Sabtu, 08 April 2017

Refleksi Pasca Rakor Pencegahan Korupsi Di Sumut

(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link https://birokratmenulis.org/refleksi-pasca-rakor-pencegahan-korupsi-di-sumut/)

Pada hari kamis-jumat tanggal 6-7 April 2017 dilaksanakan Rapat Koordinasi Pencegahan Korupsi Terintegrasi di Propinsi Sumatra Utara antara KPK dengan seluruh Kepala Daerah dan Ketua DPRD se-Sumatra Utara. Acara meliputi beberapa paparan narasumber, e-planning, MOU dan diskusi beberapa kelompok kerja. Rapat kerja ini merupakan salah satu dari konsekuensi dibentuknya Satgas KPK di Sumatra Utara, satu dari enam Satgas KPK yang dibentuk di enam propinsi tertentu.

Rakor kali ini lebih banyak diwarnai modernisasi/elektronisasi birokrasi ditandai dengan paparan e-budgeting dari Pemerintah Propinsi Sumatra Utara. Elektronisasi birokrasi yang biasa dikenal dengan e-government merupakan salah satu upaya pencegahan korupsi di mana dengan menggunakan teknologi informasi maka beberapa sisi manual birokrasi tergantikan oleh sistem informasi. Dalam hal ini apabila persyaratan yang dibutuhkan telah terpenuhi maka otomatis sistem akan bergerak sendiri sampai mencapai akhir proses. Pencegahan korupsi yang bisa dicapai adalah hilangnya proses menghambat-hambat dengan berbagai alasan. Misalnya di sektor perijinan usaha, perencanaan anggaran dan lain sebagainya.  

Salah satu paparan yang dilaksanakan adalah paparan dari Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. LKPP dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 dan pelantikan kepengurusan LKPP dilaksanakan pada tahun 2008. LKPP kini berusia 9 tahun. Beberapa produk LKPP yang fenomenal adalah Unit Layanan Pengadaan (ULP), Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan elektronik katalog (e-katalog), di samping beberapa program lainnya. Paparan Kepala LKPP pada Rakor di Medan dikarenakan terbatasnya waktu yang diberikan yaitu hanya 15 menit membuat ruang gerak paparan menjadi sangat terbatas. Kepala LKPP hanya sempat mengupas kelembagaan ULP yang belum independen dan menjelaskan keberadaan e-katalog.

Pengadaan barang/jasa di ULP masih merupakan salah satu titik sentral terjadinya tindak pidana korupsi. Pembenahan yang tepat dan terintegrasi dengan lingkunganya, yang biasa dikenal dengan ekosistem pengadaan, akan efektif mencegah terjadinya tidak pidana korupsi di sektor pengadaan barang/jasa. Upaya perkuatan kelembagaan ULP terus diupayakan. Pada Rakornas ULP di Makasar tahun 2016 menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah. Sebelumnya ULP ada yang bersifat adhoc, ada yang melekat pada fungsi salah satu instansi (biasanya pada Biro/Bagian Administrasi Pembangunan atau Biro/Bagian Perlengkapan), ada juga sebagai unit kerja dari instansi (Biro/Bidang/Bagian Pengadaan Barang/Jasa). Seandainya Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah terbentuk maka fungsinya bukan hanya sebatas tender menender proyek saja tapi juga mencakup fungsi pembinaan, monitoring/evaluasi, penelitian dan pengembangan serta advokasi permasalahan hukum. Dengan kata lain Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah merupakan miniatur LKPP di daerah. Hanya saja dalam Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah memiliki atmosfer yang tidak mendukung pembentukan Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah sehingga ketika pemerintah daerah melakukan reorganisasi perangkat daerah tahun 2016 maka isu pembentukan Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah tidak mendapat dukungan yang berarti.