Senin, 24 Maret 2014

Kegelisahan Gubernur Jokowi



Saya yakin dan percaya ketika Jokowi menjadi walikota solo, tidak terbersit sedikitpun dalam hatinya untuk suatu saat nantinya akan menjadi gubernur Jakarta. Dan saya yakin dan percaya pada saat awal kepemimpinan Jokowi menjadi gubernur Jakarta, tak terbersit sedikitpun dalam hatinya untuk suatu saat nantinya menjadi calon presiden RI.

Di awal kepemimpinannya sebagai gubernur Jakarta, Jokowi mulai mengenali masalah Jakarta, mulai dari yang paling kronis seperti kemacetan dan banjir, sampai pada permasalahan perkotaan pada umumnya seperti kawasan kumuh, urbanisasi, kriminal, birokrasi dan lainnya. Ternyata Jakarta bukanlah sebuah daerah otonom biasa tapi sebuah daerah otonom luar biasa. Hampir semua masalah kronis Jakarta saling kait mengkait dengan daerah sekitarnya terutama daerah Jabodetabek. Kemacetan Jakarta ternyata bukan disebabkan oleh mobilitas keseharian penduduknya sendiri tapi mobilitas keseharian penduduk luar Jakarta yang bergerak dari rumah kediaman menuju tempat beraktifitas terutama bekerja mencari nafkah pada jam yang hampir bersamaan melewati titik lalu lintas tertentu pada waktu yang hampir bersamaan sedangkan keterbatasan daya tampung jalan terhadap pengguna jalan sangat terbatas sehingga terjadilah kemacetan. Solusi jangka pendek adalah membangun rumah susun terhadap pekerja buruh sebagai jumlah terbanyak berdekatan dengan kawasan industri tempatnya bekerja. Jalan layang dibangun untuk memperlancar arus kenderaan tanpa harus menjalani antrian lampu merah perempatan jalan. Bus transjakarat diperbanyak jumlah dan rutenya. Kereta rel listrik diperbanyak. Namun solusi jangka pendek ini tidak begitu efektif. Hanya sekedar memindahkan penggunaan sarana transportasi dari bis kota ke bus transjakarta atau kereta rel listrik. Belum maksimal perpindahan dari penggunaan mobil pribadi ke saraana angkutan umum. Di sini Gubernur Jokowi mulai gelisah. Sudah mulai muncul pemikiran bahwa masalah Jakarta takkan terselesaikan oleh hanya seorang gubernur. Muncul pemikiran sarana transportasi massal seperti MRT dan monorail yang terbukti urusannya tak terbatas hanya pada seorang gubernur tapi terkait dengan beberapa menteri terkait seperti Menteri PU dan Menteri Perhubungan. Setelah melalui jalan berliku akhirnya MRT dan monorail proyeknya mulai dibangun. Gubernur Jokowi kembali gelisah karena MRT dan monorail adalah sebuah proyek jangka menengah yang baru bisa dinikmati hasilnya belasan tahun lagi dan bisa saja berhenti di tengah jalan oleh sesuatu hal. Belum lagi proyek jangka menengah selesai, muncul kebijakan mobil murah yang diprediksi akan membanjiri jalanan Jakarta. Gubernur Jokowi kembali gelisah, akankah kemacetan bisa diatasi hanya oleh seorang gubernur Jakarta ?


Begitu juga dengan banjir. Tiada hujan tiada badai, kok banjir ? Demikian kira-kira keluhan rakyat Jakarta. Jakarta merupakan hilir dari beberapa sungai besar. Berkurangnya daya resap tanah terhadap air, berkurangnya daya alir sungai akibat pendangkalan oleh endapan dan sampah, daerah aliran sungai (DAS) yang dipenuhi pemukiman kumuh di luar Jakarta berakibat tumpahan air hujan mengalir deras ke Jakarta. Sedangkan sungai yang bersifat lintas daerah merupakan domain kerja kementrian terutama Kementrian PU. Namun akibat dari sungai yang meluap dan tidak maksimal fungsinya sebagai penampung air dan mengalirkan air dari hulu ke hilir. Gubernur Jokowi kembali gelisah, akankah banjir Jakarta hanya bisa diselesaikan oleh hanya seorang gubernur Jakarta ?

Permukiman kumuh terutama pada daerah aliran sungai diselesaikan dengan relokasi ke rumah susun. Rumah susun hanya solusi sementara. Untuk jangka menengah rumah susun terancam ledakan penduduk ketika anak-anak di rumah susun beranjak dewasa. Permukiman kumuh adalah efek urbanisasi di mana kaum urban yang kalah bersaing sebagian besar terdesak ke pinggiran sungai. Urbanisasi terkait magnet Jakarta sebagai tempat paling menjanjikan untuk mencari kerja. Urbanisasi takkan berhenti hanya dengan menyediakan rumah susun. Urbanisasi terkait pemerataan pembangunan dan strategi pembangunan daerah. Gubernur Jokowi kembali gelisah, akanlah urbanisasi bisa diselesaikan oleh hanya seorang gubernur Jakarta ?

Uraian di atas hanya sebagian kecil dari kegelisahan Jokowi sebagai gubernur. Jokowi sebagai gubernur semata bagaimanapun maksimalnya peranan gubernur DKI tetap saja takkan bisa menyelesaikan permasalahan jakarta karena penyebab permasalahan Jakarta bukan dari dalam Jakarta sendiri tapi dari luar Jakarta terutama Jabodetabek. Bahkan menyangkut urbanisasi bukan hanya sebatas dari Jabodetabek tapi dari seluruh penjuru negeri nusantara. Jokowi sebagai gubernur sudah sangat menyadari hal ini. Dan Jokowi sebagai gubernur sudah melihat koordinasi dengan birokrasi luar Jakarta begitu njelimet dan tidak linear, bahkan beberapa di antaranya abstrak. Konsep megapolitan Jabodetabek ternyata hanya didukung dengan sebatas hubungan koordinatif tanpa struktur permanen dan anggaran tersendiri.

Ya, tidak ada jalan lain, masalah Jakarta hanya bisa diselesaikan dengan kombinasi solusi intern Jakarta dan solusi ekstern Jakarta. Solusi ekstern Jakarta hanya bisa direalisasikan apabila Jokowi sebagai gubernur harus bertransformasi menjadi Jokowi sebagai presiden. Bukan hanya Jokowi sebagai gubernur yang menyadari hal ini tapi banyak pihak sudah menyadari hal ini. Transformasi Jokowi harus terealisasi.

Salah satu jalan wajib yang harus dilalui untuk menjadi Jokowi transformatif adalah dukungan parpol peserta pemilu dan itu sudah dimiliki. Jalan wajib selanjutnya adalah akankah perolehan suara pemilu legislatif mencukupi untuk mencalonkan diri menjadi capres tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Tapi itu bukan masalah primer. Berdasarkan pengalaman dari presiden dan kabinet sebelumnya maka keberhasilan seorang presiden terutama sangat tergantung siapa wakil presiden dan siapa personel kabinetnya. Akankah menteri dalam kabinet memiliki daya dukung atau justru menjadi beban tersendiri bagi presiden. Jokowi tentu sangat menyadari hal ini. Dalam benak Jokowi tentu sudah menari-nari sosok calon wapresnya dan sosok calon menterinya. Masalah selanjutnya adalah akankah kabinet harus koalisi lagi ? Walau secara peraturan kita menganut kabinet presidensial namun realita politik menunjukkan bahwa untuk menjaga kondusifitas di parlemen diperlukan akomodasi parpol di kabinet. Walaupun pengalaman menunjukkan justru wakil parpol di kabinet tidak mampu meredam potensi gejolak yang muncul dari parpolnya di parlemen. Di sini diperlukan seni memilih orang di mana politisi dan profesional ternyata tidak bisa dipandang secara hitam putih. Seorang politisi belum tentu tidak profesional. Dan seorang profesional belum tentu tidak berpolitik. Untuk itu diperlukan komposisi zaken kabinet dengan kira-kira minimal 60 % profesional murni dan maksimal 40 % politisi profesional. Sedangkan keberadaan oposisi tentu tetap sangat dibutuhkan untuk melakukan check and balance.

Tentu banyak kekhawatiran bila Jokowi menjadi calon presiden, terutama kekhawatiran Jakarta akan telantar kembali. Jokowi harus bisa meyakinkan bahwa salah satu misinya adalah menyelesaikan masalah Jakarta langsung dari pusat kekuasaan dan ini akan lebih efektif daripada tetap menjadi gubernur. Apalagi penciptaan Jakarta baru di tempat lain sebagai magnet baru uebanisasi untuk mengurangi arus urbanisasi ke Jakarta hanya bisa diwujudkan oleh seorang Jokowi transformatif. Jakarta baru di setiap pulau besar hanya bisa diwujudkan bila Jokowi menjadi presiden.

Tingginya elektabilitas Jokowi yang tercermin lewat beberapa hasil survei masih harus diuji dan dibuktikan pada pemilu presiden. Dan hasil dari pemilu legislatif sangat menentukan langkah Jokowi selanjutnya. Tingginya harapan masyarakat takkan bisa dipenuhi oleh seorang Jokowi. Isu terpenting ke depan bukan pada dukungan atau penolakan pada Jokowi tapi lebih urgen pada dukungan pembentukan zaken kabinet. Siapapun presidennya takkan efektif bekerja tanpa didukung oleh zaken kabinet. Bahkan Jokowi sendiri bila terpilih menjadi presiden bila tidak didukung dengan zaken kabinet maka kabinet akan berjalan tidak maksimal.

Tentu presiden harus mengurusi seluruh rakyat dan seluruh wilayah nusantara, bukan hanya Jakarta semata.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

24 maret 2014

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar