Kamis, 01 Juni 2017

Menggagas Asuransi Pengadaan

(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link https://birokratmenulis.org/menggagas-asuransi-atas-kriminalisasi-pengadaan/).

Defenisi dari Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.

Sedangkan salah satu defenisi dari Asuransi adalah suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Bila kita membaca Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pasal 115 ayat (3) yang menyebutkan Pimpinan Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi wajib memberikan pelayanan hukum kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen/Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan/Panitia Penerima Hasil Pekerjaan/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar/Bendahara/Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dalam menghadapi permasalahan hukum dalam lingkup Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sedangkan pada ayat (4) menyebutkan khusus untuk tindak pidana dan pelanggaran persaingan usaha, pelayanan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan hingga tahap penyelidikan. Bagi saya ayat (4) ini terlalu abstrak dan tidak memandang terjadinya kemungkinan kriminalisasi.

Dari beberapa pemberitaan 70 persen kasus tindak pidana korupsi itu bersumber dari proyek pengadaan barang/jasa. Bisa dibayangkan apa yang akan dihadapi para praktisi pengadaan apabila seluruh atau sebagian dari 70 % tersebut benar-benar ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.


Dugaan tindak pidana korupsi pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah harus dipandang secara objektif dan proporsional. Apabila kesalahan pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah seluruhnya dipandang secara pidana oriented maka apabila seluruh praktisi pengadaan mengadakan mogok nasional atau moratorium pengadaan maka dipastikan seluruh proses pembangunan akan terhenti seketika. Maka dari itu kesalahan pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah harus dibedah sedemikian rupa sehingga dapat dipetakan antara kesalahan administrasi, kesalahan perdata, kesalahan pidana. Atau dipetakan di mana kesalahan akibat ketidaktahuan, kurangnya pengalaman, paksaan/intervensi dalam berbagai bentuknya atau memang kesengajaan.

Bila kita lihat kenyataan empiris di lapangan. Tidak bisa dipugkiri bahwa tidak sedikit kasus pengadaan barang/jasa pemerintah yang diduga mengalami kriminalisasi. Tidak sedikit juga diduga adanya proses dikorbankan demi keselamatan pihak lain. Dan tidak bisa dipungkiri juga bahwa memang banyak juga yang nyata-nyata ada tindak pidana korupsi. Dari semua itu negara melalui Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2015 pasal 115 mewajibkan pimpinan instansi negara untuk memberikan pelayanan hukum. Namun itu semua hanya indah di angan-angan. Pada kenyataannya pelayanan hukum itu banyak yang hanya angan-angan belaka. Dan tidak ada tindakan hukum terhadap pimpinan instansi negara yang tidak melaksanakan amanah Perpres nomor 54 tahun 2015 pasal 115 tersebut. Satu persatu para praktisi pengadaan harus berurusan dengan permasalahan hukum. Tidak sedikit materi yang harus dikeluarkan untuk membiayai permasalahan hukum tersebut. Perpres nomor 4 tahun 2015 pasal 115 hanya membuat sakit hati sebagian praktisi pengadaan yang berproses di permasalahan hukum. Mereka harus mencari pengacara sendiri. Harus membiayai seluruh proses persidangan yang harus diikutinya. Tidak jarang pengadilan berada jauh dari kediamannya. Belum lagi biaya untuk menghadirkan saksi ahli yang berpengalaman. Dan kesemuanya juga belum menjamin bisa lepas dari jeratan hukum. Tidak sedikit yang gugur harus masuk bui.

Oleh karena itu, atas nama keadilan sosial, permasalahan ini harus diselesaikan. Pelayanan hukum yang diwajibkan oleh Perpres nomor 4 tahun 2015 pasal 115 tersebut harus diterjemahkan lebih konkrit lagi. Saya memandang situasi permasalahan hukum yang dihadapi oleh para praktisi pengadaan sudah masuk pada kategori tanggung jawab hukum sesuai defenisi Asurasi di atas. Pelayanan hukum yang diwajibkan oleh Perpres nomor 4 tahun 2015 ayat 115 salah satunya adalah penyediaan dana Asuransi Pengadaan pada anggaran APBN/APBD. Di samping pembiayaan hukum lainnya.

Permasalahannya adalah Asuransi Pengadaan ternyata belum pernah ada dalam pentas sejarah perasurasian nasional. Namun dari uraian di atas, sudah saatnya gagasan Asuransi Pengadaan ini direalisasikan. Lembaga-lembaga terkait seperti LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia), APPI (Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia) dan BPJS Ketenagakerjaan harus duduk satu meja untuk membicarakannya. Apakah akan membentuk 1 jenis asuransi baru atau digabung dalam asuransi ketenagakerjaan itu tidak masalah. Yang penting realisasinya.

Dari lebih 700 Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi ternyata telah membentuk lebih dari 500 ULP (Unit Layanan Pengadaan). Masing-masing ULP memiliki lebih dari satu Pokja ULP (Kelompok Kerja ULP). Masing-masing Pokja ULP memiliki minimal 3 anggota. Bila kita asumsikan 1 ULP memiliki 2 Pokja ULP. Dan masing-masing Pokja ULP memiliki 3 orang anggota. Maka 500 X 2 X 3 = 3.000 orang unsur ULP. Belum lagi unsur PPK, PA/KPA, PPHP, PPSPM dan unsur lainnya. Dengan premi Rp. 1 juta (asumsi Rp. 100 ribu/bulan) maka sudah terkumpul dana abadi sebesar Rp. 3 milyar dari unsur ULP pertahun. Belum lagi unsur lain. Premi dibayar selama praktisi pengadaan aktif dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Sedangkan klaim asuransi berlangsung seumur hidup. Dengan kata lain premi yang dibayarkan selama aktif di pengadaan barang/jasa akan menanggung seluruh biaya menghadapi permaslahaan hukum selama seumur hidupnya.

Pengadaan sehat, negara kuat.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

1 juni 2017.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar