Rabu, 16 April 2014

Pilpres 2014 dan Zaken Kabinet



Berselang 1 hari setelah pelaksanaan pemilu legislatif disusul dengan hasil quick count pada malam harinya yang menghasilkan 3 partai yang memperoleh suara di atas 10 % hari-hari kita disibukkan oleh berita ramainya safari politik dan silaturrahmi politik yang dilakukan oleh tokoh-tokoh partai. Hal ini sebagai penjajakan untuk rencana koalisi menuju pemilu presiden. Bila memakai hasil quick count maka diperkirakan maksimal 4 poros koalisi. Diperkirakan keempat poros tersebut meliputi poros pendukung Jokowi, ARB, Prabowo dan dari partai Islam.

Bila kita berkaca dari masa lalu di mana kabinet disusun bukan berdasarkan presidensial murni dengan kata lain campuran antara kabinet presidensial dan parlementer di mana presiden menyusun kabinet dengan mengakomodir perwakilan partai koalisi. Salah satu tujuan kabinet koalisi adalah untuk pengamanan di parlemen. Namun pengalaman menunjukkan bahwa koalisi kabinet ternyata tidak linear dengan koalisi parlemen. Dalam beberapa kasus justru anggota koalisi menjadi oposisi di parlemen, sementara partai oposisi menjadi koalisi di parlemen. Artinya tujuan kabinet koalisi ternyata tidak efektif sepenuhnya di parlemen. Pengalaman lain menunjukkan bahwa koordinasi antar menteri sedikit banyaknya dipengaruhi hubungan antar partai. Koordinasi yang seharusnya terwujud di kabinet ternyata menunjukkan hal lain di mana sering terjadi ketidakkompakan antar menteri. Tentu ini selain membuat repot presiden juga akan mengorbankan kepentingan rakyat karena kerja kabinet menjadi tidak maksimal.


Nah, dari uraian singkat di atas saya melihat safari dan silaturrahmi politik yang sedang berjalan bila tujuannya untuk membuat kabinet koalisi maka hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan pengalaman kabinet sebelumnya. Oleh karena itu perlu kiranya keberadaan kabinet koalisi dipikirkan kembali keberadaannya. Perlu dilakukan opini pembentukan zaken kabinet atau kabinet profesional dengan meminimalkan unsur koalisi dalam kabinet. Hal ini bisa terjadi apabila poros koalisi berjumlah banyak sehingga memunculkan calon presiden yang banyak, dalam hal ini poros koalisi bisa berjumlah 4 poros dan akan mengajukan 4 pasangan capres/cawapres. Poros manapun yang menang nantinya akan menghasilkan politik balas jasa dan bagi kursi menteri dalam jumlah sedikit. Misalnya jumlah menteri nantinya 30 orang maka menteri koalisi cukup 10 menteri sedangkan 20 menteri lagi dari profesional dan pakar di bidangnya sehingga kabinet bisa dominan zaken kabinet. Defenisi menteri profesional ini harus dipertegas di mana menteri profesional tidak harus menteri nonpartai tapi bisa dari partai manapun, bahkan bisa dari partai yang menyatakan diri oposisi karena semua partai memiliki orang-orang kelas berat yang tidak diragukan lagi kadar keprofesionalan dan kadar kenegarawanannya. Artinya bila menteri koalisi diajukan partai untuk dipilih presiden maka menteri profesional apabila berasal dari partai bukan partai mengajukan nama tapi presiden dalam posisi sangat bebas memilih orang partai yang profesional masuk dalam kabinetnya.

Satu hal lagi yang perlu dipikirkan adalah totalitas kerja menteri dalam kabinet. Sulit untuk diterima akal sehat apabila seorang menteri tidak sibuk dan punya waktu banyak untuk mengurusi yang lain seperti partai misalnya. Maka kabinet mendatang harus mengedepankan totalitas kerja di mana apabila menteri dari partai ternyata adalah pejabat di partai maka jabatan di partainya harus dilepaskan demi konsentrasi dalam totalias kerjanya. Orang partai yang menjadi menteri dimutasi saja ke posisi dewan pembina atau bentuk lainya.

Bagaimanapun juga kondisi kabinet masa lalu harus dijadikan pelajaran berharga untuk bangsa ini. Pelaksanaan pemilu legislatif yang masih menunjukkan kekurangan di sana sini juga harus diambil pelajaran ke depan. Pelajaran paling menarik adalah bagaimana mungkin bisa terjadi coblos masal dan masuk dalam berita media elektronik. Saya sendiri berharap penyempurnaan e-KTP bisa menjadi basis data untuk penerapan e-voting pada pemilu serentak pileg/pilpres tahun 2019 nantinya. E-voting akan jauh lebih murah, akuntabilitas tinggi dan meniadakan kecurangan di berbagai tahapan perhitungan. Perkara rakyat yang dikhawatirkan tidak melek teknologi itu bukan alasan karena rata-rata rakyat sudah terbiasa dengan HP, televisi dan internet. Bahkan orang tuapun sudah banyak yang menjadi aktifis warnet main game anak-anak.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

16 april 2014.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar