Pengadaan jasa konstruksi masih
merupakan pemegang dominasi pengadaan barang/jasa pemerintah mengingat
pengadaan jasa konstruksi memiliki anggaran terbesar baik pada APBN maupun
APBD. Hal ini mengingat jasa konstruksi memiliki kaitan dengan aspek lainnya
seperti transportasi, distribusi air, permukiman, penataan ruang dan gedung.
Pada Peraturan Presiden nomor 54
tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah beserta keempat
perubahannya diatur bahwa metode evaluasi pengadaan jasa konstruksi terdiri
atas sistem gugur, sistem nilai dan sistem penilaian biaya selama umur
ekonomis. Sistem gugur identik dengan pemenang lelang dengan harga terendah
yang memiliki kelengkapan administrasi dan teknis. Sistem nilai identik dengan
skoring namun masih didominasi oleh bobot biaya antara 70-90 % total skor.
Sedangkan sistem penilaian biaya selama umur ekonomis jarang dipergunakan.
Sistem gugur biasanya
dipergunakan pada konstruksi dengan bentuk sederhana dan menggunakan teknologi
sederhana yang didominasi oleh tenaga kerja trampil bersertifikat. Sedangkan
sistem nilai biasanya dipergunakan pada konstruksi dengan bentuk komplek dan
teknologi menengah dan teknologi tinggi yang memakai tenaga kerja ahli
bersertifikat.
Pada beberapa penerapan
pelelangan dengan sistem gugur, seringkali terjadi hasil pelelangan dengan
perusahaan pemenang lelang tidak sebanding dengan kinerja di lapangan dalam
bentuk pelaksanaan kontrak di mana baik kualitas kerja maupun kualitas hasil pekerjaan
tidak seindah dokumen penawaran pada saat pelelangan dilaksanakan. Dokumen
penawaran baik itu penawaran administrasi, penawaran teknis dan penawaran biaya
begitu bagus namun tidak linear dengan kualitas kinerja dan produk konstruksi
yang dihasilkan. Di sini baik pejabat pembuat komitmen/pimpro maupun kelompok
kerja pengadaan (pokja pengadaan)/panitia lelang mengalami dilema dan sering
harus berurusan dengan penegak hukum manakala produk kerja di lapangan
berkualitas rendah dan mudah rusak sehingga urusan dengan penegak hukum membuat
mereka kapok dan tidak bersedia lagi menjalankan tugas yang sama dengan
sebelumnya walaupun mereka sudah menjalankan tugas sesuai dengan alur tahapan
kerja di peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Saya sendiri
sering dicecar dengan berbagai pertanyaan baik dari elemen masyarakat maupun
oleh pihak legislatif dengan tuduhan tidak cermat dalam memilih perusahaan
penyedia jasa konstruksi.
Saya memandang bahwa fokus
penilaian tidak boleh terlalu menyalahkan SDM. Fokus penilaian harus juga
ditujukan kepada sistem dan regulasi terutama regulasi tentang sistem gugur itu
sendiri. Regulasi terlalu banyak memiliki aspek yang terlalu longgar yang
justru akan menjebak diri sendiri. Dengan keuntungan teoritis sebesar 15 %
(untung + overhead) tapi peserta lelang bisa menawar dengan penurunan harga
melebihi 15 % bahkan pernah penurunan harga mencapai 25 % dari HPS. Pada
kondisi ini pokja pengadaan tidak punya dasar untuk menggugurkan dengan argumen
harga tidak wajar karena turun melebihi keuntungan yang disediakan. Pokja
pengadaan hanya bisa klarifikasi kesediaan untuk menaikkan jaminan pelaksanaan
sebesar 5 % dari HPS.
Secara logika, apabila penurunan
harga penawaran di atas keuntungan yang disediakan maka secara akal sehat
perusahaan tidak akan beuntung lagi dalam bekerja. Apa mungkin perusahaan mau
bekerja tanpa memperoleh keuntungan ?
Saya memandang bahwa sudah
saatnya sistem gugur dalam pelelangan jasa konstruksi dihapus saja. Digantikan
dengan sistem nilai. Namun sistem nilai yang sekarang yang masih didominasi
oleh bobot biaya yang paling tinggi (70-90 %) juga harus dirubah. Bobot biaya
cukup maksimal 33 % saja. Lantas apa yang seharusnya mendominasi bobot skoring
? Saya memandang bahwa kualitas dan kinerja sebuah perusahaan jasa konstruksi
tidak bisa dinilai dengan berkas administrasi yang dimilikinya. Kualitas dan
kinerja seharusnya dinilai dari kualitas produk pekerjaan konstruksi itu
sendiri. Saya memandang bahwa pengalaman pekerjaan konstruksi dan kondisi
kualitas produk pekerjaan konstruksi harus menjadi bobot dominan dalam skoring
sistem nilai yaitu dengan bobot 51 %. Semakin bagus kualitas produk hasil
pekerjaan konstruksi yang dimilikinya maka skornya akan semakin besar dan
peluang untuk menjadi pemenang akan semakin tinggi. Dengan demikian maka
perusahaan akan berlomba meningkatkan kualitas produk pekerjaannya karena akan
menjadi faktor dominan dalam penilaian menjadi pemenang lelang jasa konstruksi.
Perusahaan jasa konstruksi akan takut memproduksi hasil pekerjaan berkualitas
rendah karena akan membuatnya tidak bisa unggul di pelelangan.
Paradigma percepatan penyerapan
anggaran dan penghematan anggaran negara dari besarnya selisih antara penawaran
harga dengan pagu anggaran tidak boleh mengabaikan kualitas produk pekerjaan
konstruksi.
Justru penghematan anggaran yang
sebenarnya adalah ketika produk pekerjaan konstruksi memiliki kualitas yang
tinggi dan umur bangunan yang lama sehingga baik biaya pemeliharaan maupun
biaya rehab perbaikan tidak memakan biaya yang banyak.
Konstruksi sehat negara kuat.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
30 Desember 2016.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar