana sifat online yang dimiliki membuat pelelangan tidak memiliki batas ruang wilayah dan tidak memiliki fleksibilitas dalam mengkotak-katik dokumen penawaran. Akibatnya dinamika pada ekosistem pengadaan tidak terimbangi oleh praktisi pengadaan.

Bagian yang paling berpengaruh dari ekosistem pengadaan adalah peserta pelelangan dan pengaruh birokrasi.

Pada pelaksanaan pelelangan online, seluruh perusahaan dari Sabang sampai Merauke bisa memasukkan penawaran secara online. Persaingan menjadi begitu bebas. Praktisi pengadaan dihadapkan pada ketidakberdayaan untuk melakukan penyimpangan mengingat semua dokumen bersifat online dan mengendap secara permanen pada sistem LPSE. Dengan kata lain tak bisa dikotak-katik. Namun perilaku sebagian peserta lelang masih berparadigma lelang manual di mana apabila mereka kalah dalam pelelangan adalah merupakan hasil permainan dan hasil kecurangan memenangkan perusahaan tertentu. Akibatnya dengan atau tanpa melaksanakan mekanisme sanggahan maka terjadilah proses pengaduan oleh peserta lelang yang kalah kepada Aparat Penegak Hukum (APH). Walaupun pada Perpres nomor 54 tahun 2010 sudah diatur tentang mekanisme pengaduan yang seharusnya disampaikan kepada Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).