(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link http://birokratmenulis.org/dekriminalisasi-pengadaan-melalui-integrasi-penanganan-permasalahan-hukum-barangjasa/).
Pengadaan barang/jasa dinaungi
oleh Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dan seluruh perubahannya dan seluruh peraturan turunannya. Pada
konsiderannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 menginduk kepada UU Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, dan Peraturan Pemerintah Nomor
6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah.
Dalam kaitannya dengan
permasalahan pengadaan barang/jasa yang dalam menghadapi sengketa pengadaan
diatur dalam pasal 117 ayat (2) pengaduan disampaikan kepada APIP (aparat
pengawasan internal pemerintah) dan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan
barang/Jasa Pemerintah). Tidak dijelaskan apakah APIP hanya meliputi
Inspektorat/Inspektorat Jenderal atau juga meliputi BPK dan BPKP. Pengaduan
harus disertai bukti-bukti kuat yang terkait langsung dengan materi pengaduan.
Ayat (3) menyatakan APIP dan LKPP menindaklanjuti pengaduan sesuai
kewenangannya. Ayat (4) menyatakan hasil tindak lanjut pengaduan dapat
dilaporkan kepada instansi yang berwenang dalam hal diyakini terdapat indikasi
KKN yang akan merugikan keuangan negara. Ayat (5) menyatakan instansi yang
berwenang dapat menindaklanjuti pengaduan setelah kontrak ditandatangani dan
terdapat indikasi adanya kerugian negara. Pasal 118 sampai dengan pasal 124 mengatur
lebih lanjut tentang pasal 117. Dari uraian ini bisa diambil kesimpulan bahwa
seluruh pengaduan tentang sengketa pengadaan barang/jasa seharusnya ditangani
pertama kali oleh APIP/LKPP, sedangkan instansi berwenang bekerja setelah ada
pelimpahan dari APIP/LKPP.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010 seharusnya mempedomani peraturan yang menjadi konsiderannya.
Bila kita buka UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Pasal 1 tentang pengertian Kerugian Negara/Daerah adalah
kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya
sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Penyelesaian
kerugian negara/daerah diatur dalam pasal 59-67. Pasal 60 dan 61 ayat (1)
menyatakan setiap kerugian negara/daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung
kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala daerah dan diberitahukan kepada Badan
Pemeriksa Keuangan. Pasal 62 menyatakan pengenaan ganti rugi kerugian negara/daerah
ditetapkan oleh BPK dan apabila ditemukan unsur pidana maka BPK menindaklanjuti
sesuai peraturan yang berlaku (dalam penjelasan disebutkan menyampaikan kepada
instansi yang berwenang).. Penjelasan pasal 59 disebutkan Penyelesaian kerugian
negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang
atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai
negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.
Dan Dari uraian ini bisa disimpulkan bahwa kerugian negara/daerah ditangani
pertama kali oleh BPK dan bila ditemukan unsur pidana baru ditindaklanjuti kepada
instansi yang berwenang sesuai peraturan.
Bila kita buka Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi pasal
31-35 mengatur tentang kegagalan bangunan. Di pasal 34 disebutkan kegagalan
bangunan adalah keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik sebagian maupun
keseluruhan, dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja atau
keselamatan umum sebagai akibat kesalahan penyedia jasa atau pengguna jasa
setelah penyerahan akhir pekerjan konstruksi. Pasal 36 ayat (1) menjelaskan
kegagalan bangunan dinilai dan ditetapkan oleh penilai ahli. Pasal 46 mengatur
tentang pelaksanaan ganti rugi kegagalan bangunan dapat dilakukan oleh
asuransi. Pasal 49 mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dari
uraian singkat ini bisa diambil kesimpulan bahwa kesalahan atas kegagalan
bangunan ditetapkan oleh penilai ahli.
Bila kita buka Peraturan
Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah pasal 82 menyatakan bahwa setiap kerugian
negara/daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan/pelanggaran hukum diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi
sesuai peraturan.
Kesimpulan besarnya adalah
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 mengamanahkan pengaduan diserahkan ke
APIP/LKPP. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 mengamanahkan kerugian
negara/daerah ditangani oleh BPK. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000
mengamanahkan kegagalan bangunan diperiksa oleh penilai ahli. Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 mengamanahkan kerugian negara/daerah diselesaikan
melalui tuntutan ganti rugi.
Namun, kenapa para praktisi
pengadaan merasa sering terjadi kriminalisasi pengadaan ?
Salah satu sebabnya adalah karena
aparat penegak hukum (APH) memiliki peraturan sendiri tentang penanganan
pengaduan masyarakat termasuk pengaduan pengadaan. Mulai dari UU Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara RI dan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Dikarenakan keterbatasan pemahaman tentang hukum maka saya tidak bisam
menafsirkan UU yang dimiliki APH. Namun saya melihat tidak ada satu pasalpun
yang mengatur tentang peran dan fungsi Penilai Ahli, BPK, APIP dan LKPP dalam
kaitannya dengan penanganan permasalahan hukum.
Dalam kaitannya
dengan Arahan Presiden di Istana Negara tanggal 19 Juli 2016
yang menegaskan bahwa pembangunan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan
penegakan hukum harus sejalan dengan semangat pemerintah dalam melaksanakan
pembangunan.
Instruksi Presiden di Istana Negara tersebut
meliputi :
kebijakan diskresi tidak bisa dipidanakan, tindakan administratif tidak boleh
dipidanakan, kerugian negara ditentukan oleh BPK, kerugian negara harus konkrit
tidak mengada-ada, dan tidak diekspose ke media secara berlebihan sebelum
dilakukan penuntutan. Instruksi Presiden tersebut disambut dengan gembira
oleh para praktisi pengadaan karena bermuatan dekriminalisasi pengadaan. Namun
sejalan dengan berlalunya waktu, sayup-sayup Instruksi Presiden tersebut mulai
hilang secara perlahan. Apalagi dalam tata urutan perundang-undangan maka
posisi Instruksi Presiden sangat jauh di bawah UU.
Oleh karena itu,
bila kita sepakat untuk mendinginkan suasana kriminalisasi pengadaan yang
dirasakan oleh para praktisi pengadaan maka diperlukan harmonisasi dan
penyesuaian antara peraturan pengadaan dan UU APH. Para petinggi lembaga
pengadaan (LKPP, IAPI, APPI dan perwakilan praktisi pengadaan yang berpengaruh)
harus duduk bersama dengan petinggi APH dalam rangka harmonisasi ini untuk
menyelaraskan peraturan masing-masing dengan Instruksi Presiden 19 Juli 2016. Bagaimana
memasukkan kaidah pemeriksaan kasus pengadaan standar peraturan pengadaan ke
dalam UU APH atau dibentuk satu UU Interkoneksitas Pemeriksaan Gabungan itu
tidak masalah. Yang penting adalah komitmen dekriminalisasi pengadaan harus
terwujud dalam bentuk pasal peraturan dalam UU penegakan hukum. Sehingga tugas
dan fungsi penilai ahli, APIP, BPK dan LKPP terwujud di dalam UU penegakan
hukum seperti UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara RI dan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
RI.
Namun di sisi lain, praktisi pengadaan
juga harus berbenah diri dan menyusun secara sistematis konsep dan strategi
independensi pengadaan agar resiko hukum bisa dihindari. Keberadaan Auditor
Pengadaan dan Penilai Ahli Pengadaan juga perlu dipertimbangkan untuk terlibat
dalam penanganan kasus pengadaan. Dengan demikian tugas pengadaan barang/jasa
akan menjadi tugas yang menyenangkan, bukan tugas yang menakutkan.
Dekriminalisasi pengadaan adalah
mimpi kita semua.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
13 Agustus 2017.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar