Bermula dari semangat reformasi
1998 di mana sebagai sebuah amanah reformasi maka pemberantasan korupsi menjadi
salah satu agenda reformasi. UU nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana
korupsi menjadi titik tolak langkah-langkah pemberantasan korupsi. Korupsi
didefenisikan begitu luas meliputi tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Langkah pemberantasan korupsi semakin kuat
dengan penerbitan UU nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi sebagai payung hukum pembentukan lembaga KPK. Ditambah lagi
dengan penerbitan UU nomor 46 tahun 2009 tentang pengadilan tindak pidana
korupsi membuat langkah pemberantasan korupsi semakin kuat.
Dari ketiga UU paling penting
dalam pemberantasan korupsi tersebut saya memandang bahwa korupsi diperlakukan
untuk diberantas. Pemberantasan dilakukan dengan secara garis besar meliputi 2
langkah besar yaitu penindakan dan pencegahan. Namun alih-alih pemberantasan,
justru korupsi semakin tumbuh subur di mana mana.
Banyak faktor kenapa gerakan
pemberantasan korupsi tidak mampu memberantas korupsi. Salah satu sebab karena
korupsi justru dibutuhkan. Lho, kok bisa ???
Pemberantasan korupsi masih
didominasi dengan fokus utama penerimaan haram. Namun perlu dilakukan kajian
mendalam apakah 100 % penerimaan haram ini dipergunakan untuk keperluan pribadi
atau kelompok. Saya sendiri melihat bahwa sistem tata kelola keuangan negara
justru menjadi penyebab utama dibutuhkannya korupsi. Sistem tata kelola
keuangan negara yang berpola rencana harus sama dengan realisasi menjadi biang
bencana korupsi. Betapa tidak, sebuah perencanaan anggaran yang diwujudkan
secara kaku pada produk APBN/APBD pada pos penerimaan dan pembelanjaan dengan
kode rekening masing-masing. Dengan berbagai keterbatasan kualitas SDM dan
minimnya pengalaman maka tidak sedikit pos penerimaan jauh meleset dengan pos
pembelanjaan. Dengan kata lain ternyata pos pembelanjaan yang wajib dikeluarkan
anggarannya ternyata tidak tercover dengan baik pada pos penerimaan. Sebagian
di antara pos pengeluaran tersebut adalah pos pengeluaran hitam atau dengan
kata lain pos pengeluaran haram. Baik pos pengeluaran wajar tapi tidak tercover
di pos penerimaan maupun pos pengeluaran haram harus sama-sama direalisaskan.
Maka disinilah dibutuhkannya korupsi itu atau dengan kata lain diperlukan pos
penerimaan nonbudget. Pos penerimaan nonbudget ini direalisasikan sebagian
besar lewat mekanisme proyek pemerintah. Proyek pemerintah direalisasikan lewat
mekansme kontrak kerja yang dilaksanakan oleh pejabat pembuat komitmen/pimpro
yang sebelumnya ditenderkan lewat mekanisme pelelangan oleh unit layanan
pengadaan/panitia tender.
Gerakan pemberantasan korupsi
sebagian besar menyerang para pejabat pembuat komitmen/pimpro dan unit layanan
pengadaan/panitia lelang. Sebagian lagi menyerang para pejabat di atasnya serta
bendahara keuangan. Modus utama yang sering dicecar adalah meliputi suap,
pemerasan, gratifikasi, mark up dan berujung pada merugikan keuangan negara
akibat menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Semuanya ini
berujung pada kategori pos penerimaan nonbudget. Namun bila dikaji lebih
mendalam, ternyata pos penerimaan nonbudget ini bukan untuk keperluan pribadi
semata tapi dalam jumlah yang tidak sedikit untuk membiayai pengeluaran nonbudget
baik yang bersifat wajar maupun haram. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat
kehidupan pribadi dari beberapa pejabat pembuat komitmen/pimpro atau unit
layanan pengadaan/pantia lelang atau bendahara atau pejabat lainnya justru gaya
hidupnya tidak menggambarkan besarnya pos penerimaan nonbudget yang dilakukannya.
Bahkan sebagian di antaranya terjerat hutang di bank dengan menggadakan SK
PNSnya.
Oleh karena itu apabila gerakan
pemberantasan korupsi hanya berfokus pada penerimaan nonbudget maka yang
terjadi hanyalah penangkapan yang heroik sedangkan sifat pemberantasan yang
diharapkan justru tidak tercapai. Untuk itu maka perlu dilakukan perubahan pola
pemberantasan korupsi dengan menjadikan pengeluaran nonbudget sebagai fokus
utama pemberantasan korupsi. Tingginya kebutuhan pengeluaran nonbudget menjadi
sebab utama ternjadinya upaya realisasi pemasukan nonbudget.
Salah satu masalah krusial dari
pengeluaran nonbudget adalah tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak
diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja sehingga lembaga pemerintahan baik
pusat maupun daerah menjadi tumpuan harapan banyak pihak untuk mencari
penghidupan. Isu dan data korupsi menjadi modal utama dalam upaya memenuhi
kebutuhan hidupnya. Ini dilematis. Satu satunya solusi adalah penciptaan
lapangan kerja besar-besaran. Tanpa ini maka korupsi masih akan terus
bersimbosis dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan memanfaastkannya untuk
mempertahankan hidup.
Kedua hal di atas menjadi faktor
utama kenapa sebagian besar PNS tidak bersedia menjadi pejabat pembuat
komitmen/pimpro dan unit layanan pengadaan/panitia lelang. Jabatan tersebut
akan membuat hidupnya terperangkap dalam lingkaran pemberantasan korupsi dan
akan dikelilingi oleh pihak-pihak yang memanfaatkan isu dan data korups untuk
kepentingan pribadinya. Hal ini berdampak pada lambannya penyerapan anggaran di
birokrasi. Tidak sedikit pejabat pembuat komitmen/pimpro atau unit layanan
pengadaan/panitia lelang yang mengundurkan diri dari jabatannya akibat tidak
tahan menjalani tugasnya. Bahkan untuk berkantor saja sudah tidak nyaman lagi akibatnya
banyaknya pihak yang mengelilingnya. Belum lagi ponsel yang berdering setiap
saat. Ketidaktenangan hidup sudah menjadi gaya hidup pengelola proyek.
Apakah negara ini akan
terus-terusan seperti ini ? Pembangunan macam apa yang sedang kita lakukan
sekarang ? Apakah hal ini sudah sejalan dengan amanah UUD 1945 ?
Kemerdekaan ini bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan melaksanakan pembangunan di segala
bidang. Dan dengan pelaksanaan pembangunan tersebut harus dengan resiko dan
ancaman hidup berakhir di sel tahanan.
Kerugian negara yang pada mulanya
berbentuk nilai nominal rupiah kini bergeser pada kerugian negara akibat SDM
terbaik birokrasi tidak bersedia menjadi pengelola proyek dan pengelola tender.
Manakah yang lebih besar kerugian
negaranya ? Apakah kerugian nominal rupiah ? Apakah kerugian akibat SDM
birokrasi yang yang tidak mau jadi pengelola proyek dan pengelola tender yang
berakibat lambannya penyerapan anggaran APBD/APBN ?
Negara ini harus introspeksi
habis-habisan. Keadaan ini bila dibiarkan akan bergulir terus. Pemberantasan
korupsi seharusnya memperlancar penyerapan anggaran, bukan sebaliknya.
Pemberantasan korupsi harus
mengedepankan fungsi pencegahan dan pembinaan, bukan pembinasaan.
Kalau elit penegak hukum tidak
mampu menjalankan fungsi pencegahan, bentuk saja lembaga baru pencegahan
korupsi dan serahkan kepada kami untuk menjalankannya.
Salam reformasi.
Rahmad daulay
26 september 2015.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar