Sabtu, 08 Februari 2020

Dana Kapitasi dan Defisit BPJS Kesehatan

(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link https://birokratmenulis.org/alternatif-penyelesaian-defisit-bpjs-kesehatan/)

Jaminan kesehatan nasional adalah jaminan yang diberikan oleh negara berupa perlindungan kesehatan kepada rakyat untuk memperoleh manfaat kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada seluruh rakyat.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan badan hukum publik yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan memiliki tugas untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional bagi seluruh rakyat baik rakyat penerima gaji/upah, usaha sendiri/wiraswasta maupun yang sedang dalam keadaan tidak bekerja akibat menganggur ataupun faktor usia atau gangguan kesehatan.

BPJS Kesehatan bersama dengan BPJS Ketenagakerjaan merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013.  Kewenangan BPJS Kesehatan meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia dan dapat mewakili Indonesia atas nama negara dalam hubungan dengan badan internasional. BPJS Kesehatan sebelumnya dikenal dengan nama Askes (Asuransi Kesehatan).

Jaminan pemeliharaan kesehatan sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Sejak zaman kemerdekaan, program asuransi kesehatan kembali dilanjutkan. Awalnya diterapkan kepada para PNS dan anggota keluarganya. Pada tahun 1968 pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) kepada PNS, pensiunan dan keluarganya. Pada tahun 1984 pemerintah membentuk Perum Husada bakti (PHB) untuk melayani jaminan kesehatan bagi PNS, pensiunan, veteran, perintis kemerdekaan dan keluarganya. Pada tahun 1992 pemerintah membentuk PT Askes yang mulai menjangkau karyawan BUMN dan pada tahun 2005 melaksanakan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin yang kemudian dikenal dengan nama Askeskin di mana pemerintah menanggung semua iuran untuk masyarakat miskin. PT Askes juga mengelola Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah). Dan pada tahun 2014 pemerintah membentuk BPJS.

Pada beberapa pemberitaan diperoleh informasi bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit setiap tahun. pada tahun 2017 mengalami defisit 9,7 tirlyun. Pada tahun 2018 mengalami defisit 9,1 trilyun. Pada tahun 2019 defisit melebihi 20 trilyun. Beragam pendapat yang muncul atas terjadinya defisit BPJS Kesehatan tersebut. Mulai dari kendala iuran di mana peserta banyak yang tidak disiplin membayar iuran hingga pada tingginya biaya perobatan pasien. Belum lagi banyaknya isyu miring tentang penyimpangan pengelolaan anggaran. Telah banyak upaya yang dilakukan namun defisit BPJS Kesehatan belum bisa teratasi sampai saat ini. Ide tentang menaikkan iuran masih menjadi satu-satunya solusi walau ide ini sangat tidak populer di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum memungkinkan.


Saya sendiri memandang bahwa defisit ini bisa diselesaikan dengan tiga cara yaitu :
1.      Reformasi tata kelola anggaran
2.      Meningkatkan kepesertaan dan pemasukan iuran
3.       Penegakan hukum

Reformasi tata kelola anggaran mutlak dilakukan. Salah satu yang perlu dilakukan perubahan besar-besaran adalah terkait keberadaan Sistem Kapitasi. Dana kapitasi adalah besaran pembayaran perbulan yang dibayar di muka kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Dengan kata lain sakit atau tidak sakit, iuran peserta dipakai setiap bulannya untuk membiayai sistem kapitasi. Dana kapitasi dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Untuk jasa pelayanan kesehatan (jasa paramedis dan nonmedis) minimal 60 % dari dana kapitasi, sisanya untuk biaya operasional (obat, alat kesehatan, bahan habis pakai, operasional ambulans, ATK, peningkatan SDM, pemeliharaan sarana prasarana, belanja modal dan lainnya). Variabel perhitungan pembagian dana kapitasi memiliki formula tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Sistem kapitasi ini harus dihapus. Penyebab pertama adalah adanya anggaran ganda pada dukungan biaya operasional kesehatan yang mencakup maksimal 40 % dari dana kapitasi. Semua kebutuhan operasional pelayanan kesehatan sudah ada dari sumber Dana Alokasi Khusus APBN, dari APBD dan dari dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) APBN. Ketiga sumber dana tersebut sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kebutuhan operasional pelayanan kesehatan di seluruh instansi pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, klinik dan lainnya). Penyebab kedua adalah iuran peserta yang tidak sakit juga terkuras setiap bulan untuk membiayai sistem kapitasi ini. Saya memperkirakan kedua sebab ini yang menyebabkan terjadinya beban pengeluaran yang tinggi dari anggaran BPJS Kesehatan.

Sistem kapitasi ini diganti saja dengan sistem klaim perobatan. Iuran peserta disimpan semua dalam kas BPJS Kesehatan. Apabila ada peserta yang sakit dan mendapatkan pelayanan kesehatan maka semua biaya perobatan akan diklaim dan dibayar pada bulan berikutnya. Klaim yang harus dibayar meliputi semua komponen perobatan mulai dari tarif paramedis dan nonmedis yang terkait langsung dengan perobatan, biaya obat, biaya bahan habis pakai, biaya peralatan yang dipakai dan biaya administrasi. Menteri Kesehatan harus menyusun ulang besaran tarif medis dan nonmedis sampai ke tingkatan yang layak sesuai standar biaya hidup yang berbeda di setiap daerah, harga obat, harga bahan habis pakai, tarif pemakaian alat dan biaya administrasi. Harus juga dilakukan penyesuaian setiap tahunnya. Sebisa mungkin dilakukan secara online dan pembayaran nontunai untuk menghilangkan peluang korupsi. Sistem ini jauh lebih sederhana dan jauh lebih masuk akal karena tidak ada dana yang terbuang karena anggaran akan terpakai hanya ketika peserta memakai layanan kesehatan saja. Semua regulasi yang mengatur tentang sistem kapitasi harus dicabut dan diganti dengan sistem klaim. Memang dibutuhkan pengkajian yang lebih mendalam untuk menerapkan sistem klaim ini namun sebagai sebuah alternatif perlu dilakukan ujicoba pada beberapa puskesmas sebagai sampel pada tenggang waktu tertentu dilakukan perbandingan sehingga diperoleh data lebih efisien yang mana antara sistem kapitasi atau sistem klaim.  

Di sisi lain perlu dimaksimalkan jumlah kepesertaan dan pemasukan iuran. Setiap warga negara wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan namun ternyata masih banyak warga negara Indonesia yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Perlu upaya kreatif untuk meningkatkan kepesertaan ini. Di antaranya adalah dengan memanfaatkan struktur terendah seperti bidan desa, posyandu, poliklinik desa, puskesmas, klinik dan RSUD dengan mendaftarkan semua pasien yang berobat menjadi peserta BPJS Kesehatan. Juga memanfaatkan struktur kewilayahan terendah seperti Kepala Lingkungan, RT/RW, Kepala Dusun, Kepala Desa untuk mewajibkan warganya mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Biasanya masyarakat yang tidak mampu enggan mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Di sini diperlukan sosialisasi yang maksimal bahwa tidak semua peserta BPJS Kesehatan harus membayar iuran. Sebagian di antaranya justru dibayar oleh negara iurannya, yang dikenal sebagai peserta PBI (penerima bantuan iuran). PBI ini belum tersosialisasi dengan baik oleh masyarakat kita.

Warga negara asing yang sudah bekerja di Indonesia minimal selama 6 bulan juga wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan. Namun pada umumnya warga negara asing lebih menyukai untuk mengikuti asuransi kesehatan swasta karena imagenya lebih bagus pelayanannya.

Setiap perusahaan wajib mendaftarkan semua karyawannya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Apakah semua perusahaan baik usaha kecil maupun usaha menengah dan usaha besar sudah mendaftarkan karyawannya menjadi peserta BPJS Kesehatan ? Di sini diperlukan kerjasama semua pihak terkait untuk memastikan semua perusahaan wajib mendaftarkan semua karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan. Pengawas Ketenagakerjaan dari Kementerian Tenaga Kerja harus mengambil peranan besar bekerjasama dengan Kementerian Keuangan dalam bentuk sangsi pajak baru di mana perusahaan yang belum mendaftarkan semua karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan dikenakan sangsi penambahan pajak dengan besaran tertentu sehingga dengan adanya ancaman sangsi ini maka semua perusahaan akan taat pada kepesertaan BPJS Kesehatan.

Metode pembayaran iuran BPJS Kesehatan harus dikembangkan dengan pendekatan teknologi informasi. Terhadap peserta penerima upah dilakukan sistem pembayaran online langsung dari perusahaan memotong gaji karyawannya dan membayarkan secara masal iuran BPJS Kesehatan semua karyawannya ke rekening BPJS Kesehatan melalui perbankan secara online. Terhadap peserta yang merupakan bukan penerima upah yang merupakan wiraswasta dilakukan metode pembayaran autodebet. Perbankan harus mengembangkan pengelolaan data rekening peserta BPJS Kesehatan yang mana apabila peserta memiliki lebih dari satu nomor rekening maka perbankan bisa melakukan autodebet iuran BPJS Kesehatan ke salah satu rekening milik peserta BPJS Kesehatan tersebut. Konsolidasi data antar bank sangat dibutuhkan mengingat nasabah biasanya memiliki rekening di lebih dari satu bank. Sistem BPJS Kesehatan dan sistem perbankan harus dikembangkan untuk bisa melakukan autodebet pada rekening yang memiliki saldo tertinggi di antara beberapa nomor rekening antar bank tersebut. Terhadap peserta yang saldo rekeningnya masih kurang dari besaran iurannya diberikan status pending dan baru akan autodebet ketika saldo rekeningnya sudah mencukupi. Sedangkan pembayaran iuran PBI untuk masyarakat tidak mampu dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah secara autodebet juga dari kas negara/daerah ke rekening permbayaran BPJS Kesehatan.

Adanya 2 BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan merupakan pemborosan tersendiri. Yang pasti terjadi pemborosan kantor, pegawai, operasional di wilayah kerja yang sama sampai ke tingkat tertinggi. Lebih baik untuk efisiensi maka kedua BPJS ini dimerger saja karena objek kepesertaannya sama saja. Merger dalam hal ini termasuk merger layanan.  

Upaya terakhir adalah penegakan hukum. Terhadap pihak-pihak yang secara sengaja melakukan penyimpangan pengelolaan anggaran yang menyebabkan terjadinya defisit anggaran diberikan sangsi hukum yang seberat-beratnya. Penegakan hukum ini penting mengingat defisit BPJS ini bukan hanya dipergunakan untuk kepentingan pribadi saja namun sudah mengarah ke upaya memperkaya diri secara tidak wajar di atas pendertaan rakyat.

Ide besar BPJS Kesehatan untuk memberi perlindungan kesehatan kepada seluruh rakyat harus didukung dengan kreatifitas dan inovasi tanpa henti dengan pemanfaatan teknologi. Bukan tidak mungkin kondisi defisit bisa berubah menjadi surplus dan bahkan bisa investasi ke berbagai bidang kesehatan. Selain perbaikan sistem dan SDM maka penegakan hukum harus bisa membersihkan organisasi BPJS Kesehatan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Masih banyak anak negeri yang sanggup menjalankan roda organisasi BPJS Kesehatan menuju cita-cita mulianya.

Rakyat sehat negara kuat.

Salam reformasi.
Rahmad Daulay

8 februari 2020.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar