Sabtu, 27 September 2014

Rekonstruksi Pemilukada



Tragis, set back, dan berbagai istilah lainnya dialamatkan kepada DPR atas disetujuinya RUU pemilukada tak langsung menjadi UU.

Bila kita kaji secara objektif, pemilukada langsung memang telah menorehkan banyak catatan hitam, mulai dari kualitas kepala daerah terpilih, tingginya biaya politik, jual beli proyek dan jabatan untuk bayar hutang biaya pemilukada, sampai pada kasus hukum yang menanti untuk dijerat oleh penegak hukum. Di tingkat masyarakat sendiri sudah terjadi inflasi politk uang di mana di beberapa daerah harga politik uang sudah menembus angka tiga ratus ribu rupiah.

Namun bila kita kaji juga, pemilukada tak langsung yang pernah terjadi adalah di zaman orde baru. Satu hal positif dari pemilukada tak langsung adalah stabilitas politik. Namun yang perlu dipertanyakan adalah stabilitas politik yang kembali diimpikan itu takkan pernah terwujud karena sistem politik telah berubah. Orde baru dikuasai oleh mayoritas tunggal sedangkan sekarang dikuasai oleh mayoritas koaliasi multipartai yang terbukti tidak solid.

Catatan hitam pemilukada langsung diprediksi akan tetap mewarnai pemilukada tidak langsung. Apalagi sistem trias politica akan timpang dan kesetaraan politik juga akan timpang akibat kepala daerah terpilih akan merasa wajib membalas jasa para pemilihnya. Apalagi tidak sedikit kepala daerah beken yang menolak sistem pemilukada tidak langsung.


Bagaimanapun juga pemilukada sebagai salah satu anak kandung reformasi harus tetap diselamatkan. Namun saya melihat bahwa pilihannya tidak terpaku pada pemilukada langsung atau pemilukada tidak langsung.  

Dalam kondisi masyarakat yang masih jauh dari sejahtera dan pendidikan yang masih rendah apalagi politik prayabar yang terus mengalami inflasi maka diperlukan pengurangan hiruk pikuk pesta demokrasi namun bukan dalam bentuk peniadaan demokrasi.

Beberapa titik krusial yang harus diperbaiki dalam pemilukada langsung sudah harus segera dipikirkan formula penyelesaiannya.

Yang pertama adalah kualitas calon kepala daerah. Rekrutmen calon kepala daerah oleh partai harus melibatkan panitia seleksi independen yang dibentuk oleh partai dan pemerintah. Panitia seleksi independen bekerja berdasarkan azas kualitas dan menghasilkan 3 calon terbaik untuk diserahkan kepada partai memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi calon partai. Selain berorientasi kualitas juga meniadakan biaya perahu politik.

Yang kedua adalah menghidupkan kembali calon independen yang mana proses seleksinya juga melibatkan panitia seleksi independen bentukan pemerintah. Bila perlu calon independen lebih dari satu orang.

Yang ketiga adalah memotong mata rantai politik uang. Politik uang melibatkan donatur, pemindahan uang tunai skala besar dan menengah, distribusi uang dan broker suara. Pola paling efektif untuk memotong mata rantai ini adalah operasi intelijen. Pada masa periode pemilukada perlu dibentuk operasi intelijen anti politik uang di mana deteksi dini diterapkan pada siapa donatur, transportasi apa untuk pemindahan uang skala menengah dan besar, kapan dan di mana distribusi uang terjadi dan siapa broker suaranya. Prioritas utama adalah menangkap basah truk atau kenderaan yang membawa uang skala menengah dan besarnya. Sedangkan melutus distribusi uang dilakukan dengan meniadakan struktur tim kampanye di tingkat desa/kelurahan ke bawah. Tim kampanye paling rendah cukup dibentuk di tingkat kecamatan. Sedangkan para broker suara direkrut baik sebagai informan atau anggota panitia pengawas.

Yang keempat adalah perkuatan anggota panitia pengawas dan jajarannya. Panitia pengawas harus ditambahkan dari unsur aparat keamanan dan penegak hukum. Dan ini terkait langsung dengan daya dukung pemutusan mata rantai politik uang.

Yang kelima adalah percepatan e-voting. E-voting mutlak diperlukan dalam rangka memangkas habis permainan manipulasi suara oleh penyelenggara pemilukada di semua tingkatan perhitungan.

Saya tidak bermaksud untuk mengembalikan sistem demokrasi dari pemilukada tak langsung kembali ke pemilukada langsung. Saya sendiri mencoba merekonstruksi pemilukada. Saya tertarik dengan model pemilukada di DKI Jakarta. DKI jakarta hanya menjalankan pemilukada gubernur, sedangkan walikota dipilih oleh gubernur.

Saya menawarkan sistem pemilukada langsung di tingkat propinsi untuk memilih gubernur. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota untuk memilih bupati/walikota dilakukan secara rekrutmen terbuka, dilakukan melalui panitia seleksi independen, diuji oleh DPRD dan beberapa perwakilan masyarakat dan kecamatan, 3 calon terbaik dipilih oleh panitia seleksi independen dan diserahkan kepada gubernur untuk memilih salah seorang di antaranya untuk menjadi bupati/walikota. Sistem ini harus didukung oleh pembenahan pola hubungan kabupaten/kota dengan propinsi di mana perlu diatur berapa kabupaten/kota yang harus dibawahi oleh satu propinsi. Di sini diperlukan pemekaran propinsi secara besar—besaran di mana saya memandang efektifitas pembinaan dan rentang kendali akan lebih eifisen apabila satu propinsi membawahi antara 6 sampai 8 kabupoaten/kota saja. Sehingga semua propinsi gemuk yang memiliki banyak kabupaten./kota harus dimekarkan sampai terbentuk propinsi yang langsing. Bila jumlah kabupaten/kota ada 530 kabupaten/kota maka akan ada antara 66 sampai 88 propinsi dan dengan demikian hanya akan ada maksimal 88 pemilukada gubernur dalam 5 tahun. Bila bisa diatur serentak akan menghasilkan efisiensi biaya.

Pola ini akan mengurangi tensi politik demokrasi daerah, perkuatan output demokrasi berbasis kualitas dan akan lebih menjamin pencapaian kesejahteraan masyarakat.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

27 september 2014

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar