Pemerintahan Desa lahir dengan
payung hukum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jauh sebelum negara
Indonesia merdeka, desa telah eksis di tengah-tengah masyarakat. Pemerintahan Desa
memiliki fungsi birokrasi pemerintahan, tata kelola keuangan, tata kelola aset,
manajemen pembangunan dan aspek pembinaan serta pengawasan.
Pemerintahan Desa akan mengubah
wajah desa secara keseluruhan dan mengubah ketatanegaraan serta image tentang desa.
Di dalam UU Desa diatur tentang kelembagaan desa, pemerintahan desa, Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), lembaga kemasyarakatan desa dan adat. BPD merupakan
lembaga perwakilan rakyat tingkat desa yang dipilih secara demokratis baik
melalui pemilihan maupun secara musyawarah. Tugas utamanya menyepakati
kebijakan pemerintahan tingkat desa. Musyawarah Desa merupakan forum musyawarah
antara antara BPD, Pemerintah Desa dan unsur masyarakat yang diselenggarakan
oleh BPD untuk menyepakati hal yang bersifat strategis dalam Pemerintahan Desa.
Pemerintahan Desa menjalankan
anggaran desa yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes). Di samping dana desa dari APBN dan alokasi dana desa dari APBD, Pemerintah
Desa juga bisa mengelola usaha desa dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes). BUMDes akan mengelola sumber-sumber pendapatan strategis desa yang
akan menambah pendapatan desa.
Dari segi regulasi dan peraturan,
pengelolaan Pemerintahan Desa sudah sangat lengkap. Walaupun ada keluhan tentang
minimnya sosialisasi dan penguasaan peraturan tentang Pemerintahan Desa namun
hal tersebut bisa dieliminir dengn meningkatkan akses informasi baik secara
elektronik maupun komunikasi langsung secara berkala.
Namun dari beberapa pemberitaan, banyak
terdengar kabar bahwa anggaran desa banyak dikorupsi baik oleh Pemerintah Desa
maupun pihak-pihak tertentu. Total anggaran dana desa pada APBN tahun 2019 sebesar
Rp. 70 trilyun. Setiap desa memperoleh dana secara bervariasi pada kisaran
rata-rata Rp. 1,2 milyar. Jauh lebih tinggi dari anggaran kecamatannya sendiri.
Beberapa di antara kepala desa sudah ada yang masuk penjara. Sementara
masyarakat banyak mendesak dilakukannya pemeriksaan atas penyimpangan dana
desa.
Penindakan adalah salah satu
upaya untuk memberikan efek jera terhadap kasus korupsi dana desa. Namun upaya
penindakan tanpa diikuti oleh upaya pembinaan dan pencegahan hanya akan menelan
korban-korban tak berkesudahan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisa yang
lebih mendalam tentang akar masalah yang terjdi pada pengelolaan dana desa dan
Pemerintahan Desa. Adapun beberapa point penting yang menjadi prioritas utama
adalah sebagai berikut :
Yang Pertama : pembinaan pada
awal masa jabatan. Sebagaimana kita ketahui bahwa persyaratan untuk menjadi
kepala desa, perangkat desa, BPD dan BUMDes hanya mensyaratkan pendidikan
tamatan SMU sederajat. Belum lagi kita membahas tamatan pada tahun berapa. Oleh
karena itu dari sisi regulasi sendiri sudah memunculkan masalah awal yaitu
kendala SDM. Kendala ini dapat ditutupi dengan kewajiban untuk mengikuti
pembinaan awal masa jabatan berbentuk bimbingan teknis kepada kepala desa,
perangkat desa, BPD dan BUMDes dengan payung hukum Permendagri nomor 82 tahun
2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa pasal 6 dan 7, Permendagri
nomor 110 tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa pasal 18, Permendagri
nomor 83 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa pasal
11 dan Permendesa nomor 4 tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan
Pengelolaan dan Pembubaran BUMDes pasal 32. Namun kenyataannya banyak di antara
pemerintah kabupaten/kota tidak melaksanakan bimbingan teknis di awal masa
jabatan ini. Sehingga pemerintahan desa tidak tahu harus berbuat apa dalam
menjalankan pemerintahannya dan terjadi ketergantungan pada pihak-pihak
tertentu yang memasang tarif tinggi untuk mempersiapkan berkas administrasi dan
teknis Pemerintahan Desa. Keberadaan oknum-oknum ini melakukan upaya pembodohan
dan membiarkan Pemerintahan Desa dalam ketidaktahuannya menjalankan fungsi
administrasi dan teknis. Oleh karena itu, harus ada upaya paksa dari instansi
yang lebih tinggi baik Kementerian maupun BPK untuk mendata dan memaksa pemerintah
kabupaten/kota untuk segera melaksanakan pembinaan dan bimbingan teknis kepada
kepala desa, perangkat desa, BPD dan BUMdes yang belum mengikuti pembinaan
bimtek awal masa jabatan.
Yang kedua : transparansi
penggunaan anggaran. Transparansi identik dengan metode pertanggungjawaban.
Kepala desa dalam mempergunakan anggaran dan menjalankan pemerintahan desa
wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
bupati/walikota, BPD serta mempublikasikannya ke masyarakat secara tertulis. Namun
pada kenyataannya banyak kepala desa yang hanya menyampaikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa hanya kepada bupati/walikota saja. Tidak
menyampaikan kepada BPD dan tidak mempublikasikan kepada masyarakat. Kewajiban
pelaporan ini memiliki payung hukum UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa pasal
27. Hal ini terutama didasari oleh ketidaktahuan. Dan ketidaktahuan ini
menyebabkan terjadinya ketertutupan akses informasi pelaksanaan pemerintahan
desa oleh BPD dan masyarakat itu sendiri. Ketidaktahuan ini berjalan tahun demi
tahun dan terus dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan
penyimpangan berjalan terus karena masyarakat tidak bisa mengakses informasi
pelaksanaan dan pertanggung jawaban dana desa. Oleh karena itu maka perlu
dilakukan gerakan penyadaran kepada BPD dan masyarakat bahwa mereka berhak
untuk mendapatkan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa setiap akhir tahun.
Dan perlu upaya paksa terhadap kepala desa agar melaporkan penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada BPD dan masyarakat. Upaya paksa ini dengan menerapkan
teguran lisan, teguran tulisan, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap
apabila kewajiban pelaporan ini tidak dijalankan. Hal ini memiliki payung hukum UU nomor 6 tahun
2014 tentang Desa pasal 28. Sehingga transparansi penggunaan anggaran bisa
mencegah terjadinya penyimpangan anggaran.
Yang ketiga : perangkat desa dan
staf desa. Sebagai sebuah pemerintahan maka Pemerintah Desa memiliki struktur
kepengurusan desa yang standarnya terdiri dari kepala desa, sekretaris desa,
kepala urusan (teknis), kepala seksi (administrasi) dan kepala kewilayahan. Masing-masing
kepala urusan, kepala seksi dan kepala wilayah bisa mengangkat 1 orang staf
sesuai kebutuhannya. Seharusnya pemilihan perangkat desa ini melalui mekanisme penjaringan
calon perangkat desa melalui sebuah tim seleksi dengan payung hukum Permendagri
nomor 83 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa pasal
4. Namun realita di lapangan banyak terjadi pemilihan perangkat desa hanya
dilakukan oleh kepala desa bersama orang-orang dekatnya sehingga terindikasi
KKN. Keadaan ini diperparah di mana perangkat desa hanya terdiri dari pejabat
desa saja tidak memiliki unsur staf. Akibatnya semua proses administrasi dan
teknis menjadi tergantung pada pihak luar yang memanfaatkan situasi dengan
memasang tarif tinggi atas pemenuhan berkas administrasi dan teknis tersebut. Oleh
karena itu perlu upaya paksa agar penyusunan perangkat desa dilakukan selektif
melalui sebuah panitia seleksi dan masing-masing jabatan memiliki unsur staf
sebagai pelaksana administrasi dan teknis pemerintahan desa. Khusus untuk masalah
teknis, di samping dibantu oleh pendamping lokal desa, kepala desa juga bisa
mengangkat Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa untuk membantu di bidang teknis
seperti pembangunan infrastruktur, sarana kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
ekonomi produksi dan lingkungan hidup dengan payung hukum Permendesa nomor 3
tahun 2015 tentang Pendampingan Desa pasal 4, 9, 18, 19. Pemilihan Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa ini melalui Musyawarah Desa.
Yang keempat : kelembagaan Badan
Permusyawaratan Desa. Keanggotaan BPD berjumlah minimal 5 orang dan maksimal 9
orang dengan mempertimbangkan keterwakilan wilayah desa, keterwakilan perempuan
dan jumlah penduduk. BPD merupakan lembaga perwakilan masyarakat tingkat desa.
Seharusnya semua permasalahan di tingkat desa, termasuk sikap ketidakpuasan
masyarakat terhadap pelaksanaan pemerintahan desa ditampung aspirasinya oleh BPD
dengan payung hukum UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pasal 63 dan Permendagri
nomor 110 tahun 2016 pasal 31 dan 32. BPD berhak memanggil kepala desa untuk
dimintai keterangan atas suatu masalah tertentu yang diadukan oleh masyarakat
dan dapat membentuk forum Musyawarah Desa untuk membahas masalah strategis
termasuk membahas pengaduan masyarakat. Juga untuk membahas kerjasama dengan
pihak luar desa. BPD juga wajib meminta laporan keterangan penyelenggaraan
pemerintahan desa dan pembangunan desa kepada kepala desa setiap akhir tahun
anggaran dengan payung hukum UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pasal 61. Juga
mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan tugas kepala desa dengan payung hukum Permendagri
nomor 110 tahun 2016 pasal 52. Yang terjadi di lapangan banyak terjadi anggota BPD
yang semula hanya 5 orang di kemudian hari ada yang mengundurkan diri dan tidak
langsung digantikan tapi dibiarkan begitu saja sehingga produk hukum dari BPD
menjadi diragukan. Demikian juga tentang masyarakat yang mengadukan masalah
desa justru bukan ke BPD tapi ke pihak lain.
Yang kelima : penghasilan tetap
kepala desa dan perangkat desa. Akibat beragamnya sistem penggajian yang
diterapkan antar desa maka pemerintah pusat menerbitkan PP Nomor 11 tahun 2019
tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Di peraturan ini
diatur secara langsung besaran penghasilan tetap kepala desa, sekretaris desa
dan perangkat desa paling lambat terhitung januari 2020. Namun kenyataannya
masih banyak pemerintah desa tidak mengetahui peraturan ini sehingga masih
menerapkan penggajian yang lama.
Demikian 5 prioritas penanganan
masalah pemerintahan desa di antara banyaknya macam masalah yang muncul di
desa. Tentunya masalah ini menjadi tanggung jawab utama kita semua terutama pemerintah
kabupaten/kota sebagai penanggungjawab pembinaan. Dalam hal ini menjadi penting
untuk membentuk suatu sistem informasi desa dan sistem pengembangan kawasan
permukiman desa secara terpadu seIndonesia sehingga bisa diakses oleh
masyarakat dan para pihak yang berkepentingan.
Mudah-mudahan dengan penanganan 5 masalah ini bisa menimbulkan bola
salju perbaikan pembangunan desa.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
15 februari 2020.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar