Senin, 21 Juli 2014

Ibadah Haji : Antara Sakralitas dan Rasionalitas



Berdasarkan informasi dari mbah google bahwa antrian calon haji sudah mencapai 2,2 juta orang untuk 10 tahun ke depan. Ini menarik.

Tingginya animo masyarakat untuk menunaikan ibadah haji disebabkan oleh beberapa faktor.

Faktor pertama faktor prestise. Prestise ini ditandai dengan menjadikan haji sebagai seperti gelar di mana kata haji dilekatkan di depan nama kita. Faktor prestise ini hanya khas Indonesia karena di negara lain, terutama di Arab Saudi, pencantuman kata haji di depan nama kita tidak dikenal.

Faktor kedua adalah sakralitas tempat yang akan dikunjungi. Mekkah dan Madinah merupakan tempat paling sakral bagi umat muslim karena di kedua tempat tersebut tempat beradanya Ka’bah dan makam Nabi Muhammad SAW. Sedangkan peribadatan haji sebagian besar merupakan pengulangan sebagian sejarah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Faktor ketiga adalah panggilan iman. Inilah yang sebenarnya yang sangat diharapkan.


Sakralitas haji dengan melihat tingginya animo masyarakat untuk mengamalkannya perlu dilakukan bedah kasus agar ibadah haji bisa ditempatkan pada sakralitas yang proporsional rasional dan bukan pada sakralitas yang berlebihan.

Ada beberapa cara pandang dan perilaku yang berlebihan yang bisa menyebabkan ibadah haji memiliki sakralitas yang berlebihan. Seolah-olah ibadah haji merupakan kewajiban tanpa syarat. Seolah-olah apabila tidak melaksanakan ibadah haji maka kualitas keIslamannya menjadi tidak maksimal. Padahal ibadah haji hanya diperuntukkan kepada yang mampu melaksanakannya. Mampu dalam artian mampu pisik, mampu batin, mampu hidup bagi keluarga yang ditinggalkan sementara dan mampu hidup setelah menunaikan ibadah haji. Tidak sedikit yang memaksakan beribadah haji padahal fisiknya sudah sudah tidak mampu lagi. Malah ada yang sengaja melaksanakan haji walau menyadari sudah tidak mampu secara fisik lagi dengan niatan ingin meninggal di tanah suci. Banyak yang melaksanakan ibadah haji dengan memaksakan biaya dari menjual seluruh atau sebagian hartanya padahal anak cucunya masih sangat membutuhkan biaya untuk mendukung hidupnya. Akibatnya setelah selesai berhaji maka anak cucu termasuk dirinya sendiri hidup miskin melarat. Yang lebih menyedihkan adalah berhutang demi agar bisa menunaikan ibadah haji. Yang paling parah adalah korupsi untuk biaya haji.

Di sini peranan para ulama untuk lebih proposional mendakwahkan ibadah haji sesuai poporsinya. Bahwa sesungguhnya ibadah haji sama pentingnya dengan ibadah yang lain seperti ibadah sholat, puasa dan zakat (fitrah dan mal).

Justru dakwah tentang zakat mal begitu kurang sehingga ada pemahaman keliru bahwa zakat mal bukan sesuatu yang wajib dan tidak ada dosa ketika meninggalkannya. Berhaji tapi meninggalkan zakat mal justru berpotensi haji tidak mabrur atau setengah mabrur.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

21 juli 2014

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar