Sabtu, 11 April 2015

Pasca UN 2015

Ujian nasional akan berlangsung pada 13-15 April untuk SMU/SMK sederajad dan 4-7 Mei untuk SMP sederajad. Sedangkan untuk tingkat SD tidak diberlakukan UN. Berbeda dengan tahun tahun sebelumnya, UN kali ini tidak mencekam lagi. UN sudah tidak lagi menjadi penentu kelulusan. Perbandingan hasil UN dan ujian sekolah sudah 50 : 50. Kelulusan siswa diserahkan kepada sekolah masing-masing.

UN sekarang apa adanya. Ini akan menghilangkan stress pikiran yang menyertai UN tahun sebelumnya. Dulu yang stress bukan hanya siswa peserta ujian, tapi juga kepala sekolah yang apabila ada siswanya yang tidak lulus ujian maka jabatannya akan terancam dicopot. Demikian juga Kepala Dinas Pendidikannya. Ujung-ujungnya kepala daerah juga ikut stress karena akan merasa malu kepada pemda tetangga bila ada di daerahnya siswa yang tidak lulus ujian. Apalagi kepala daerah incumbent akan merasa popularitasnya berkurang apabila kelulusan tidak 100 %. Kesibukan mendadak para guru yang mengawasi ujian secara diam-diam dikerahkan mengajari siswa yang ujian tidak akan terdengar lagi.

Di sisi lain, UN apa adanya ini telah memicu sebagian besar siswa untuk merasa tidak perlu lagi belajar mati-matian menghadapi UN. Sebagian kecil (?) malah merasa UN ada atau tidak ada sepertinya tidak ada bedanya, toh pasti lulus, pikirnya. Demikian juga di kalangan guru dilanda hal yang sama. Yang akan belajar mati-matian hanyalah beberapa persen siswa yang termasuk kategori pintar dan kutu buku serta berniat melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan sekolah yang akan serius menghadapi UN diperkirakan hanya pada sekolah tertentu seperti sekolah favorit.

Bila kita perhatikan angka partisipasi kasar untuk jenjang perguruan tinggi maka hanya 23 % total siswa yang berkesempatan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Artinya 77 % tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Dari 77 % tersebut sebagian di antaranya memasuki dunia kerja, sebagian lagi terombang-ambing menjadi pengangguran, sebagian mencoba berwirausaha dan sebagian memasuki kehidupan berumah tangga.


Biasanya yang berminat melanjutkan ke pendidikan tinggi adalah tamatan SMU. Sedangkan yang siap memasuki lapangan kerja adalah tamatan SMK. Dengan angka 23 % yang melanjutkan ke perguruan tinggi maka persentase tamatan SMU yang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi cukup besar jumlahnya.

Jumlah SMU di Indonesia sebanyak 10.765 unit sekolah. Sedangkan jumlah SMK sebanyak 7.592 unit sekolah. Perbandingan ini tidak linear dengan jumlah perguruan tinggi dengan kata lain andai semua pelajar ingin melanjutkan ke perguruan tinggi minimal setingkat D-1 maka jumlah perguruan tingginya tidak mencukupi.

Untuk itu maka UN selain berfungsi sebagai instrumen pemetaan kondisi pendidikan nasional juga harus dipergunakan sebagai instrumen memproyeksi jumlah dan komposisi pendirian dan pengembangan perguruan tinggi.

Yang pertama yang harus dicermati adalah bahwa sebagian dari tamatan SMU/SMK ingin langsung memasuki dunia kerja. Selain faktor ekonomi juga faktor keinginan pribadi. Apalagi telah berkembang pemahaman bahwa apabila telah memiliki uang maka pendidikan yang lebih tinggi bisa diikuti sambil bekerja. Hal ini harus diimbangi dengan meningkatkan jumlah SMK baru di seluruh pelosok negeri. SMK baru ini harus disesuaikan dengan potensi daerahnya sehingga jangan sampai semua SMK baru ditempatkan di ibukota kabupaten. Sedangkan pada tamatan SMU yang belum memiliki keterampilan teknis bisa belajar praktis di lembaga latihan kerja. Untuk ini maka lembaga latihan kerja baik milik pemerintah maupun swasta harus didirikan di seluruh pelosok negeri.

Yang kedua yang harus dicermati adalah sebagian besar tamatan SMU/SMK berada di pedesaan. Sedangkan sebagian besar perguruan tinggi berada di perkotaan, terutama di ibukota provinsi. Maka akan terjadi urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota dalam rangka menempuh pendidikan tinggi. Dan setelah selesai menempuh pendidikan tinggi lebih cenderung mencari pekerjaan di kota. Untuk itu maka perlu dikembangkan pendirian perguruan tinggi setingkat D-1 sampai D-3 berbasis pedesaan seperti jurusan pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan dengan kombinasi mata kuliah praktek wirausaha berbasis pedesaan tersebut. Sedangkan status SMK perlu dikaji untuk dikembangkan menjadi setingkat D-1 sesuai jurusannya. Di satu sisi ini akan dapat menghambat laju urbanisasi. Di sisi lain akan dapat meningkatkan kualitas pembangunan desa. Serta mendukung ketahanan pangan.

Yang ketiga adalah beasiswa pendukung kesehatan dan pendidikan desa. Aparat birokrasi pedesaan terutama di bidang pendidikan dan kesehatan selalu kurang karena PNS yang ditugaskan ke desa sebagian besar berasal dari kota sehingga ketika bertugas di pedesaan tidak betah dan berusaha mengurus kepindahan kembali ke kota asalnya. Perlu dipikirkan beasiswa ikatan dinas di bidang pendidikan (guru) dan kesehatan (dokter, bidan, perawat) di mana siswa terbaik dari desa tersebut diberikan beasiswa ikatan dinas dengan kata lain setelah selesai pendidikan akan bertugas di desanya selama jangka waktu ikatan dinas misalnya selama 10 tahun. Pola ini akan lebih murah daripada Kemenkes membuat program dokter spesialis masuk desa atau dokter PTT yang gajinya lebih tinggi dari gaji seorang kepala RSUD. Atau bidan desa yang gajinya lebih tinggi dari gaji bidan desa PNS. Juga akan lebih efektif karena dengan berasal dari desa tersebut dipastikan akan lebih betah tinggal di desanya. Apabila telah melewati masa ikatan dinas diperbolehkan pindah ke kota sebagai pemberian kesempatan untuk mengembangan karir yang lebih baik.

UN sebagai sebuah parameter harus menghasilkan terobosan baru, bukan hanya sekedar kotak katik angka angka.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

11 april 2015.


*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar