(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link https://birokratmenulis.org/pencegahan-korupsi-ala-sempritan-wasit-pertandingan-bola/)
Tak terasa tahun 2018 sudah lewat
2 minggu. Gegap gempita yang menandai kedatangan tahun baru 2018 sudah tidak
berbekas lagi. Kembang api, pentas seni dan beberapa kegiatan keagamaan yang
mewarnai kedatangan tahun baru 2018 berlalu bagai angin. Harapan-harapan baru
yang menyertai kedatangan tahun baru sudah mulai menepi dari pikiran digeser
oleh kerasnya dan kejamnya kenyataan.
Saya sendiri tidak lepas dari
pemilik harapan baru tersebut. Harapan itu begitu tinggi di jam 00 WIB tanggal
1 januari 2018.
Malam itu, ku melaju di jalanan
sepi. Pulang dari acara pengajian menyambut tahun baru 2018 menuju rumah orang
tua. Melaju santai menikmati sepinya malam ditemani angin malam. Laju kenderaan
ku sengaja hanya berkisar 40 km/jam. Waktu tempuh yang biasanya 1.5 jam
kutempuh dengan waktu 2 jam. Jarang bisa menikmati sepinya malam di jalanan. Cuaca
sangat sejuk. Jalanan yang kosong dari kenderaan kulalui dengan pikiran
berkecamuk. Banyak harapan yang terlintas di pikiran. Namun godaan buah durian
di sepanjang jalan sepi membuat imanku runtuh juga. Kupinggirkan kenderaan. Ku
pesan 2 buah durian dan ku santap perlahan. Lupa dengan kolesterol dan
hipertensi yang telah menyertai kehidupanku. Perlahan ku santap buah durian sambil
menatap aspal jalan lintas tengah sumatra yang begitu tangguh diterpa hujan dan
ditimpa panas mentari. Jalan yang dibangun pada zaman orde baru itu sudah cukup
tua. Namun jauh lebih tangguh dari jalan yang dibangun pada zaman orde
reformasi ini.
Selesai menyantap durian ku
lanjutkan perjalanan. Sepi malam dan angin malam kembali menemani perjalanan.
Anganpun kembali menerawang. Harapan pada tahun 2018 lebih banyak dipengaruhi
oleh situasi terkini di tahun 2017. Pemberantasan korupsi mendominasi pikiranku.
Bagaimana format baru pemberantasan korupsi, akankah tetap dengan jargon
pencegahan korupsi namun dengan tetap beraroma penindakan korupsi atau akankah
ada format pencegahan yang lebih realistis. KPK masih menjadi icon utama
pemberantasan korupsi di samping lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan
kejaksaan. Kejaksaan memiliki program TP4 (Tim Pengawal dan Pengaman
pemerintahan dan Pembangunan). Tim baru berupa Tim Saber Pungli yang dikomandoi
oleh kementerian Koordinator Polhukam. Isu terbaru berupa Densus Tipikor yang
kandas di tengah jalan. Di bulan Nopember 2017 ditandatangani Nota Kesepahaman
antara Mendagri, Kapolri dan Jaksa Agung tentang Koordinasi Aparat Pengawasan
Intern Pemerintah dengan Aparat Penegak Hukum terkait pengaduan masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sayang sekali nota kesepahaman yang
diperintahkan paling lambat 3 bulan ditindaklanjuti di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota belum terdengar kabarnya. Mestinya untuk efektifitas dilakukan
secara bersama-sama di tingkat propinsi oleh seluruh pemerintah daerah yang
ada.
KPK sebagai icon pemberantasan
korupsi masih menjadi pusat perhatian. KPK sudah mulai mengembangkan konsep
pencegahan. Di tingkat pemerintahan daerah sudah mulai menjalin kerjasama
pembangunan sistem pemerintahan tersistemasi dalam bentuk e-government. Diawali
dengan pembentukan Satgas KPK di 6 propinsi paling parah tingkat korupsinya.
Seluruh pemerintah daerah di 6 propinsi tersebut telah menandatangani MOU
dengan KPK dalam bentuk pencegahan korupsi terintegrasi yang didominasi oleh
program e-government. Namun e-gov berada pada posisi di tengah perjalanan,
bukan di hulu. Semua sepakat bahwa penyimpangan pemerintahan daerah berhulu
pada mahalnya biaya demokrasi pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif.
Penyenggaraan pemerintahan daerah di beberapa sektor akan menjadi komoditi
untuk pengembalian biaya politik untuk meraih kursi kekuasaan eksekutif dan
legislatif. Dua tahun pertama akan didominasi oleh pengembalian modal politik
yang lalu. Tahun ketiga agak stabil. Masuk 2 tahun terakhir akan didominasi
oleh pengumpulan biaya politik untuk periode kedua atau menggolkan putra
mahkota. Putra mahkota penting untuk menjaga kepentingan masa lalunya. Bila
program pencegahan korupsi di posisi penyelenggaraan pemerintahan daerah maka
akan terjadi tarik menarik dan sandiwara tak berkesudahan yang cukup
melelahkan. Politik petak umpet yang seolah-olah mendukung e-gov namun di sisi
lain mencari celah baru untuk permainan penyimpangan pemerintahan akan menghabiskan
energi negeri ini. Setidaknya memperlambat program e-gov selambat-lambatnya.
Ikan busuk didahului dari kepalanya. Pencegahan korupsi juga harus mulai dari
atas. Pencegahan korupsi harus bergerak ke hulu pemerintahan. Pemilihan kepala
daerah dan pemilihan pejabat utama daerah harus menjadi fokus utama gerakan
pencegahan korupsi.
Pemilihan kepala daerah kini
dengan pola pilkada serentak. Tahun 2018 kepala daerah yang akan menjalani
pilkada sebanyak 171 pemerintah daerah berupa 17 propinsi, 39 kota dan 115
kabupaten akan melaksanakan pilkada. Dan kepala daerah terpilih nantinya akan
memimpin e-gov. e-gov bertujuan baik. Bagaimana caranya agar kepala daerah
terpilih secara konsisten menjalankan e-gov ? Tidak ada pilihan lain yang
terbaik harus terpilih dalam pilkada. Salah satu kriteria terbaik yang wajib
untuk diterapkan adalah tidak memakai politik uang. Namun tidak bisa dipungkiri
bahwa pilkada identik dengan politik uang. Dan momen pilkada merupakan momen
bagi rakyat untuk memeras para calon kepala daerah. Semua sogokan pilkada akan diterima
dan tak jarang untuk menjaga konsistensinya rakyat menusuk semua pilihan atau
lebih dari satu calon yang memberikan uang padanya. Segala macam edukasi anti
politik uang tidak mempan kepada rakyat. Karena kondisi ekonomi rakyat sangat
tidak mendukung untuk meminta rakyat menolak politik uang. Satu-satunya jalan
adalah dengan memotong mata rantai distribusi politik uang tersebut. Kunci
utama distribusi adalah pengangkutan uang dan marketingnya. Uang puluhan milyar
bahkan ada yang melebihi seratusan milyar takkan bisa dibawa dengan kenderaan
roda 2. Itu akan dibawa dengan kenderaan roda 4 bahkan roda 6. Dan uang
tersebut akan dipasarkan ke para pemilih lewat struktur tim sukses paling bawah
yaitu tim sukses tingkat desa bahkan tingkat RT RW.
Pencegahan korupsi paling hulu
seharusnya di tingkat distribusi politik uang pilkada. KPK dalam menjalankan
fungsi koordinasi dan supervisinya dengan lembaga penegak hukum harus bergerak
dalam pencegahan korupsi pilkada pada distribusi politik uang. OTT terhadap
truk pengangkut uang dan penghapusan struktur tim sukses kampanye tingkat desa
dan RT RW sudah mendesak untuk dilakukan. Pilkada biaya tinggi sudah waktunya
untuk diberantas. Gerakan ini harus didukung oleh operasi senyap terintegrasi.
Rasanya tidak sulit bagi KPK dan lembaga penegak hukum untuk menangkap truk
pembawa duit ini. Dengan demikian, OTT ini bisa dikembangkan dengan menelusuri
siapa pemodalnya. Dan dilanjutkan dengan pemberian sangsi diskualifikasi dan proses
hukum serta dilakukan pendaftaran ulang calon kepala daerah. Pendaftaran ulang
ini penting untuk memancing kembali calon kepala daerah terbaik namun kurang
modal. Dengan adanya OTT ini maka calon kepala daerah yang mengandalkan uang
akan berpikir 1000 kali untuk ikut pilkada. Dan optimisme akan muncul pada
calon kepala daerah berkualitas namun modal kurang.
Pencegahan korupsi tingkat tinggi
pada pilkada tentu hanya akan terjadi di level elit. Sedangkan di level
terendah pergerakan korupsi masih terus terjadi baik dalam bentuk subsidi antar
kegiatan maupun untuk memperkaya diri. Diperlukan kombinasi pencegahan dan
penindakan pada gaya korupsi akar rumput ini. Baik KPK maupun penegak hukum
seperti Saber Pungli masih terfokus pada gaya lama yaitu perlunya barang bukti
materil. Sedangkan korupsi tingkat akar rumput bergerak nyaris tanpa
meninggalkan barang bukti dan bergerak secara senyap. Penyebabnyapun terus
muncul dengan berbagai variasi dan terus berkembang. Saatnya KPK dan lembaga
penegak hukum mengembangkan pola baru yaitu pola tanpa barang bukti yaitu pola
Semprit.
Pola Semprit ini meniru semprit
wasit pada permainan sepak bola. Wasit memakai semprit dengan tingkatan
peringatan, kartu kuning dan kartu merah. Pencegakan korupsi tingkat akar
rumput ini dilakukan dengan melakukan rekrutmen secara rahasia kepada para
pelakunya menjadi informan. Informan akan menyampaikan informasi secara senyap.
Pelaku akan dipanggil menghadap lembaga penegak hukum teritorial terendah untuk
mendapat peringatan tingkat pertama. Apabila tidak diindahkan dan masih terus
diulangi maka Semprit kedua akan diberikan dalam bentuk peringatan kedua oleh
penegak hukum teritorial setingkat lebih tinggi. Apabila masih terus juga tidak
diindahkan maka peringatan terakhir disampaikan oleh KPK struktur pencegahan.
Apabila masih tetap tidak diindahkan dan masih diulangi lagi maka jalan
terakhir ditempuh yaitu penindakan. Pola Semprit ini tidak perlu fokus pada
barang bukti namun lebih fokus pada rekrutmen para pelaku, informan, informasi
dan kesaksian. Pola Semprit ini akan menarik dan perlu dikaji efektifitasnya.
Perjalanan malam dan angin malam berujung
pada sampainya ke tempat tujuan yaitu rumah orang tua. Anganpun berakhir.
Harapan tetap akan menjadi harapan. Tak banyak yang diharapkan. Cukup pencegahan
korupsi dengan pola OTT politik uang pilkada pada truk pembawa uang dan
pencegahan korupsi pola Semprit. Kedua pola ini akan menggeser para koruptor ke
pinggiran dan menggeser para PNS bersih ke pusat pemerintahan daerah.
Kenderaan kuparkirkan dengan
baik. Ku tatap jam dinding sudah menunjukkan kira-kira pukul 02.00 WIB. Kepala
agak sakit karena efek makan durian. Baru teringat kolesterol dan hipertensi. Kubaringkan
raga ini. Ku tutup mata. Bermimpi indah tentang pencegahan korupsi yang lebih realistis.
Selamat malam Indonesiaku.
Salam reformasi
Dari Madina untuk Indonesia.
Rahmad Daulay
13 Januari 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar