Kamis, 24 April 2014

Estetika Penambalan Jalan Berlubang



Kala itu saya sedang melaju di jalanan dalam perjalanan antar kabupaten melewati jalan lintas tengah Sumatra. Ketika melewati salah satu ruas jalan, terlihat beberapa alat berat ukuran kecil sedang beroperasi untuk melakukan pemeliharaan jalan berupa penambalan jalan berlubang. Sesaat saya membayangkan sebuah profesionalisme kerja mengingat jalan lintas tengah Sumatra adalah jalan nasional yang merupakan jalan di bawah pengelolaan Kementrian PU. Namun bayangan saya tentang profesionalisme kerja tersebut buyar seketika ketika kenderaan yang kami naiki bergoncang, ternyata goncangan diakibatkan melewati tambalan jalan. Terlihat permukaan jalan bopeng-bopeng, diperparah oleh tambalan jalan yang tidak datar dengan permukaan jalan semula. Saya mencoba menerka kira-kira berapa perbedaan ketebalan antara jalan semula dengan tambalan jalan, semula saya kurang percaya, namun setelah berjalan beberapa ratus meter, ternyata kondisinya hampir sama, saya perkirakan perbedaan ketebalan antara jalan semula dengan tambalan jalan kira-kira 1 cm atau kerang lebih sedikit. Ditambah dengan tambalan jalan yang kurang landai pinggirannya sehingga apabila dilewati kenderaan dengan laju kecepatan sedang maka kenderaan akan berguncang dan ban kenderaan akan melayang sekitar 1 atau 2 detik. Tentu guncangan ini di samping mengganggu kenyamanan berkendara juga mengganggu kenyamanan bernegara. Mengapa demikian ? Karena nama besar jalan lintas tengah Sumatra dan Kementrian PU sebagai pengelolanya menjadi terganggu akibat bentuk dan tambalan jalan yang kurang baik.


Saya sendiri bukan sarjana teknis sipil, namun saya menilai penambalan jalan tersebut tidak sesuai dengan kaidah keteknikan. Tentunya pemadatan antara material aspal sebelum dan sesudah digilas dengan mesin gilas memiliki koefisien. Namun secara kasat mata, seharusnya produk penambalan jalan bisa disiasati secara sederhana tanpa harus pusing-pusing dengan koefisien pemadatan. Dengan modal sebilah kayu lurus dan kaki di ujungnya bisa dijadikan alat pengatur ketebalan awal material aspal dan apabila digilas akan menjadi padat kira-kira datar dengan jalan semula. Bisa saja diujicoba berapa ketebalan material awal diperbandingkan dengan kondisi permukaan pasca penggilasan. Saya memprediksi apabila ketebalan material awal berbeda kira-kira 1 cm dengan permukaan jalan semula dan apabila digilas akan memiliki permukaan yang hampir lurus dengan permukaan jalan semula.

Di sini diperlukan seni dan estetika dalam pekerjaan keteknikan.

Selain faktor pengerjaan, faktor kualitas material aspal juga perlu untuk dievaluasi. Beberapa ruas jalan nasional yang dikerjakan oleh perusahaan bonafid ternyata kualitasnya selama masa umur bangunan ternyata sudah memerlukan pemeliharaan dan perawatan. Di sini faktor kualitas material aspal sudah harus menjadi perhatian serius. Sudah waktunya Kementrian PU berkoordinasi dengan seluruh Dinas PU untuk mengevaluasi dan mengkaji pentingnya penerapan sertifikasi produk aspal berupa SNI atau produk sertifikasi lainnya. Sehingga antara bonafiditas perusahaan, kualitas pengerjaan apabila didukung dengan material berkualitas bersertifikat akan menghasilkan produk konstruksi yang berkualitas juga.

Namun walau didukung oleh semua kondisi di atas, tetap saja akan terjadi kegagalan bangunan oleh berbagai faktor dan sebab. Proses penggunaan konstruksi yang apabila tidak didukung dengan perawatan dan pemeliharaan yang memadai akan menimbulkan benih-benih kerusakan kecil yang apabila dibiarkan bisa berakibat terjadinya kegagalan bangunan. Faktor umur bangunan dan kegagalan bangunan belum sepenuhnya menjadi dasar dalam menilai sebuah kasus kerusakan konstruksi. Di sini diperlukan penilaian dari semua sudut dalam menilai sebuah kerusakan konstruksi, jangan hanya dari sisi pidana saja. Oleh karena itu UU Jasa Konstruksi harus diterapkan secara konsisten di mana faktor umur dan kegagalan bangunan harus dinilai oleh tim penilai ahli persertifikat. Sementara keberadaan dan jumlah SDM yang memiliki sertifikat ahli penilai kegagalan bangunan masih sangat minim jumlahnya. Oleh karena itu Kementrian PU dan LPJK sebagai instansi tertinggi pembina jasa konstruksi harus memacu dan mempercepat penambahan jumlah SDM penilai ahli bersertifikat minimal 3 orang perkabupaten/kota. Hal ini tentunya bukan masalah karena negeri ini memiliki sarjana terknik sipil terbanyak di dunia.

Keberadaan SDM ahli penilai kegagalan bangunan di setiap daerah selain untuk menangani kasus kegagalan bangunan juga bisa mencegah terjadinya kegagalan bangunan dalam bentuk pembinaan menyeluruh terhadap seluruh aktor pekerjaan konstruksi baik itu pimpro, perusahaan, tenaga ahli dan tenaga trampil yang menjadi ujung tombak pekerjaan konstruksi.

Konstruksi sehat negara kuat.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

24 april 2014.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar