Rabu, 20 April 2022

Efisiensi Birokrasi dan Otonomi Daerah

(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link  https://birokratmenulis.org/penyederhanaan-birokrasi-dan-otonomi-daerah-realitas-pada-perencanaan-anggaran-pola-karir-dan-audit/)

Masih terngiang di telinga kita ketika Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dengan penuh semangat menyampaikan pidato pelantikan sebagai Presiden RI periode 2019-2024. Ada 5 agenda besar yang akan dibenahi dan diselesaikan dalam 5 tahun mendatang masa kepemimpinannya. Salah satu amanat dan tugas besar yang disampaikan melalui pidatonya tersebut adalah penyederhanaan birokrasi yang akan dilakukan secara besar-besaran. Prosedur yang panjang harus dipotong. Birokrasi yang panjang harus kita pangkas. Eselonisasi harus disederhanakan. Pertanyaan besarnya adalah sudah sejauh mana instruksi bapak Presiden ini dikerjakan oleh jajaran di bawahnya? 

 Penyederhanaan birokrasi masih terkendala pada banyaknya peraturan yang apabila dikerjakan semuanya maka waktu 8 jam kerja sehari dalam satu tahun hanya akan habis untuk mengkutak katik administrasi yang diwajibkan oleh semua peraturan tersebut dan takkan ada waktu untuk pembangunan dan pelayanan publik. Apalagi bila kita meneropong kondisi pemerintah daerah dengan otonomi daerahnya masih sangat terjebak dengan segala ketentuan dari peraturan yang lebih tinggi yang membuat gerak dan langkah otonomi daerah jauh dari efektif dan efisien. Saya coba mengkupas realita penyederhanaan birokrasi dalam bingkai otonomi daerah pada tahapan perencanaan anggaran, organisasi dan penilaian/audit. Ketidak efisienan pada perencanaan anggaran, kepegawaian dan penilaian/audit membuat waktu yang tersisa untuk pembangunan dan pelayanan publik menjadi berkurang. Dengan kata lain waktu untuk pembangunan dan pelayanan publik jauh lebih sedikit daripada waktu untuk perencanaan anggaran, proses kepegawaian dan penilaian/audit. 

 Pada perencanaan anggaran, masih berada pada bingkai UU nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Artinya UU ini dibuat 15 tahun sebelum perintah Presiden Joko Widodo tentang penyederhanaan birokrasi. Tanpa merubah UU nomor 25 tahun 2004 maka isu penyederhanaan birokrasi hanyalah angin lalu. Coba kita simak lebih mendalam. Tahapan perencanaan anggaran tahunan dimulai dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional. Untuk pemerintah daerah mulai dari tingkat desa sampai kabupaten. Musrenbang ini dilaksanakan pada kisaran bulan Maret-April setiap tahunnya. Kemudian dilanjutkan ke tahapan penyusunan Rencana Kerja Perangkat Daerah (RKPD) kemudian dilanjutkan ke penyusunan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) kemudian dilanjutkan dengan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) kemudian dilanjutkan dengan penyusunan Rancangan Penjabaran APBD. Dari sini saja mulai dari Musrenbang sampai lahirnya APBD melewati 4 tahapan. Di pertengahan tahun ada lagi proses penyusunan Rancangan Perubahan APBD yang didahului sebelumnya dengan Perubahan RKPD, Perubahan KUA-PPAS. Berapa bulan waktu yang dihabiskan untuk memperoleh APBD dan Perubahan APBD ? Apakah ini sudah sejalan dengan Instruksi Presiden Joko Widodo tentang penyederhanaan birokrasi ?

 Saya pribadi memandang bahwa tahapan penyusunan RKPD dan KUA-PPAS merupakan langkah atau tahapan yang tidak efisien. Kedua tahapan ini dihapuskan saja. Tahapan perencanaan anggaran cukup dengan Musrenbang setelah itu langsung dilakukan penyusunan Rancangan APBD. Musrenbang dilakukan di bulan september, penyusunan Rancangan APBD dilakukan di bulan Oktober, pembahasan Rancangan APBD di DPRD dilakukan di bulan November dan penyusunan Penjabaran APBD dilakukan di bulan Desember. Dengan demikian maka di bulan Januari sudah bisa dilakukan tender proyek atau proses pengadaan/penunjukan langsung untuk proyek kecil. Dengan efisiensi model seperti ini maka Badan Perencanaan Pembangunan Daerah bisa dimerger dengan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah menjadi satu perangkat daerah.

 Pada pengelolaan organisasi maupun pengisian jabatan masih banyak ditemukan ketidakefisienan. Untuk penyusunan organisasi mempedomani Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah yang telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2019. Penempatan jabatan dalam organisasi diatur dengan UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2020. Salah satu ketidakefisienan dalam organisasi dan kepegawaian adalah tidak adanya pola promosi jabatan dan pola karir yang diatur secara nasional sehingga mutasi jabatan terjadi tidak teratur waktunya dan tidak teratur pola promosinya. Seseorang bisa diangkat dalam jabatan dan bisa dicopot dari jabatan tanpa alasan yang jelas. Bisa ditempatkan pada posisi yang belum tentu sesuai dengan kapasitas, pengalaman dan latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya. Ketiadaan pola promosi jabatan dan pola karir ini membuat banyak PNS stres dan harus menempuh jalan di luar peraturan untuk memperoleh jabatan seperti pendekatan pribadi ataupun pendekatan kelompok bahkan pendekatan politik yang ternyata jauh lebih efektif daripada yang sudah digariskan pada UU nomor 5 tahun 2014 maupun PP nomor 72 tahun 2019. Ketiadaan pola promosi jabatan dan pola karir ini membuat karir PNS menjadi zigzag dan tidak bisa melahirkan birokrat yang tangguh seperti di zaman orde baru. Ini sangat berpengaruh pada kulitas kerja dan kualitas pelayanan publik yang pada akhirnya berpengaruh pada pencapaian kualitas pembangunan daerah. Oleh karena itu bila organisasi dan kepegawaian akan diefisienkan maka tidak ada jalan lain pola promosi jabatan dan pola karir harus diatur secara ketat dan terstandarisasi secara nasional sebagaimana kita lihat pada organisasi TNI dan Polri yang memiliki pola promosi jabatan dan pola karir yang jelas dan terstruktur secara nasional sehingga bisa melahirkan pemimpin yang tangguh dan profesional dalam menjalankan tugas negara.

 Pada tahapan penilaian dan audit, perlu dilakukan penyederhanaan baik kelembagaan maupun jenis serta metode audit. Lembaga audit mulai dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Daerah (provinsi, kabupaten dan kota). Model dan metode penilaian maupun audit mulai dari reviu yang semakin lama semakin banyak ragamnya, audit reguler internal, audit reguler eksternal, Laporan Pelaksanaan Pemerintah Daerah (LPPD), Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah (LAKIP), Evaluasi Reformasi Birokrasi, Monitoring Center for Prevention (MCP) KPK dan entah apa lagi di mana masing-masing instansi membuat metode penilaian dan audit masing-masing. Hal ini perlu disederhanakan dengan melakukan merger dan spesialisasi tugas penilaian dan audit. Semua jenis reviu dihapuskan saja karena reviu ini dilakukan terkesan dikarenakan ketidakpercayaan terhadap kualitas kinerja pejabat daerah. Serahkan saja sepenuhnya tanggung jawab tersebut kepada si pejabat daerah atas semua resiko yang akan ditanggungnya apabila terjadi penyimpangan. Apabila pola promosi jabatan dan pola karir telah berjalan dengan baik maka produk kerja pejabat juga akan semakin baik. Keberadaan dari begitu banyaknya reviu saat ini tidak berdampak pada perbaikan kinerja birokrasi dan hanya terkesan sebagai sebuah tahapan baru yang bersifat seremoni dan formalitas prosedural belaka. Tidak menambah efisien justru menambah ketidakeifisienan dan keterlambatan. Demikian juga beberapa bentuk penilaian seperti SAKIP, LPPD, MCP KPK, evaluasi Reformasi Birokrasi dan lainnya digabungkan saja menjadi satu penilaian yang terintegrasi. Terlalu banyaknya bentuk penilaian sangat tidak efisien.

 Mimpi indah tentang efisiensi birokrasi pada tiga tahapan di atas apabila dijalankan dengan baik akan merubah wajah birokrasi pemerintah daerah. Persentase pembangunan dan pelayanan publik akan meningkat drastis.

 Salam reformasi

 20 April 2022

 ***      

HUT Kabupaten Madina ke-23 : Refleksi Prioritas Pembangunan

Tak terasa pada tanggal 9 Maret 2022 Kabupaten Mandailing Natal sudah berumur 23 tahun. Sebuah jangka waktu yang cukup untuk merefleksikan sudah sejauh mana target pencapaian pembangunan jangka panjang sejak berdiri tanggal 9 Maret 1999 sampai dengan sekarang ini. Sektor penting yang perlu dievaluasi adalah sektor pendidikan, kesehatan, pangan, ketenagakerjaan, infrastruktur dan pemerintahan desa.

 Pada sektor pendidikan, sampai sekarang ini terdapat 395 SD negeri, 20 SD swasta, 83 SMP negeri, 45 SMP swasta, 26 SMA negeri, 30 SMA swasta, 12 SMK negeri, 10 SMK swasta, 1 PTN, 3 sekolah tinggi/akademi kesehatan. Dari sektor pendidikan ini yang perlu dievaluasi adalah skala prioritas penggunaan dana alokasi khusus (DAK) bidang fisik, optimalisasi dana BOS dan seleksi kepala sekolah.

 Setiap tahunnya Kabupaten Mandailing Natal memperoleh belasan milyar dana alokasi khusus (DAK) bidang fisik untuk rehabilitasi gedung sekolah dan perlengkapannya. Dalam hal ini diperlukan peningkatan skala prioritas penggunaan dana di mana survei kebutuhan dana harus mengutamakan rehabilitasi sekolah yang rusak berat terlebih dahulu. Sampai saat ini masih ditemukan banyak sekolah yang kondisi rusak berat namun belum tersentuh oleh dana DAK. Oleh karena itu di samping menggunakan jasa konsultan perencana/fasilitator, ada baiknya informasi dari kelompok masyarakat dipergunakan oleh Dinas Pendidikan dalam penyusunan skala prioritas penggunaan dana DAK fisik bidang pendidikan.

 Setiap tahunnya Kabupaten Mandailing Natal memperoleh dana bantuan operasional sekolah (BOS) bervariasi setiap sekolah sesuai dengan jumlah murid pada sekolah tersebut. Dana BOS berfungsi untuk menghilangkan seluruh kutipan terhadap murid yang selama ini dikenal dengan istlah SPP (sumbangan pembiayaan pendidikan) yang dikutip setiap bulan ataupun uang pembangunan yang dikutip setiap awal masuk sekolah. Setelah adanya dana BOS, apakah kualitas pendidikan menjadi meningkat ? atau justru menurun ? Yang pasti setelah adanya dana BOS kepala sekolah pada waktu tertentu terutama pada saat pencairan dana BOS menjadi jarang berkantor di sekolah dan sulit dihubungi. Ditambah dengan kesibukan baru para guru yang menjadi pengelola dana BOS. Tentunya ini akan berpengaruh pada kuantitas dan kualitas belajar mengajar. Untuk itu perlu pengkajian khusus untuk membentuk satu unit/struktur khusus pengelola dana BOS agar kepala sekolah maupun guru pendidik tidak perlu terlibat dalam pengelolaan dana BOS dan bisa tetap konsentrasi menjalankan tugas pembelajaran.

 Bagaimana dengan kualitas kepala sekolah ? Sudah saatnya pemilihan kepala sekolah mempedomani Permendikbudristek nomor 40 tahun 2021 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah agar kualitas pendidikan bisa ditingkatkan. Pola seleksi terbuka calon kepala sekolah menjadi alternatif untuk memberi kesempatan berkompetisi menjadi kepala sekolah.

 Pada sektor kesehatan, terdapat 26 puskesmas, 58 puskesmas pembantu, 2 RSUD (Panyabungan dan Natal). Pada sektor kesehatan ini yang perlu diperhatikan adalah penyebaran dan pemerataan layanan kesehatan masyarakat di mana kondisi geografis Mandailing Natal membuat jarak dan waktu tempuh dari semua desa ke RSUD Panyabungan memiliki ketimpangan yang cukup tinggi dengan perbandingan dari desa terdekat dan desa terjauh. Oleh karena itu layanan puskesmas pada kecamatan terjauh dari Panyabungan harus ditingkatkan menjadi layanan 24 jam. Tentunya hal ini harus mendapat dukungan anggaran yang cukup. Puskesmas pada kecamatan terjauh seperti puskesmas di kecamatan Muara Batang Gadis, Kecamatan Batahan, Kecamatan Ranto Baek, Kecamatan Pakantan, kecamatan Ulu Pungkut layanannya harus 24 jam dan fasilitas IGD (instalasi rawat darurat) harus dibangun. Sedangkan ketersediaan tenaga medis harus mempertimbangkan penugasan dan insentif wilayah terjauh dengan penambahan tunjangan tertentu agar dipersyaratkan semua tenaga medis harus tinggal menetap di perumahan dinas medis puskesmas terjauh tersebut. Semua pasien harus mendapat layanan BPJS sehingga layanan perobatan gratis harus tercapai terutama kepada rakyat yang tidak mampu secara ekonomi.

 Pada sektor pangan diperlukan upaya swasembada pangan. Harus kita akui walaupun Mandailing Natal merupakan wilayah agraris dan maritim memiliki lahan subur dan laut yang luas namun kebutuhan komoditi kebutuhan bahan pokok makanan belum bisa dipenuhi dari produksi dalam kabupaten sehingga masih harus mendatangkan komoditi dari luar Mandailing Natal. Untuk itu diperlukan kerja keras baik pemerintah maupun awasta untuk intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian agar kebutuhan bahan makanan pokok bisa tercukupi dari produksi dalam kabupaten. Penciptaan petani dan nelayan baru yang terdidik diperlukan apalagi kita memiliki SMK Pertanian yang sekarang berubah nama menjadi SMK Negeri 1 Lembah Sorik Marapi. Alumni SMK ini diharapkan bisa menjadi petani dan nelayan baru secara terdidik didukung dengan permodalan baik dari Kredit Usaha Rakyat maupun dari dana CSAR perusahaan.

 Pada sektor ketenagakerjaan cukup menyedihkan. Dinas Tenaga Kerja belum maksimal menciptakan lapangan kerja baru. Balai Latihan Kerja baru bergerak pada pelatihan keterampilan tanpa adanya pembekalan bagaimana membuka usaha baru. Apalagi jumlah anggaran yang terlalu minim membuat Dinas Tenaga Kerja semakin terseok-seok. Balai Latihan Kerja harus merubah skala prioritas kurikulum pelatihan dari pelatihan berbasis industri menjadi pelatihan berbasis pangan dan pengolahan pasca panen ditambah kurikulum wirausaha baru dan permodalan baik dari dana KUR maupun CSAR perusahaan.  

 Pada sektor infrastruktur, masih banyak ditemukan desa terisolir, desa yang belum bisa dicapai dengan kenderaan dikarenakan jalur transportasi darat belum berbentuk jalan permanen, masih jalur kecil dan jalan tanah yang sangat sempit. Bahkan masih ada desa yang baru bisa dicapai lewat jalur transportasi sungai. Tentunya ini sangat menyedihkan. Oleh karena itu diperlukan upaya kreatif dari Dinas PUPR untuk membuat target di mana dalam 3 tahun mendatang semua desa terisolir harus sudah bisa dibebaskan. Perlu dibuat proposal anggaran pembangunan baik ditujukan ke Kementerian PUPR maupun Kementerian Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi agar pembebasan desa terisolir tersebut bisa dibantu dengan dana APBN.

 Di samping itu, peta jaringan jalan menunjukkan bahwa ditemukan ketidakefisinan jalur transportasi dari daerah pantai barat ke ibukota Panyabungan. Waktu tempuh Natal-Panyabungan paling cepat 3 jam. Waktu tempuh Muara Batang Gadis-Panyabungan paling cepat 6 jam. Diperlukan jalan tembus baru agar waktu tempuh dari Muara Batang Gadis dan dari Natal ke Panyabungan bisa dipercepat. Pada tahun 2002 Dinas PU pernah membuat gagasan jalan tembus Singkuang-Nagajuang dan Runding-Simpang Gambir. Dengan jalan tembus Singkuang-Nagajuang akan membuat waktu tempuh dari Muara Batang Gadis ke Panyabungan hanya sekitar 2 jam. Dengan jalan tembus Runding-Simpang Gambir membuat waktu tempuh Natal-Panyabungan hanya sekitar 1 jam. Jalan tembus ini akan meningkatkan layanan di berbagai bidang terutama layanan perdagangan dan layanan pariwisata. Sudah saatnya program jalan tembus ini bisa direalisasikan dalam 3 tahun mendatang secara bertahap.

 Di sektor pemerintahan desa. Proses pertanggung jawaban dana desa kepada BPD (Badan Permusyawaratan Desa) dan ke publik sudah saatnya dilaksanakan. UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pasal 27 mengamanahkan mekanisme kepala desa memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada BPD setiap akhir tahun anggaran dan menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat desa setiap akhir tahun anggaran. Kedua mekanisme pertanggungjawaban ini sudah saatnya dilaksanakan agar pelaksanaan APBDes bisa transparan dan untuk mencegah terjadinya pengaduan masyarakat tentang dugaan penyimpangan maupun dugaan korupsi dana desa ke aparat penegak hukum. Untuk itu maka diharapkan agar kita segera menerapkan amanah UU nomor 6 tahun 2014 pasal 27 tersebut dan apabila kepala desa tidak bersedia melaksanakan mekanisme pertanggungjawaban APBDes ke BPD dan publik tersebut maka kepala desa seharusnya dikenakan sangsi sesuai UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pasal 28 yaitu teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap.

 Di samping itu, kualitas perangkat desa perlu ditingkatkan. Pengelolaan administrasi, teknis dan keuangan desa masih banyak ditemukan ketidakmampuan perangkat desa dalam semua hal. Hal ini dikarenakan pemilihan perangkat desa masih belum mempedomani sebagaimana diatur dalam Permendagri nomor 83 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa pasal 4 di mana seharusnya perangkat desa dipilih melalui mekanisme seleksi yang dilakukan oleh tim seleksi secara terbuka. Atau dengan kata lain perangkat desa dipilih melalui sebuah kompetisi/ujian tertulis secara akademik administrasi, teknis dan keuangan. Oleh karena itu agar tugas administrasi, teknis dan keuangan desa bisa dikerjakan secara mandiri oleh desa maka semua perangkat desa harus diseleksi ulang sesuai dengan amanah Permendagri nomor 83 tahun 2015 pasal 4. Saat ini generasi terdidik tamatan perguruan tinggi sudah banyak jumlahnya dan mereka siap untuk turut serta membangun desa menjadi perangkat desa menjalankan APBDes dan BUMDes secara transparan.

 Tentang pemilihan kepala desa. Sampai saat ini belum ada pengelolaan dan pembangunan desa yang menonjol. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kualitas kepala desa. Walaupun Permendagri nomor 72 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri nomor 112 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa belum mengatur tentang mekanisme seleksi kemampuan akademik calon kepala desa namun sudah perlu dipikirkan untuk menyusun sebuah peraturan tentang seleksi kemampuan akademik calon kepala desa dalam payung hukum Peraturan Daerah di mana setiap calon kepala desa harus melalui ujian akademik tentang pemerintahan desa baik dalam bentuk ujian peraturan desa maupun ujian psikotest sehingga nantinya semua calon kepala desa yang akan bertanding di pilkades benar-benar merupakan putra putri terbaik di desa tersebut.

 Demikian refleksi pembangunan Kabupaten Mandailing Natal dan skala prioritas yang harus kita pikirkan bersama agar cita-cita pembentukan Kabupaten Mandailing Natal bisa kita raih melalui lompatan dan inovasi yang kreatif berlandaskan peraturan yang ada. Selamat HUT Madina yang ke-23.

9 Maret 2022