Senin, 28 April 2014

Tewasnya Mahasiswa STIP : Potret Buram Pendidikan Kita



Korban kekerasan masih menghiasi dunia pendidikan nasional. Belum hilang ingatan kita tentang kekerasan pada saat ospek di salah satu perguruan tinggi teknik di Jawa Timur di penghujung tahun 2013 yang menewaskan salah satu peserta ospek. Kini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pada salah satu perguruan tinggi kedinasan di bawah Kementrian Perhubungan terjadi lagi mahasiswa tewas akibat kekerasan para seniornya.

Bagaimanapun harus ada yang bertanggung jawab terhadap ini semua. Secara teknis operasional maka seniornya yang telah menyebabkan juniornya tewas harus mendapat hukuman yang setimpal. Namun secara institusional juga harus ada yang bertanggungjawab. STIP sebagai sebuah institusi pendidikan yang dipimpin oleh seorang rektor. Saya tidak tahu apakah saya yang kurang informasi atau tidak namun sampai saat ini saya belum melihat ada statement resmi dari rektor apakah itu sebagai sebuah penyesalan atas kejadian, permintaan maaf atau bahkan sebuah pengunduran diri sebagai bentuk tanggung jawab institusi. Saya melihat bahwa tindakan kekerasan para senior terhadap junior merupakan sebuah atmosfer yang berkembang pada kampus tersebut dan iklim ini walaupun tidak ada restu secara resmi dari pihak penguasa kampus namun berkembangnya tradisi kekerasan ini tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pimpinan kampus. Apalagi apabila tradisi ini pada akhirnya melanggar HAM yaitu hak untuk hidup dengan layak secara kemanusiaan, baik secara langsung maupun tidak langsung rektor harus menunjukkan tanggung jawab. Memang mengundurkan diri bukan penyelesaian masalah dan tidak sebanding dengan tewasnya mahasiswa namun sebagai sebuah wujud tanggung jawab dan untuk edukasi moral maka pengunduran diri rektor menjadi sebuah keharusan. Rektor tidak boleh berlindung di balik alasan bahwa kejadian ini di luar kendali kampus dan hanya sekedar kecelakaan. Mengingat STIP sebagai sebuah perguruan tinggi kedinasan di bawah Kementrian Perhubungan maka sikap dan pernyataan resmi Menteri Perhubungan sangat dinantikan masyarakat luas terutama para pemerhati pendidikan.


Pada saat yang bersamaan kita dipertontonkan bagaimana seorang Perdana Menteri Korea Selatan menunjukkan rasa tanggung jawabnya atas tenggelamnya sebuah kapal feri yang menyebabkan ratusan korban meninggal dengan cara mengundurkan diri. Tentu rakyat akan membandingkan sikap ksatria seorang Perdana Menteri Korea Selatan dengan para petinggi di negeri ini. Seharusnya Presiden menegur Menteri Perhubungan dan memerintahkan pencopotan rektor. Pencopotan rektor ini penting agar rektor selanjutnya melakukan evaluasi menyeluruh dan menjamin kejadian serupa tidak akan terjadi lagi.

Tidak mudah mengurai akar permasalahan tradisi kekerasan di kampus baik kampus kedinasan maupun kampus umum. Salah satu paradoks terhadap tradisi kekerasan ini adalah adanya kebanggaan terhadap aksi kekerasan sebagai instrumen penanaman rasa cinta kampus.

Lemahnya pengawasan pihak rektor terhadap dinamika mahasiswa serta adanya restu terselubung dari para senior ataupun alumninya membuat tradisi kekerasan menjadi terlestarikan. Mata rantai ini harus diputus. Tradisi kekerasan harus ditetapkan sebagai sebuah pelanggaran HAM dan ini harus ditanamkan kepada seluruh mahasiswa terutama kepada angkatan junior. Semangat pemberontakan melawan pelanggaran HAM harus dikobarkan. Salah satu penyebab yang harus dihilangkan adalah adanya ketergantungan dari junior kepada senior. Pola hubungan ketergantungan ini menjadi kuat karena proses pembelajaran melibatkan senior untuk mengajari junior. Seluruh pola hubungan pembelajaran harus dibuat sebagai sebuah hubungan pendidikan profesional murni. Semua unsur pendukung tradisi kekerasan baik di tingkat dosen, asisten dosen, mahasiswa yang menduduki fungsi pengajar harus dinetralkan bila perlu dilucuti wewenangnya. Terakhir bentuk pengawasan yang dikembangkan adalah melalui pola intelijen intern. Intelijen intern ini bekerja mendeteksi bibit-bibit kekerasan. Data intelijen intern ini harus didukung dengan kewenangan memberi peringatan sampai kepada ancaman pemecatan kepada senior yang mencoba menghidupkan tradisi kekerasan. Interaksi antara junior dan senior harus diminimalkan. Terutama interaksi dalam bentuk perkumpulan yang bisa memaksakan terjadinya tindak kekerasan. Apalagi apabila perkumpulan ini berbasis kedaerahan.

Di sisi lain, rektorat harus mendesain pola pembinaan kemahasiswaan yang bisa menggantikan tradisi kekerasan ini. Bagaimanapun juga pendidikan tinggi kedinasan seperti STIP adalah pendidikan tinggi berbasis profesi. Seharusnya tradisi akademik maupun tradisi kemahsiswaan yang dikembangkan adalah tradisi profesi. Iklim kekerasan seharusnya tidak ada hubungannya dengan tradisi profesi. Bila perlu seluruh junior diberi pelajaran ilmu beladiri sehingga ketika akan terjadi aksi kekerasan senior maka para junior bisa membela dirinya.

Di penghujung masa bakti sebagai pimpinan negara, tentunya tewasnya mahasiswa di perguruan tinggi milik negara menjadi kado negatif terhadap presiden. Ada baiknya Presiden mengunjungi kampus STIP, bertemu dengan semua civitas akademik terutama mahasiswa junior. Sekaligus mencopot rektor dan menunjuk pelaksana tugas rektor serta menggali masukan dan aspirasi dari seluruh mahasiswa tentang tradisi kekerasan ini dengan berdialog langsung dengan mahasiswa.

Potret buram pendidikan nasional sudah terlalu banyak. Belum terlambat bagi kita untuk membenahi semuanya. Tujuan kemerdekaan yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus diwujudkan di mana salah satunya melalui penghapusan tradisi kekerasan dalam kampus.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

28 April 2014.

***   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar