Sabtu, 17 November 2018

Mengkritisi Permendagri Nomor 112 Tahun 2018 Tentang UKPBJ Pemda

(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link http://birokratmenulis.org/mengkritisi-permendagri-nomor-112-tahun-2018-tentang-ukpbj-pemda/).

Pada periode tata kelola pengadaan zaman Keppres nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pelaksanaan pengadaan barang/jasa dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan yang diangkat oleh Pengguna Anggaran yang dijabat oleh kepala instansi. Pada masa ini tidak begitu banyak permasalahan antara kepala instansi dengan panitia pengadaan mengingat para panitia pengadaan adalah bawahan langsung dari pengguna anggaran. Dalam artian semua kepentingan terpenuhi dan berjalan sebagaimana mestinya. Kalaupun ada permasalahan akan ditangani oleh pengguna anggaran mengingat SK panitia pengadaan ditandatangani oleh pengguna anggaran sehingga tanggungjawab atas permasalahan yang terjadi melekat pada jabatan pengguna anggaran.

Pada periode tata kelola pengadaan zaman Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pelaksanaan pengadaan barang/jasa dilaksanakan oleh Kelompok Kerja yang bernaung di bawah Unit Layanan Pengadaan. Ketidaktegasan tentang regulasi mengakibatkan banyaknya variasi bentuk kelembagaan ULP mulai dari yang masih mempertahankan lembaga adhoc (non struktural) maupun berbentuk struktural seperti Badan Pengadaan, Biro Pengadaan, Bagian Pengadaan ataupun yang dilaksanakan oleh Biro Pembangunan atau Bagian Pembangunan. Prinsip yang dipakai di sini adalah mencoba untuk menyetarakan posisi dari pengguna anggaran disetarakan dengan kepala ULP dan menyetarakan posisi pejabat pembuat komitmen dengan pokja ULP. Namun penyetaraan posisi ini tidak berjalan mulus akibat dari eselonisasi yang kalah pada pihak jabatan pengadaan pengadaan.

Pada pemerintahan propinsi, bila Pengguna Anggaran pada dinas berada pada tingkatan eselon II A sedangkan Kepala ULP bila dijabat oleh Kepala Biro Pengadaan berada pada tingkatan eselon II B, dengan kata lain kalah satu tingkat. Lebih parah lagi bila Kepala ULP dijabat oleh Kepala Bagian Pengadaan yang tingkatannya pada eselon III A.


Pada pemerintahan kabupaten/kota, bila Pengguna Anggaran pada dinas berada pada tingkatan eselon II B, sedangkan Kepala ULP bila dijabat oleh Kepala Bagian Pengadaan yang tingkatannya pada eselon III A.

Dengan posisi kalah tingkatan eselon seperti ini maka tekanan dan intervensi akan begitu kuat. Namun bila terjadi permasalahan maka pengguna anggaran tidak punya beban moral untuk menyelesaikan permasalahan sehingga ULP dan Pokja ULP berjalan sendirian dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.

Hanya ada beberapa pemerintahan daerah yang membentuk Badan Pengadaan. Dengan bentuk kelembagaan seperti ini penyetaraan tingkatan eselon antara Pengguna Anggaran dan Kepala ULP yang dijabat oleh Kepala Badan Pengadaan sudah tercapai. Kepala ULP sudah bisa duduk dan berdiri pada posisi yang sama dengan Pengguna Anggaran.       

Pada periode tata kelola pengadaan zaman Perpres nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang ditindaklanjuti dengan Perlem nomor 14 tahun 2018 tentang Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa. Tugas besar yang diemban oleh UKPBJ adalah pelaksanaan tender oleh Pokja Pemilihan, pengelolaan Sistem Pengadaan Secara Elektronik oleh LPSE, advokasi permasalahan dan pembinaan SDM. Pembinaan SDM di sini bukan semata hanya pada anggota UKPBJ namun meliputi keseluruhan pelaku pengadaan mulai dari Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Pengadaan, Pokja Pemilihan, Agen Pengadaan, Panitia Penerima Hasil Pekerjaan, Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, penyelenggara swakelola dan penyedia/perusahaan. Dari tugas besar ini maka bentuk ideal kelembagaan UKPBJ adalah berbentuk Badan Pengadaan. Posisinya setara antara Kepala UKPBJ dengan Pengguna Anggaran.

Namun setback terjadi ketika Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Permendagri nomor 112 tahun 2018 tentang Pembentukan UKPBJ Di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pengaturan ini menempatkan UKPBJ di bawah Sekretariat Daerah. Terjadi klasifikasi untuk pemerintah provinsi UKPBJ kelas A dalam bentuk Biro Pengadaan (eselon II B) dan Kelas B dalam bentuk Bagian Pengadaan (eselon III A). Klasifikasi untuk Pemerintah Kabupaten/Kota UKPBJ Kelas A dalam bentuk Bagian Pengadaan (Eselon III A) dan Kelas B dalam bentuk Sub Bagian Pengadaan (eselon IV A). Klasifikasi ini berdasarkan hasil perhitungan indikator teknis berupa rata-rata jumlah paket pengadaan 3 tahun terakhir, rata-rata jumlah paket konstruksi 3 tahun terakhir, rata-rata jumlah paket pengadaan barang 3 tahun terakhir, rata-rata jumlah paket jasa konsultansi 3 tahun terakhir, rata-rata jumlah paket jasa lainnya 3 tahun terakhir, jumlah pemegang sertifikat Ahli PBJ, jumlah OPD, jumlah penyedia terdaftar pada LPSE, jumlah kelurahan/desa. Kelas A dibentuk bila total skor variabel lebih dari 500. Kelas B dibentuk bila total skor variabel maksimal atau di bawah 500.

Setback ini muncul karena pengaturan bentuk UKPBJ ini tidak menampung aspirasi dari para praktisi dan ahli pengadaan. Kementerian Dalam Negeri lebih fokus pada pembentukan kelembagaan UKPBJ berbasis beban kerja 3 tahun terakhir. Kementerian Dalam Negeri tidak memperhitungkan permasalahan kuantitatif yang terjadi pada setiap tender yaitu permasalahan intervensi dan kriminalisasi pengadaan. Permasalahan ini tidak terukur namun dominan dalam pelaksanaan tugas tender barang/jasa. Intervensi dan kriminalisasi pengadaan menjadi fokus utama perlunya pembentukan UKPBJ yang independen dalam pengambilan keputusan, bukan hanya permanen dan struktural semata. Independensi ini bisa dicapai secara ideal apabila para Pokja Pemilihan berada di bawah UKPBJ Nasional lepas dari kekuasaan kepala daerah. Namun mengingat ide UKPBJ Nasional belum realistis untuk saat ini maka posisi UKPBJ paling tidak harus disetarakan dengan posisi Pengguna Anggaran sehingga walaupun belum bisa lepas dari intervensi dan kriminalisasi namun paling tidak posisinya tidak kalah dan tidak di bawah Pengguna Anggaran sehingga peluang intervensi dan kriminalisasi bisa diminimalisir. Apalagi dengan posisi eselon II maka Jabatan Kepala Badan Pengadaan akan melalui proses lelang jabatan sehingga tidak mudah bagi kepala daerah untuk mengganti sesuka hatinya bila hasil pelelangan tidak sesuai dengan keinginannya. Sedangkan model UKPBJ versi Permendagri nomor 112 tahun 2018 ini posisi Kepala UKPBJ hanya kokoh pada jabatan Kepala Biro Pemerointah Provinsi karena melalui proses lelang jabatan. Sedangkan pada posisi lainnya yaitu Kepala Bagian Pengadaan yang hanya eselon III A atau Kepala Sub  Bagian Pengadaan yang hanya eselon IV A sangat rentan untuk diintervensi dan digonta-ganti setiap saat tergantung dari hasil tender apakah memuaskan para pihak atau tidak. Dan model ini rawan mengalami pelemahan kelembagaan.

Oleh karena itu, bila kita ingin memperbaiki negara ini yang salah satunya melalui perbaikan tata kelola pengadaan barang/jasa maka selain opsi pembentukan UKPBJ Nasional maka opsi pembantukan Badan Pengadaan harus kembali dipertimbangkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Kalaupun Kementerian Dalam Negeri ngotot dengan format yang ada pada Permendagri nomor 112 tahun 2018 maka jabatan Kepala UKPBJ apapun bentuknya harus melalui seleksi terbuka/lelang jabatan.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

17 Nopember 2018.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar