Minggu, 21 Juni 2015

Masa Depan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Dengan penerbitan Peraturan Presiden nomor 106 tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah maka negeri ini resmi memiliki lembaga setingkat menteri yang bertugas khusus mengembangkan pengadaan barang/jasa pemerintah. Sebelumnya tugas ini diemban oleh struktur di bawah Bappenas dengan produk utama Keppres nomor 80 Tahun 2003.

LKPP bergerak cepat. Sesuai dengan informasi yang tertera pada website www.LKPP.go.id terlihat sudah banyak program yang telah dibuat. Yang paling spektakuler bagi saya adalah e-kataloque dan e-lelang cepat. E-kataloque sudah digulirkan sejak penerbitan Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan barang/Jasa Pemerintah. Sedangkan e-lelang cepat baru digulirkan pada Perpres nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres nomor 54 tahun 2010.


E-kataloque sudah bergulir selama 5 tahun. Produk barang yang bergabung dalam e-kataloque sudah sangat banyak. Namun demikian masih saja ditemukan banyak barang yang sering dilelangkan oleh pemerintah (pusat/daerah) belum juga bergabung dalam e-kataloque. Di satu sisi ini masalah kurang koordinasi dan komunikasi. Di sisi lain diduga ada faktor kesengajaan dan ini masih perlu penelusuran lebih jauh. Pengadaan barang melalui e-kataloque 100 % sebenarnya bukan perkara yang sulit. Jenis barang secara garis besar terdiri dari barang impor dan barang pabrikan. Keduanya mestinya terdaftar di Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Sebagian di antara mereka bergabung dalam berbagai asosiasi. Bila saja LKPP, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan membuat sebuah perjanjian kerjasama (MOU) atau berbentuk kontrak payung yang mewajibkan seluruh importir dan pabrik melaporkan secara berkala harga jual/harga pasar produk mereka dalam e-kataloque LKPP maka semestinya LKPP tidak perlu lagi susah-susah melakukan prosesi produk yang akan masuk dalam e-kataloque. Sebagai jaminan bahwa harga pasar yang dimuat dalam e-kataloque benar atau ngawur maka ijin usaha merekalah sebagai taruhannya. Semua perusahaan importir atau pabrik wajib memiliki struktur atau staf yang bertugas melakukan imput data dan update data harga jual/harga pasar secara berkala sesuai fluktuasi harga yang terjadi. Mereka diberi login masing-masing. Setiap kesalahan yang terjadi akan dikoreksi oleh pasar. Untuk mengakomodir jarak kirim barang antar daerah maka dibuat sebuah koefisien antar daerah sebagai faktor ongkos angkut tertinggi. Sedangkan di sisi regulasi maka peraturan pengadaan barang dicabut saja dengan kata lain tender barang ditiadakan semuanya baik itu lelang umum, lelang sederhana, pengadaan langsung, penunjukan langsung semuanya dihapus diganti dengan pengadaan lewat e-kataloque. Bila jenis barang tertentu yang dibutuhkan ternyata tidak ada di e-kataloque maka instansi pemerintah yang bersangkutan agar segera konfirmasi ke LKPP. Data e-kataloque berisi nama barang, spesifikasi, harga pasar cukup itu saja. Data tentang penyedia cukup menyajikan penyedia importir atau penyedia pabrik. Sedangkan proses transaksi pembelian boleh dilakukan terhadap tingkatan distribusi manapun, termasuk di tingkatan pengecer. Bila transaksi pembelian hanya kepada yang tercantum dalam e-kataloque, di samping cenderung melanggar persaingan usaha sehat, juga pengguna barang akan kesulitan mengakses alamat kantor penyedia yang berdomisili jauh dari instansi pemerintah yang berkepentingan. Seperti misalnya pembelian obat generik seharga puluhan juta cukup dibeli di apotek terdekat dan tidak perlu bertransaksi kepada pedagang besar farmasi. Atau seperti pembelian alat pertanian cukup memakai data (spesifikasi, merek dan harga) di e-kataloque sedangkan pembelian cukup dilakukan pada pengecer barang terdekat. Mekanisme yang saya uraikan di atas perlu dikaji dalam rangka percepatan e-kataloque 100 % di tahun 2016.

E-lelang cepat diprogramkan di mana peserta lelang hanya mengajukan penawaran harga saja. Sedangkan penawaran administrasi dan teknis sudah termuat sebelumnya dalam data SIKAP (sistem informasi kinerja penyedia barang/jasa) yang diisi secara online dan diupdate secara berkala oleh penyedia itu sendiri. Ini terobosan besar menuju pelelangan yang sehat lahir batin serta ANTI STRES. Kenapa saya katakan anti stres karena pola pelelangan yang diterapkan selama ini sudah terbukti membuat stres bukan hanya terhadap panitia lelang/pokja ULP saja tapi juga semua organisasi pengadaan dari awal sampai akhir yang dihantui oleh ancaman permasalahan hukum terutama pada pasca pelelangan, bahkan bertahun-tahun setelah pelelangan.

Namun, sebelum e-lelang cepat ini diterapkan, sebaiknya LKPP melakukan pengumpulan pendapat dari seluruh elemen pengadaan pusat dan daerah secara online melalui website LKPP tentang perkembangan terkini dunia pengadaan di masing-masing instansi/daerah. Untuk membatasi maka yang bisa login hanya yang mmeiliki sertifikat pengadaan. Pengumpulan pendapat ini penting mengingat perkembangan terakhir ini dunia pengadaan menghadapi cobaan terberat. Gerakan pemberantasan korupsi bergerak terlalu luas. Dan ini sangat mengganggu stabilitas dan kontinuitas pembinaan pengadaan.

Saya mencoba mengulas lebih jauh tentang cobaan terberat yang saat ini menimpa dunia pengadaan. Saya mengikuti ujian sertifikasi ahli pengadaan tahun 2006, kala itu masih closed book. Narasumber dari Kementerian PU dalam salah satu uraiannya sudah menyatakan bahwa saat itu ditemukan banyak PNS yang secara sengaja tidak meloloskan dirinya dalam ujian sertifikasi ahli pengadaan dengan maksud apabila dirinya tidak memiliki sertifikat ahli pengadaan maka dirinya tidak bisa ditunjuk menjadi PPK/pimro, panitia lelang/pokja ULP ataupun pejabat pengadaan. Itu data tahun 2006 atau 9 tahun yang lalu. Dan keadaan itu sampai sekarang belum berubah. Hampir setiap berita pemberantasan korupsi memberitakan organisasi pengadaan sebagai pihak yang salah dan berpotensi menjadi narapidana.

Bila kita bedah lebih jauh tentang tindak pidana korupsi yang biasanya diidentikkan dengan kerugian negara, memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain dengan batasan dan kriteria yang tak jelas. Anatomi pelaku korupsi sendiri terdiri dari beberapa lapis. Secara umum pelaku korupsi terdiri dari dua golongan besar yaitu dalang korupsi dan pelaku korupsi. Dalang korupsi justru sebagian besar berada di luar sistem birokrasi dan nyaris tidak tersentuh oleh administrasi pemerintahan. Mereka biasanya disebut invisible hand. Mereka justru turut mengatur perputaran dan rotasi pejabat negara dan menempatkan orang-orangnya untuk kepentingannya. Sedangkan pelaku korupsi juga dibagi dua golongan besar yaitu koruptor murni (the real coruptor) dan korban keadaan. Koruptor murni ini berada pada garis perintah level atas. Korban keadaan berada pada level menjalankan perintah dan pada beberapa kasus menjadi korban perintah. Pada umumnya sebagian besar aktifis pengadaan dan organisasi pengadaan bergabung dalam statusd korban keadaan ini. Mereka tak kuasa untuk menolak status turut serta. Menurut pendapat saya, gerakan pemberantasan korupsi seharusnya memprioritaskan pada mengejar dalang dan pemberi perintah level atas. Sedangkan kategori korban keadaan diserahkan saja pada hukum kepegawaian dengan sangsi ringan, sedang, berat dan sangat berat. Sangsi terberat adalah dipecat dari PNS. Di bawah itu sangsi pencopotan jabatan, penurunan pangkat, penurunan gaji, tidak naik pangkat dalam beberapa periode, tidak naik gaji dalam beberapa periode. Apabila telah ada perubahan signifikan dalam dirinya maka haknya dikembalikan untuk naik pangkat, naik gaji dan memiliki jabatan. Dengan kata lain tak perlu dipidanakan. Penanganan hukum kepegawaian ini diserahkan kepada Inspektorat dan Badan Kepegawaian Negara. Inspektorat fungsinya harus ditingkatkan menjadi seperti Provost TNI atau Propam Polri. Bagaimana dengan kerugian negara yang ditimbulkan ? Harus jelas diatur batasan kerugian negara dan siapa yang harus menanggung. Kerugian negara bisa menjadi tanggungan banyak pihak termasuk pengusaha dan elemen pengadaan. Bagi kelompok korban keadaan kerugian negara yang ditimbulkannya diwajibkan saja dikembalikan ke negara dalam berbagai kategori seperti kategori 1 dikembalikan 100 %, kategori 2 dikembalikan 150 %, kategori 3 dikembalikan 200 % dan seterusnya. Sedangkan terhadap dalang/invisible hand dan koruptor murni/pemilik garis perintah level atas silahkan diberikan hukuman pidana seberat-beratnya. Namun perlu juga diperhatikan bahwa pejabat level atas dalam hal tindak pidana korupsi belum tentu bersalah secara pidana. Oleh karena itu objektifitas sangat mutlak diperlukan.

Kalau kita perdalam lebih dalam lagi, para elemen pengadaan (pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen/pimpro, panitia lelang/pokja ULP, pejabat pengadaan, direktur teknis, pengawas lapangan, panitia penerima hasil pekerjaan, bendahara dll) sebagian besar modalnya hanyalah peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah saja, terutama pejabat pembuat komitmen dan panitia lelang/pejabat pengadaan yang memang wajib memiliki sertifikat ahli pengadaan. Pasal-pasal yang diatur dalam peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah (terakhir diatur dalam Perpres nomor 4 tahun 2015) sangat normatif dan perlu penafsiran. Namanya juga penafsiran akan menghasilkan penafsiran yang beragam. Belum lagi terjadi beberapa kontradiksi dengan peraturan yang lain. Oleh karena itu saya melihat bahwa Peraturan Presiden tentang Pengadaan barang/Jasa Pemerintah perlu dikembangkan lagi secara lebih spesialis dalam bentuk Peraturan Kepala LKPP atau Peraturan Bersama Kepala LKPP dengan Menteri tertentu tentang standar teknis elemen pengadaan. Contohnya Seorang Pejabat Pembuat Komitmen harus sudah pernah mengikuti dan lulus Diklat Pejabat Pembuat Komitmen. Seorang anggota panitia lelang/pokja ULP harus sudah pernah mengikuti dan lulus diklat pelelangan, itupun harus jelas pelelangan apa misalnya pelelangan konstruksi, pelelangan konsultan, pelelangan alat elektronik, pelelangan alat kesehatan dan sebagainya. Seorang pengawas lapangan harus sudah pernah mengikuti dan lulus diklat pengawasan. Seorang panitia penerima hasil pekerjaan harus sudah permah mengikuti dan lulus diklat penerima hasil pekerjaan. Dan seterusnya. Saya yakin dan percaya apabila dilakukan survei independen tentang diklat apa saja yang diikuti oleh semua elemen pengadaan, saya yakin hasilnya sebagian besar hanyalah diklat setifikasi pengadaan saja. Sebagian besar elemen pengadaan adalah PNS produk orde reformasi dan otonomi daerah di mana standarisasi teknis dan diklat sudah sangat kurang sekali. Terutama ketika setelah otonomi daerah sebagian besar instansi teknis yang sebelumnya vertikal ke kementerian kini di bawah kepala daerah. Hal ini membawa konsekuensi kurangnya kebiasaan diklat dan hanya bergerak di lingkungan daerah otonominya sendiri. Juga perlu dikembangkan tingkatan dalam elemen pengadaan misalnya PPK tingkat dasar hanya boleh menangani proyek maksimal 1 milyar, PPK tingkat madya hanya boleh menangani proyek maksimal 10 milyar demikian seterusnya di semua posisi dalam pengadaan. Jangan sampai seorang aktifis elemen pengadaan tahun pertama sudah diserahkan mengurusi proyek puluhan milyar. Dalam hal ini si pemberi tugas telah berbuat zalim pada bawahannya. Dalam keadaan minim pembinaan dan minim standarisasi seperti ini maka sudah barang tentu dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang/jasa dimungkinkan terjadi kesalahan di sana sini. Satu-satunya modal dasar para elemen pengadaan adalah semangat pengabdian pada bangsa dan negara. Ketika semangat ini runtuh di hadapan ancaman hukuman pidana maka sah-sah saja mereka menarik diri demi keselamatan dirinya dan keluarganya. Maka kondisi tahun 2006 yang mana banyak PNS yang dengan sengaja tidak meluluskan dirinya pada ujian sertifikasi ahli pengadaan menjadi masuk akal.         

LKPP sebagai instansi pemerintah pusat yang membidangi pembinaan pengadaan dengan keterbatasan staf dan anggaran ternyata harus mengurusi seluruh wilayah nusantara baik instansi pusat maupun daerah. Hal ini membuat LKPP kewalahan dalam menyikapi seluruh permasalahan pengadaan yang terjadi. LKPP mencoba mensiasati dengan fasilitas online seperti e-pengaduan, e-konsultasi namun tetap saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Oleh karena itu maka perlu dipikirkan pembentukan LKPP Regional dengan kewenangan yang terbatas seperti kewenangan pembinaan/diklat, batuan permasalahan sanggah, sanggah banding dan pengaduan, koordinasi saksi ahli daerah, keterangan ahli pada permasalahan hukum tahap awal dan sebagainya. LKPP perlu berkoordniasi dengan semua lembaga penegak hukum tentang perlunya menghadirkan keterangan ahli LKPP dalam tahapan pemeriksaan, penyidikan dan penyelidikan sebelum seseorang aktifis pengadaan dijadikan tersangka. Namun di sisi lain jumlah SDM yang diperlukan untuk itu ternyata sangat terbatas jumlahnya. Program saksi ahli yang dibuat LKPP harus dikembangkan tugas dan fungsinya yaitu bukan hanya menjadi saksi ahli di pengadilan saja tapi juga menjadi pemberi keterangan ahli pada saat awal pemeriksaan sampai dengan gelar perkara penentuan nasib seseorang akan menjadi tersangka atau tidak. Untuk itu maka LKPP perlu kembali melakukan rekrutmen saksi ahli/keterangan ahli yang baru, paling tidak bisa disebar minimal 1 orang dalam satu daerah kabupaten/kota atau 1 orang dalam setiap direktorat kementerian/lembaga instansi pemerintah pusat.

Di samping itu, LKPP Regoinal juga harus membuat program pembina ahli pengadaan di mana di daerah tertentu yang masih belum memiliki PNS yang ahli dan handal dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa harus didampingi oleh pembina ahli pengadaan sampai mereka mahir dan tidak terjerumus dalam permasalahan hukum.

Bila kita membuat perumpamaan tindak pidana korupsi seperti sampah yang menyumbat saluran air. Bila diibaratkan koruptornya sebagai sampah penyumbat dan birokrasi adalah saluran airnya. Maka bila diibaratkan gerakan pemberantasan korupsi sebagai gerakan pembersihan sampah penyumbat maka seharusnya hasil yang diperoleh adalah air mengalir dengan baik, artinya roda birokrasi berjalan dengan baik. Tapi ketika sampah penyumbat telah dibersihkan tapi air tak kunjung mengalir dengan baik berarti pasti ada yang salah. Dan kesalahan ini wajib kita perbaiki demi kelancaran dan percepatan pembangan bangsa dan negara.

Mari kita sama-sama introspeksi.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

21 juni 2015.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar