Minggu, 28 Februari 2016

Sinergi KPK - LKPP Untuk Pencegahan Korupsi

Bila kita menelaah UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Pada pasal 1 nomor 3 disebutkan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6 menyebutkan KPKmempunyai tugas : a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi ; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi ; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi ; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi ; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Pasal 14 menyebutkan dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah ; b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;

Saya mencoba menggarisbawahi pada pasal 1 nomor 3 bahwa mencegah terlebih dahulu disebutkan sebelum memberantas korupsi.  Dan upaya koordinasi, supervisi dan monitor lebih dahulu disebutkan sebelum penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan. Pada pasal 6 saya menggaris bawahi melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Sedangkan pada pasal 14 saya menggaris bawahi memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan.

Dalam beberapa waktu akhir-akhir ini KPK sudah melakukan koordinasi dengan beberapa lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, Mabes Polri, BPK dan instansi lainnya. Semua itu dalam rangka sinergi dalam pemberantasan korupsi. Namun belum pernah saya melihat dan mendengar KPK berkoordinasi dengan lembaga atau instansi dalam rangka meningkatkan koordinasi pencegahan korupsi.

Pada seleksi pimpinan KPK jilid 4 tahun 2015 yang lalu ada suatu hal yang menarik yaitu terpilihnya Agus Raharjo mantan Kepala LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/Jasa Pemerintah). Isu pencegahan korupsi yang menjadi andalan dari Agus raharjo cukup menarik perhatian di Komisi III DPR. Sehingga KPK jilid 4 dipandang sebagai era pencegahan korupsi.


Namun, hingga beberapa bulan perjalanan KPK jilid 4, belum terlihat sama sekali warna dari pencegahan korupsi yang menjadi isu andalan Ketua KPK. Ini menarik. Di satu sisi ternyata pasal-pasal dalam UU KPK masih didominasi oleh materi penindakan korupsi. Di sisi lain belum ada perombakan pada unsur pimpinan dan staf pada deputi bidang pencegahan. Ditambah dengan belum adanya koordinasi yang fokus pada lembaga dan instansi yang berpotensi mengembangkan pencegahan korupsi. Dalam hal ini maka sudah waktunya disusun Peraturan Pemerintah tentang Pengembangan Visi Pencegahan yang sudah barang tentu draft Peraturan Pemerintah tersebut harus disusun oleh KPK sendiri.

Satu benang merah dari terpilihnya Agus Raharjo adalah secara kebatinan seharusnya KPK bersinergi dengan LKPP dalam pengembangan visi pencegahan korupsi. Semua isu yang dibawakan oleh Agus Raharjo pada saat seleksi pimpinan KPK di Komisi III DPR adalah semuanya merupakan program di LKPP. Dan mayoritas program LKPP adalah dalam rangka pencegahan tindak pidana korupsi. Sudah waktunya KPK menyusun formula pencegahan korupsi bekerjasama dengan LKPP. Dan ini merupakan amanah dari UU KPK pasal 14.

Namun saya melihat kalaupun sinergi antara KPK dan LKPP dibangun untuk saat ini maka anatomi LKPP sendiri belum mendukung baik dari segi kuantitas maupun rentang kendali. Indonesia memiliki 34 pemerintah propinsi, 412 pemerintah kabupaten, 93 pemerintah kota, 34 kementerian, 30 lembaga non kementerian, 119 BUMN dan 9 lembaga negara. Kesemuanya tunduk pada peraturan yang dibuat LKPP dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah.

Sedangkan anatomi LKPP itu sendiri 1 sekretariat utama, 1 inspektorat dan 4 deputi. Diperkirakan jumlah staf LKPP hanya sekitar 200 orang. Dengan anggaran tahun 2016 di bawah 200 milyar (data RUP tahun 2016). Dengan total staf dan anggaran yang demikian, bagaimana mungkin kita bisa berharap pada LKPP dalam rangka pencegahan korupsi yang bersinergi dengan KPK ? Bagaimana LKPP harus menyikapi permintaan konsultasi dan pendampingan dari ribuan ULP, LPSE dan PPK/pimpro seIndonesia ? Sedangkan ribuan ULP, LPSE dan PPK/pimpro seIndonesia tersebut menyandarkan harapannya kepada LKPP agar mereka tidak terjerat kepada masalah hukum ataupun tertimpa kriminalisasi pengadaan ? Jujur saja, saat ini banyak perangkat organisasi pengadaan yang harus gigit jari akibat permohonan pendampingan tidak bisa dipenuhi oleh LKPP akibat keterbatasan staf.

Saya sendiri tetap berharap sinergi KPK – LKPP tetap harus direalisasikan dengan syarat LKPP harus dimekarkan. LKPP sebagai sebuah lembaga harus dirobah menjadi Badan yaitu Badan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (BKPP). Perpres nomor 106 tahun 2007 harus dirobah. Dengan berbentuk badan maka LKPP bisa membentuk perwakilan di seluruh propinsi, atau paling tidak bisa membentuk perwakilan regional. Mimpi indah LKPP tentang pembentukan Diklat Barang/jasa, Badan Penyelesaian Sengketa Pengadaan, vertikalisasi ULP dan LPSE, pengembangan peran dan fungsi saksi ahli pengadaan serta agen pengadaan bisa terealisasi. Badan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah akan menjadi instansi yang kuat dalam mengemban tugasnya sebagai mitra kerja utama KPK dalam mewujudkan visi pencegahan korupsi. Dengan adanya kantor perwakilan di daerah maka rentang kendali pencegahan korupsi akan semakin luas. Untuk ini maka wajar apabila LKPP yang sudah menjadi Badan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa pemerintah diberi alokasi anggaran kurang lebih 5 trilyun demi suksesnya visi pencegahan korupsi. Sedangkan efek domino dari visi pencegahan korupsi ini adalah percepatan penyerapan anggaran.

Semoga KPK bisa menerima saran ini dan meneruskannya kepada Presiden.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

28 februari 2016.


  •   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar