Sabtu, 12 Desember 2020

Refleksi Pilkada 2020 dan Harapan Realisasi Pilkada Modern Berbasis IT

(Materi yang sama dimuat pada website www.birokratmenulis.org pada link https://birokratmenulis.org/refleksi-pilkada-2020-harapan-pilkada-modern-berbasis-it/)

Hari Rabu tanggal 9 Desember 2020 telah dilaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah dengan rincian 9 propinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Tidak ada terdengar adanya keributan dan semuanya berjalan dengan aman. Masyarakat sudah semakin tertib dan saling menghormati pilihan masing-masing tanpa ada indikasi profokatif terhadap gangguan keamanan. Masih ada beberapa tahapan lagi yang harus dilalui berupa perhitungan suara, rekapitulasi suara, penetapan hasil pilkada, penetapan pasangan calon terpilih, sengketa pilkada dan putusan sengketa pilkada.

Banyak hal yang harus menjadi catatan penting sebagai evaluasi dan bahan perbaikan terhadap pelaksanaan pilkada selanjutnya. Saya sendiri menyoroti 3 aspek besar yaitu biaya, modernisasi dan netralitas birokrasi.

Faktor biaya masih menjadi benang kusut dan noda hitam pilkada. Calon kepala daerah harus membiayai mulai dari biaya dukungan partai politik sampai pada biaya sengketa pilkada ke MK. Tapi biaya bukan hanya dihitung atas beban biaya oleh calon kepala daerah saja tapi juga biaya oleh penyelenggara (KPUD dan Bawaslu), logistik (pencetakan, distribusi dan pengumpulan kembali) serta kerugian ekonomi pemilih akibat kehilangan waktu beberapa jam untuk antri di TPS karena harus meninggalkan usahanya.  

Calon kepala daerah harus menanggung biaya untuk mendapatkan dukungan partai politik mulai dari tingkat kabupaten/kota, propinsi dan pengurus pusat partai. Hanya ada sedikit partai yang memberikan kewenangan penuh kepada pengurus daerah setempat untuk menetapkan calon partainya. Setelah itu calon kepala daerah harus membentuk tim sukses dan relawan pendukung sampai ke tingkat desa yang jumlahnya bisa mencapai ribuan relawan. Harus mendirikan posko pemenangan di banyak tempat. Biaya operasional setiap tim sukses dan relawan di semua posko pemenangan.

Kurangnya ketokohan dari calon kepala daerah dan minimnya akses informasi serta kesadaran politik rakyat serta kondisi ekonomi membuat politik uang menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh kedua belah pihak yaitu pihak calon kepala daerah dan pemilih. Politik uang adalah sesuatu yang sangat dibenci sekaligus dirindukan. Politik uang merupakan komponen biaya paling besar yang harus dikeluarkan. Biaya ini harus ditambah lagi dengan biaya disribusi di mana politik uang ini juga membutuhkan jaringan yang tidak sedikit untuk pendistribusian. Jaringan ini bisa berjumlah ratusan sampai ribuan orang juga. Dan anehnya politik uang ini tanpa garansi. Bisa saja pemilih memperoleh uang tidak dari satu calon saja tapi dari beberapa calon kontestan pilkada. Juga tidak ada jaminan jaringan distribusi tidak mengalami penyimpangan.

Pada waktu pelaksanaan pemilihan para calon kepala daerah kembali dihadapkan pada beban biaya honorarium saksi di semua TPS, saksi tingkat kecamatan dan seterusnya. Honorarium ini belum mengakomodir biaya makan dan akomodasi lainnya. Kurangnya honorarium dan akomodasi bisa menyebabkan berkurangnya kesetiaan sang saksi.

Ketika penetapan dan pengumuman hasil pilkada tidak memuaskan kembali calon kepala daerah harus membiayai sengketa pilkada ke MK.

Dengan berbagai asumsi di atas diperkirakan calon kepala daerah harus mengeluarkan biaya puluhan sampai ratusan milyar untuk pilkada bupati/walikota dan bisa trilyunan untuk pemilihan gubernur. Tidak ada data yang pasti tentang biya politik pilkada ini. Juga tidak menutup kemungkinan ada juga calon kepala daerah yang bisa menghemat biayanya hanya pada kisaran puluhan juta dan bisa memenangkan pilkada namun jumlah ini sangatlah kecil jumlahnya.

KPUD dan Bawaslu serta logistik pilkada juga merupakan beban biaya tersendiri. Diperkirakan biaya ini menghabiskan sekitar 20 trilyun untuk pilkada 2020. Bila diasumsikan biaya masing-masing kontestan pilkada bupati/walikota sebesar 25 M percalon dan asumsi setiap daerah ada 3 calon maka diasumsikan menghabiskan biaya 20,25 trilyun. Sehingga total biaya keseluruhan baik di pihak penyelenggaran, pengawasan dan kontestan pilkada bisa mencapai 45 trilyun. Angka ini hanya asumsi saja namun asumsi ini sudah memberi gambaran betapa mahalnya biaya politik pilkada dengan model pelaksanaan konvnsional seperti sekarang ini.

Dengan uraian singkat di atas maka perlu kiranya kita memikirkan alternatif pilkada yang lebih efisien pembiayaannya dan ini bisa kita realisasikan dengan melaksanakan pilkada modern berbasis IT. Beberapa tahapan pilkada 2020 sudah menerapkannya dan ini perlu kita perkuat lagi menuju pilkada modern berbasis IT. Sebagian besar rakyat sudah berkecimpung dengan media sosial online baik untuk akses informasi berita, aktifitas sosial, bisnis, hiburan dan operasional organisasi. Hampir semua kelompok umur sudah akrab dengan media sosial online. Hampir semua daerah sudah memiliki fasilitas IT. Semua tahapan pilkada bisa dilaksanakan secara online mulai dari rekrutmen calon kepala daerah oleh partai politik di semua tingkatan, rekrutmen tim sukses dan relawan, kampanye, pemilihan, perhitungan, rekapitulasi suara dan sengketa pilkada semuanya bisa dilaksanakan secara online.

Akan ada beberapa kendala yang timbul seperti data kependudukan/eKTP yang belum maksimal sebagai data tunggal kependudukan dan ini bisa segera diselesaikan dengan struktur birokrasi terendah seperti kepala desa, perangkat desa, kepala wilayah (RT, RW, kepala lingkungan, kepala dusun dll) untuk mendata ulang penduduk yang belum masuk dalam data kependudukan elektronik sekaligus mengurus eKTPnya. Kendala daerah yang belum dijangkau akses internet dan ini harus segera dituntaskan dengan perluasan jaringan internet atau dengan membangun jaringan internet sementara berbasis satelit. Kendala pemilih yang tidak memiliki fasilitas dan ini bisa diselesaikan dengan membentuk TPS online yang fasilitasnya disediakan atau memakai fasilitas milik keluarga yang terdekat atau teman terdekat atau tetangga terdekat.

Mengingat akternatif pilkada modern berbasis IT ini akan membutuhkan SDM yang harus menguasai IT dan lepas dari kepentingan dan intervensi politik maka penyelenggara KPUD dan Bawaslu harus didukung oleh gabungan perguruan tinggi nasional yang memiliki integritas tinggi sebagai pengelola IT dan harus menanggungjawabi keamanan IT dari semua upaya dan serangan untuk mengkacaukan data. Keterlibatan perguruan tinggi nasonal ini untuk meningkatkan kepercayaan publik akan pengelolaan data suara yang handal dan lepas dari intervensi kepentingan politik dan penyalahgunaan data. Untuk menambah kepercayaan publik maka hasil pilkada modern berbasis IT ini harus diaudit oleh masing-masing tim IT calon kepala derah dan tim independen yang peduli pada kesuksesan pilkada modern berbasis IT.

Namun pilkada modern berbasis IT ini belum bisa menjawab tentang tingginya biaya politik uang. Harus ada strategi lain yang ditempuh, misalnya regulasi tentang pembatasan transaksi uang tunai perbankan, pembatasan jumlah tim kampanye dan relawan serta operasi inteligen terhadap upaya politik uang tapi dalam bentuk inteligen pencegahan. Terhadap calon kepala daerah yang tetap berupaya memaksakan politik uang diterapkan sangsi yang tegas. Pemberlakuan jam malam juga bisa jadi alternatif mencegah politik uang.

Pilkada modern berbasis IT ini juga belum bisa menjawab tentang tingginya biaya untuk mendapatkan dukungan politik partai pendukung. Harus ada strategi sistemik yang harus ditempuh seperti regulasi tentang otonomi partai di semua tingkatan untuk menetapkan calon kepala daerah yang didukung tanpa perlu campur tangan struktur partai yang lebih tinggi. Juga dengan memperbanyak jumlah calon independen, jangan hanya 1 calon independen. Bila perlu membuat regulasi minimal 3 calon independen. Semakan banyak calon kepala daerah memberikan pilihan yang lebih banyak pada rakyat.

Pilkada modern berbasis IT ini juga belum bisa menjawab netralitas birokrasi sampai ke tingkat desa. Birokrasi sangat rentan terhadap intervensi calon petahana atau intervensi kepala daerah kepada calon tertentu. Oleh karena itu regulasi tentang cuti kepala daerah jangan hanya diberlakukan terhadap kepala daerah yang ikut dalam pilkada namun cuti ini harus diberlakukan kepada semua kepala daerah yang daerahnya melaksanakan pilkada. Waktu cuti diperpanjang bukan hanya pada saat  kampanye tapi meliputi seluruh tahapan pilkada mulai dari penatapan calon kepala daerah sampai pada penetapan pemenang pilkada termasuk penetapan hasil sengketa pilkada. Netralitas birokrasi ini penting agar terjadi persaingan yang seimbang antar kontestan pilkada dan menjaga agar struktur dan anggaran birokrasi sampai ke tingkat desa tidak dipergunakan untuk kepentingan calon kepala daerah.

Uraian singkat di atas bisa menjadi dasar pemikiran untuk melaksanakan pilkada modern berbasis IT yang lebih efisien biaya, tingkat kepercayaan yang tinggi, netralitas birokrasi dan yang paling penting adalah membuka peluang selebar-lebarnya kepada calon kepala daerah yang berkualitas namun minim pendanaan untuk ikut serta berpartisipasi dalam kontestasi pilkada dan memiliki peluang menjadi pemenang pilkada. Tujuan mulia pilkada untk meningkatkan kesejahteraan rakyat hanya bisa dicapai apabila pemenang pilkada memiliki kualitas SDM yang tinggi dan berbiaya rendah. Dengan demikian pilkada sebagai instrumen demokrasi menuju Indonesia yang kita cita-citakan akan berhasil dengan baik.

Pilkada sehat, negara kuat.

Salam reformasi.

 Rahmad Daulay

12-12-2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar