UU
nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi terbit pada tanggal 12 Januari 2017 dengan
pertimbangan utama untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tata kelola yang baik dan
memenuhi dinamika perkembangan penyelenggaraan konstruksi serta menjamin
ketertiban dan kepastian hukum. UU sebelumnya yaitu UU nomor 18 tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi dipandang sudah waktunya untuk disesuaikan mengingat
waktu 18 tahun cukup banyak perkembangan yang terjadi terutama perkembangan ekonomi
berbasis IT, angkatan kerja yang bertambah pesat dan kebutuhan tentang
keselamatan dan kesehatan kerja.
Peraturan
Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan UU nomor 2 tahun
2020 tentang Jasa Konstruksi yang terbit pada tanggal 21 April 2020 merupakan
penterjemahan lebih lanjut terhadap UU nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi. PP nomor 22 tahun 2020 ini mencabut ketentuan PP nomor 28 tahun
2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, PP nomor 29 tahun 2020
tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan PP nomor 30 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi.
Usaha
kecil merupakan salah satu kualifikasi yang diatur dalam peraturan di atas.
Usaha kecil yang akan dibahas adalah usaha kecil konstruksi untuk nilai
pekerjaan sampai dengan 2,5 milyar. Kualifikasi ini dilaksanakan dengan
penilaian terhadap perolehan proyek, kemampuan keuangan, ketersediaan tenaga
kerja dan kemampuan menyediakan peralatan konstruksi. Dari keempat penilaian
ini masalah terbesar dan sampai saat ini masih menjadi masalah klasik adalah
ketersediaan tenaga kerja dalam hal ini tenaga kerja bersertifikat trampil.
Pemerintah
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk
melakukan pembinaan jasa konstruksi. Salah satu tanggung jawab dan kewenangan
ini adalah memberikan dukungan pembiayaan terhadap penyelenggaraan sertifikasi
kompetensi kerja. Namun pada kenyataannya berapa anggaran yang pernah
disediakan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam pembiayaan
sertifikasi kompetensi kerja ini ?
Sertifikat
kompetensi kerja merupakan tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja
konstruksi. Setiap tenaga kerja konstruksi wajib memiliki sertifikat kompetensi.
Setiap pengguna jasa dan penyedia jasa wajib mempekerjakan tenaga kerja
konstruksi bersertifikat kompetensi. Sertifikat kompetensi kerja ini diperoleh melalui
uji kompetensi standar. Pelaksanaan uji kompetensi dilakukan oleh lembaga
sertifikasi profesi. Lembaga sertifikasi profesi dapat dibentuk oleh asosiasi
profesi terakreditasi dan lembaga pendidikan dan pelatihan. Sertifikat
kompetensi kerja berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang. Ada sangsi
tertentu apabila kewajiban sertifikasi kompetensi tidak dipenuhi. Menteri dan
kepala daerah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban
sertifikasi kompetensi kerja. Dengan demikian di satu sisi pemerintah wajib
menyediakan anggaran dan di sisi lain pemerintah melakukan pengawasan
terhadapnya. Paket proyek untuk usaha kecil hanya mensyaratkan sertifikat
kompetensi kerja dalam bentuk sertifikat keterampilan kerja untuk tenaga
trampil. Tidak mensyaratkan sertifikat keahlian.
Dari
jumlah 136.662 perusahaan jasa konstruksi yang terdaftar ternyata hanya sebanyak
116.026 perusahaan atau 85 % yang merupakan usaha kecil jasa konstruksi. Dari
keseluruhan tenaga kerja konstruksi yang bekerja di sektor usaha konstruksi ternyata
baru 107.562 orang atau 6,46 % yang bersertifikat kompetensi kerja yang terdiri
dari 29.417 orang bersertifikat keahlian dan 78.145 orang bersertifikat
keterampilan kerja. Terlihat jumlah perusahaan jasa konstruksi kategori usaha
kecil (116.026) jumlahnya lebih banyak dari tenaga kerja bersertifikat
keterampilan kerja (78.145). Yang berarti tidak semua perusahaan kategori kecil
bisa mempekerjakan 1 orang tenaga kerja bersertifikat keterampilan pada saat
yang bersamaan. Belum lagi kita bicara soal lokasi kerja. Padahal kenyataannya
semua instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam melakukan tender
proyek atau pengadaan langsung terjadi pada saat yang hampir bersamaan atau
paling tidak terjadi pada semester pertama tahun berjalan. Berarti dalam
pemenuhan persyaratan dokumen pengadaan terjadi pemakaian sertifikat
keterampilan kerja yang bersamaan pada beberapa perusahaan kategori kecil. Hal
ini tidak terungkap dikarenakan tidak adanya sistem yang bisa mendeteksi ini
secara elektronik. Sistem layanan pengadaan secara elektronik belum memiliki
fasilitas searching terhadap daftar tenaga kerja yang ditawarkan perusahaan.
Apabila fasilitas ini dikembangkan maka akan terjadi banyak tender gagal akibat
pemakaian bersama antar perusahaan terhadap tenaga kerja yang sama. Belum lagi
apabila diperhatikan ternyata pemenuhan sertifikat keterampilan pada dokumen
penawaran teknis ternyata sebagian hanya formalitas belaka untuk sekedar lulus
penawaran teknis dan tidak bekerja pada realita lapangan proyek. Yang bekerja
justru orang lain.
Lantas
siapakah yang harus kita salahkan ?
Ini
adalah kesalahan kita semua sebagai komponen bangsa dan kesalahan ini harus kita
perbaiki secepatnya. Dalam perbaikan ini kita harus memetakan beberapa
prioritas masalah dan merumuskan formula penyelesaiannya.
Permasalahan
pertama adalah penyebaran tenaga kerja dan lembaga sertifikasi. Sebagian besar
tenaga kerja trampil berdomisili di daerah baik kabupaten, kecamatan maupun
desa. Sedangkan lembaga sertifikasi profesi berada di daerah perkotaan baik di
perkotaan provinsi maupun perkotaan kabupaten. Di perkotaan provinsi didominasi
oleh lembaga sertifikasi profesi dari asosiasi profesi. Di perkotaan kabupaten
didominasi oleh lembaga pendidikan dan pelatihan atau balai latihan kerja
(BLK).
Permasalahan
kedua adalah pembiayaan. Tenaga kerja trampil hanya bisa bekerja secara tidak
tetap, hanya pada waktu tertentu pada saat proyek usaha kecil berlangsung yang
kisaran waktunya antara 1-6 bulan. Selebihnya mereka mencari kerja di luar
proyek negara. Dengan kondisi ekonomi yang demikian maka kecil kemungkinan
mereka bisa mengalokasikan sebagian penghasilannya untuk membiayai sertifikasi
kompetensi mereka.
Permasalahan
ketiga adalah tingkat kebutuhan akan sertifikat. Tanpa memiliki sertifikat
keterampilanpun mereka tetap bisa bekerja. Dikarenakan persaingan mereka bukan
ditentukan oleh faktor sertifikat tapi ditentukan oleh kualitas kerja dan upah
yang ditentukan. Bahkan belum tentu mereka kenal dengan sertifikat keterampilan
yang dimaksud.
Dari
ketiga permasalahan ini maka perlu dirumuskan beberapa kebijakan yang harus
difikirkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Rumusan kebijakan ini
harus realistis dan praktis, bukan teoritis atau regulatif.
Terkait
ketimpangan penyebaran domisili antara tenaga kerja dan lembaga sertifikasi
profesi ini maka harus ada upaya pemecahan agar kendala jarak bisa dipecahkan. Apabila
dilakukan mobilisasi tenaga kerja ke lokasi pelaksanaan sertifikasi maka akan
terkendala biaya baik biaya pribadi atau anggaran negara. Demikian juga apabila
pelaksana sertifikasi turun ke daerah juga akan memakan biaya yang tidak
sedikit. Maka solusi paling realistis dengan biaya yang hemat serta memang lagi
trend sekarang ini adalah dengan membuat program sertifikasi online. Lembaga
sertifikasi profesi membuat kurikulum sertifikasi berbentuk file movie dan file
pdf yang bisa didownload pada website yang ditentukan dan dipelajari kapan
mereka sempat mempelajarinya baik secara sendiri-sendiri maupun secara
bersama-sama. Lembaga sertifikasi profesi menyediakan layanan konsultasi online
terhadap hal-hal yang perlu dipertanyakan. Kemudian dibuat juga layanan ujian
online dan sertifikat online. Bila dalam ujian tersebut membutuhkan material
uji maka material uji tersebut cukup dikirimkan melalui fasilitas pengiriman
barang dan tim penguji melakukan pengujian terhadap material tersebut. Solusi
ini cukup realistis. Hampir semua daerah sudah terjangkau oleh fasilitas
internet. Dan hampir semua lapisan masyarakat dari semua kelompok umur sudah
melek teknologi smartphone ataupun laptop atau komputer PC. Apalagi dengan
adanya dana desa maka semua kantor kepala desa dan badan permusyawaratan desa
sudah memiliki fasilitas wifi.
Terkait
kendala pembiayaan maka ini adalah tanggungjawab mutlak pemerintah. Sudah
saatnya ada persentase alokasi anggaran terhadap pembinaan sertifikasi ini. Apabila
Kementerian Tenaga Kerja bisa membagi anggaran ke seluruh Balai Latihan Kerja
seIndonesia dalam rangka peningkatan keterampilan masyarakat di berbagai bidang
maka sudah saatnya Kementerian PUPR juga melakukan hal yang sama. Dengan
melakukan pendataan yang akurat maka kementerian PUPR sudah bisa merancang
berapa biaya yang dibutuhkan pertahun untuk program sertifikasi keterampilan
gratis untuk seluruh tenaga trampil yang belum bersertifikat yang tersebar di
seluruh Indonesia. Dengan pola sertifikasi online akan terjadi penghematan
biaya dibandingkan dengan sertifikasi manual.
Terkait
tingkat kebutuhan akan sertifikat di sini diperlukan strategi dan sasaran
antara. Diperlukan masa transisi pada pemenuhan target pelaksanaan program
sertifikasi online dan kesediaan pembiayaan subsidi sertifikasi. Misalnya
diberikan waktu transisi 3 tahun maka tahun keempat dilakukan kewajiban
sertifikasi tenaga trampil secara konsisten di mana sangsi terhadap pelanggaran
diberikan dengan tegas.
Demikian
solusi terhadap pemecahan sertifikasi tenaga trampil ini. Banyak harapan yang
dibebankan terhadap realisasi kepemihakan UU Jasa Konstruksi terhadap usaha
kecil jasa konstruksi dan tenaga trampil jasa konstruksi. Dengan terbentuknya
Direktorat Jenderal Bina Konstruksi di Kementerian PUPR maka diharapkan
pembinaan jasa konstruksi bisa lebih maksimal.
Konstruksi
sehat negara kuat.
Rahmad
Daulay
17
Juni 2020.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar