Kamis, 26 Oktober 2017

Densus Tipikor : Antara Penindakan dan Pencegahan

Densus Tipikor Polri sebagai sebuah gagasan seharusnya patut diacungkan jempol.  Sayang sekali gagasan Densus Tipikor tidak berumur panjang. Sebagai sebuah gagasan seharusnya diberi kesempatan untuk memperkaya ide-ide di dalamnya, tukar menukar konsep serta penyesuaian terhadap lingkungan serta daya tahan terhadap berbagai kepentingan yang akan melingkupinya. Gagasan tentang Densus Tipikor tidak sempat melakukan itu semua dan ternyata harus kandas di tengah jalan.

Gagasan tentang Densus Tipikor merupakan lanjutan dari upaya pemberantasan korupsi di mana tidak sedikit lembaga yang sudah dilahirkan untuk mencapai tujuan pemberantasan korupsi seperti Kejaksaan, Kepolisian, KPK, Saber Pungli. Kesemuanya lebih dominan dalam pencapaian pemberantasan korupsi pada pola penindakan. Saat ini pola penindakan sudah dipertanyakan efektifitasnya. Beberapa penindakan terjadi secara berulang di instansi yang sama. Panasnya penindakan hanya bisa bertahan sebentar saja untuk kemudian berangsur-angsur situasi kembali seperti sediakala tanpa ada perubahan yang signifikan akibat dari penindakan sebelumnya. Tercatat ada kementerian dan pemerintah provinsi yang mengalami penindakan berulang. Hal ini diakibatkan pola penindakan tidak menyentuh akar permasalahan penyebab korupsi serta posisi korupsi sebagai akibat membuat penindakan korupsi tidak menghentikan sebab-sebab timbulnya korupsi.


Saat ini KPK sendiri sudah menyadari ketidakefektifan pola penindakan korupsi dan  mengembangkan pola pencegahan korupsi. Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi Terintegrasi dibentuk dalam upaya meningkatkan upaya tata kelola pemerintahan yang baik dan membangun sistem pencegahan korupsi di instansi pusat dan daerah. Sedangkan Kejaksaan mengembangkan sistem TP4 (Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan) di mana seluruh struktur Kejaksaan dari pusat sampai daerah dibentuk sehingga pemerintah pusat dan daerah bisa berkonsultasi, meminta pendampingan serta bekerjasama agar proses pembangunan yang dilaksanakan tidak bermasalah secara hukum. Saya sendiri memandang TP4 sebaiknya dirubah menjadi sebuah struktur permanen, bukan tim, agar lebih efektif dalam menjalankan tugasnya.

Gagasan Densus Tipikor yang ada saat ini sepertinya lebih mengedepankan pola penindakan. Tentunya ini akan memutar balik arah jarum jam. Ketika semua instansi penegak hukum sudah mengembangkan pola pencegahan, Densus Tipikor justru mengedepankan pola penindakan. Ditambah dengan kemungkinan tumpang tindih kewewenangan, kebutuhan anggaran yang tidak sedikit, serta landasan hukum yang akan mendasari. Di sini gagasan Densus Tipikor harus melakukan banyak penyesuaian agar gagasan ini tidak melawan arus pemberantasan korupsi berbasis pencegahan.  

Walaupun pada rapat tertutup yang dipimpin langsung oleh Presiden diambil keputusan bahwa Densus Tipikor tidak jadi dibentuk. Namun saya melihat bahwa pematangan konsep Densus Tipikor harus terus digulirkan dengan catatan harus bisa bersinergi dengan seluruh instansi penegak hukum yang ada dan harus mengedepankan pola pencegahan korupsi. Desain Densus Tipikor harus ditata ulang kembali dengan mengikuti mazhab pencegahan. Pencegahan di sini bukan hanya pencegahan korupsi di kalangan instansi birokrasi saja tapi juga harus bisa melakukan pembenahan intern. Pembenahan intern ini paling dibutuhkan. Bila pembenahan intern belum selesai sebaiknya jangan dulu bergerak ke pembenahan birokrasi. Bagaikan membersihkan rumah maka sapunya harus bersih terlebih dahulu. Keberhasilan pembenahan intern akan sangat menentukan dalam mencapai keberhasilan pembenahan birokrsasi dari sisi pencegahan.

KPK dengan konsep Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi Terintegrasi belum bisa menangani keseluruhan bidang dan urusan pencegahan korupsi. Kejaksaan dengan konsep Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) juga belum bisa menangani keseluruhan bidang dan urusan pencegahan korupsi. Di sini Densus Tipikor sebagai sebuah gagasan harus hadir dengan warna yang berbeda dan saling isi mengisi dalam mewujudkan pencegahan korupsi bersama dengan instansi penegakan hukum lainnya.

Banyak lahan pencegahan korupsi yang bisa digarap oleh Densus Tipikor di luar bidang garapan KPK dan Kejaksaan. Apalagi Kepolisian memiliki struktur organisasi yang memiliki jangkauan yang lebih luas dibandingksan dengan KPK dan Kejaksaan. Kepolisian bisa menjangkau sampai tingkat desa  di mana hal ini tidak bisa dijangkau oleh KPK dan Kejaksaan. Daya jangkau ini tentu menjadi nilai plus bagi Densus Tipikor dengan pola pencegahannya.     

Saya sendiri memandang bahwa postur dan struktur Densus Tipikor nantinya harus ramping namun memiliki kualitas tinggi sebagaimana halnya Densus 88. Densus Tipikor tidak perlu memiliki struktur paralel dengan struktur teritorial. Densus Tipikor tidak perlu membentuk struktur yang gemuk dan birokratis. Densus Tipikor harus lebih mengedepankan sifat kekhususannya. Densus Tipikor cukup bergerak di wilayah strategis dan menjadi otak pemikir gagasan yang nantinya teraplikasi di seluruh struktur Kepolisian sampai ke tingkat terbawah.

Mari kita dukung redefenisi dan restrukturisasi gagasan Densus Tipikor pola pencegahan. Gagasan harus terus dilahirkan karena kemerdekaan bangsa ini juga berawal dari sebuah gagasan. Bahkan manusia bisa ke bulan juga berawal dari sebuah gagasan.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

26 Oktober 2017.


*   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar