(Materi yang sama dimuat pada www.birokratmenulis.org pada link http://birokratmenulis.org/menggagas-pilkada-serentak-online-2020/).
Pemilihan
kepala daerah secara langsung oleh penduduk daerah yang secara administratif merupakan
penduduk pada suatu daerah dan telah memenuhi syarat menjadi pemilih. Kepala
daerah yang akan dipilih meliputi gubernur, bupati dan walikota beserta
wakilnya. Sebelum tahun 2005 kepala daerah dan wakilnya dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di setiap daerah. Sejak diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka dimulailah
era pemilihan langsung kepala daerah oleh rakyat.
Pilkada
diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan diawasi oleh Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Daerah. Calon kepala daerah dan wakilnya
diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik atau calon
perseorangan. Mulai tahun 2015 disepakati dilaksanakan pilkada secara serentak.
Pada tahun 2020 pilkada serentak seharusnya dilaksanakan pada 23 September 2020
ditunda menjadi 9 Desember 2020. Pandemi Covid-19 menjadi pertimbangan utama
penjadwalan ulang tersebut. Jumlah daerah yang akan melaksanakan pilkada
serentak sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37
kota. KPU harus menyusun protokol kesehatan untuk mengantisipasi covid-19 pada
pilkada serentak desember 2020 tersebut.
Sebagaimana
yang telah dialami oleh dunia pendidikan dan dunia birokrasi di mana sekolah
dilaksanakan secara online dari rumah para siswa belajar secara online dan para
guru mengajar secara online. Perkantoran pemerintahan pun telah melaksanakan
work from house di mana pekerjaan dikerjakan dari rumah melalui media sosial
dan internet. Bagaimana dengan pilkada ? Bisakah pilkada dilakukan secara
online ? Bukankah teknologi informasi sudah sedemikian mudah untuk merubah
kerja manual menjadi online dan otomatisasi data ?
Sebagian
tahapan pilkada sudah disepakati secara online seperti prosesi pelantikan
struktur organisasi dan bimtek online. Bagaimana dengan kampanye, pemungutan
suara, perhitungan suara dan audit ? Seberapa berani Pemerintah akan
melaksanakannya secara online ?
Data
pemilih bisa mempergunakan basis data kependudukan online di mana data
kependudukan elektronik yang menghasilkan KTP elektronik dipadukan dengan data
hasil sensus penduduk tahun 2020 bisa menjadi data utama untuk mewujudkan pilkada
elektronik. Terhadap masih adanya penduduk yang belum terdata baik pada data
kependudukan elektronik maupun oleh sensus penduduk tahun 2020 ini membutuhkan
kerja keras seluruh pihak terutama para pejabat struktur wilayah seperti lurah,
kepala desa, kepala RT/RW, kepala dusun dan kepala lingkungan untuk mendata
secara langsung penduduk yang belum masuk pada data kependudukan online.
Dengan
basis data kependudukan online tersebut diharapkan terkumpul data nomor HP,
nomor WA, alamat email, alamat facebook, alamat twitter dan media sosial lainnya
sebagai sarana utama dalam mewujudkan kampanye online. Kita hapuskan saja
kampanye manual karena di samping membahayakan karena rawan penularan covid-19
juga sangat boros dalam pendanaan serta efektifitasnya sangat kurang dalam memperkenalkan
figur calon kepala daerah serta visi missinya. Kampanye manual lebih cenderung
pada hura-hura dan musik untuk pengumpulan massanya. Dengan proses pemilahan
data pada media sosial maka kampanye online seharusnya bisa dilakukan lewat
media sosial yang sudah sangat familier di semua lapisan masyarakat mulai dari
sms, WA, facebook, twitter, instagram dan media sosial lainnya. Tentunya tidak
semua pemilih akan membaca dan mengamati kampanye online ini. Sama saja dengan
kampanye manual toh tidak semua pemilih perduli dan menghadirinya.
Selanjutnya
dengan basis data kependudukan online tersebut diharapkan KPU bisa bekerjasama
dengan Kemristek, LIPI dan lembaga riset perguruan tinggi dalam menyusun
program IT untuk pelaksanaan e-voting/pemungutan suara online dan
e-counting/perhitungan suara online. Akan lebih efisien baik dari segi dana
maupun gejolak sosial.
Untuk
transparansi maka masing-masing calon kepala daerah melakukan audit terhadap
hasil perhitungan suara online tersebut melalui ahli IT yang ditugaskannya.
Bawaslu juga menugaskan tim IT untuk mengaudit hasil perhitungan suara online
tersebut.
Untuk
mengantisipasi politik uang maka tim kampanye yang dibentuk cukup di tingkat
kecamatan saja dan jumlahnya dibatasi. Tidak perlu ada tim kampanye yang lebih
rendah dari tingkat kecamatan. Pembentukan relawan-relawan juga tidak perlu
karena rawan disalahgunakan sebagai ujung tombak politik uang. Perlu ketegasan
penegakan hukum terhadap calon kepala daerah yang masih memiliki niat dan
terbukti melakukan politik uang untuk diberikan sangsi tegas berupa
diskualifikasi dan sangsi pidana. Pengerahan aparat keamanan secara
besar-besaran sangat penting untuk dilakukan untuk mengawasi pilkada tanpa
politik uang ini.
Ide
pilkada online ini merupakan terobosan penting dalam dunia politik kita dan
sebagai penyesuaian atas kondisi lingkungan yang sedang menghadapi pandemi
covid-19. Terobosan ini juga akan menghemat anggaran serta meminimalisir
potensi konflik sosial. Mudah-mudahan Pemerintah terketuk pintu hatinya untuk
melaksanakannya.
Semoga.
Rahmad
Daulay
30
Mei 2020.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar