Minggu, 14 September 2014

BBM : Antara Subsidi dan Distribusi



Anggaran untuk subsidi BBM pada APBN Perubahan 2014 sebesar Rp. 350,3 trilyun dari total anggaran APBN Perubahan 2014 sebesar Rp. 1.876,9 trilyun atau 18,6 %. Sebagian besar subsidi BBM ini dinikmati oleh kenderaan pribadi.

Anggaran subsidi BBM ini diperkirakan takkan mencukupi sampai akhir tahun 2014 sehingga pemerintah sempat membuat kebijakan melakukan pengurangan suplai BBM ke seluruh SPBU yang ternyata memancing kepanikan pasar dan spekulasi sehingga terjadi antrian panjang kenderaan di SPBU.

Pada waktu antrian BBM subsidi tersebut saya mencoba berkomunikasi dengan beberapa teman yang pernah ikut antrian BBM subsidi. Mulai dari pemakai kenderaan roda 2, kenderaan roda 4 dan sebagian teman yang berbisnis angkutan umum baik barang maupun penumpang. Ternyata mereka memiliki pemikiran yang simpel, yakni daripada antrian BBM subsidi berjam-jam kehilangan waktu juga kehilangan omzet angkutan barang maupun penumpang, lebih baik tidak usah ikut antrian panjang BBM subsidi tapi membeli saja BBM nonsubsidi jenis pertamax apabila ada di SPBU tersebut. Toh nantinya tinggal menyesuaikan dengan ongkos angkutan. Apalagi untuk kenderaan roda 2 paling banter hanya menambah biaya pembelian BBM nonsubsidi beberapa belas ribu rupiah saja.


Kebijakan mengurangi suplai BBM subsidi memang memiliki niatan baik yaitu agar subsidi BBM mencukupi sampai akhir tahun 2014. Hanya saja ketika kebijakan pengurangan suplai tersebut ternyata tidak diimbangi dengan pasokan BBM nonsubsidi membuat tidak seimbangnya antara permintaan dan ketersediaan barang membuat antrian panjang BBM terjadi yang pada akhirnya membuat gangguan perekonomian rakyat kecil. Seharusnya diatur pola keseimbangan di mana apabila dilakukan pengurangan pasokan BBM subsidi misalnya 5 % maka pasokan BBM nonsubsidi ditambah sebesar 5 % sehingga ketersediaan BBM secara keseluruhan tidak terganggu.

Para elit pembuat kebijakan terlalu memikirkan parameter ekonomi saja dan kurang memperhitungkan faktor sosial dan psikologi pasar. Sehingga pengurangan pasokan BBM subsidi justru memancing kepanikan dan spekulasi. Apabila dalam kondisi normal sebuah kenederaan masih tenang-tenang saja bila tangki BBMnya sampai tinggal seperempat volume tapi setelah terjadi kepanikan pasar maka kenderaan tersebut berusaha setiap hari untuk mengisi penuh tangki BBMnya.

Fenomena yang paling menarik adalah beberapa kenderaan pribadi justru tidak mau ikut pusing antrian panjang BBM di SPBU tapi malah membeli BBM di pedagang eceran walau harganya lebih mahal 2 ribu sampai 3 ribu perliternya.

Antrian panjang BBM ternyata menyentuh hati para elit pembuat kebijakan. Pengurangan pasokan BBM subsidi sudah dihentikan. Antrian panjang di SPBU berangsur-angsur berkurang dan sudah kembali pulih seperti sedia kala. Namun sesekali masih terlihat antrian kenderaaan antara 5 sampai 10 kenderaan.

Namun masalah keterbatasan subsidi masih tetap menjadi masalah. Jumlah subsidi yang menggerogoti anggaran APBN masih tetap menjadi perdebatan.

Saya melihat bahwa politik pengurangan pasokan BBM subsidi harus kembali dilakukan tapi dengan cara yang tepat. Saya mengusulkan agar dilakukan pengurangan pasokan BBM subsidi secara perlahan paling tidak 1 % setiap bulannya. Pengurangan pasokan ini harus diimbangi dengan penambahan pasokan BBM nonsubsidi sehingga ketersediaan barang BBM tetap jumlahnya. Pengurangan pasokan secara bertahap ini perlu diujicoba dengan harapan masyarakat yang tidak sabar ikut antrian akan beralih ke BBM nonsubsidi.

Cara ini secara politis dan secara sosial akan lebih damai ketimbang mengurangi subsidi secara drastis dengan cara mengumumkan kenaikan harga BBM yang akan diwarnai dengan gejolak politis dan ekonomis yang membuat harga barang dan jasa justru naik persentasenya melebihi persentase kenaikan harga BBM subsidi.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

14 september 2014

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar