Berdasarkan informasi dari mbah google bahwa antrian calon haji
sudah mencapai 2,2 juta orang untuk 10 tahun ke depan. Ini menarik.
Tingginya animo masyarakat untuk menunaikan ibadah haji disebabkan
oleh beberapa faktor.
Faktor pertama faktor prestise. Prestise ini ditandai dengan
menjadikan haji sebagai seperti gelar di mana kata haji dilekatkan di depan
nama kita. Faktor prestise ini hanya khas Indonesia karena di negara lain,
terutama di Arab Saudi, pencantuman kata haji di depan nama kita tidak dikenal.
Faktor kedua adalah sakralitas tempat yang akan dikunjungi. Mekkah
dan Madinah merupakan tempat paling sakral bagi umat muslim karena di kedua
tempat tersebut tempat beradanya Ka’bah dan makam Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
peribadatan haji sebagian besar merupakan pengulangan sebagian sejarah Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail.
Faktor ketiga adalah panggilan iman. Inilah yang sebenarnya yang
sangat diharapkan.
Sakralitas haji dengan melihat tingginya animo masyarakat untuk
mengamalkannya perlu dilakukan bedah kasus agar ibadah haji bisa ditempatkan
pada sakralitas yang proporsional rasional dan bukan pada sakralitas yang
berlebihan.
Ada beberapa cara pandang dan perilaku yang berlebihan yang bisa
menyebabkan ibadah haji memiliki sakralitas yang berlebihan. Seolah-olah ibadah
haji merupakan kewajiban tanpa syarat. Seolah-olah apabila tidak melaksanakan
ibadah haji maka kualitas keIslamannya menjadi tidak maksimal. Padahal ibadah
haji hanya diperuntukkan kepada yang mampu melaksanakannya. Mampu dalam artian
mampu pisik, mampu batin, mampu hidup bagi keluarga yang ditinggalkan sementara
dan mampu hidup setelah menunaikan ibadah haji. Tidak sedikit yang memaksakan
beribadah haji padahal fisiknya sudah sudah tidak mampu lagi. Malah ada yang
sengaja melaksanakan haji walau menyadari sudah tidak mampu secara fisik lagi
dengan niatan ingin meninggal di tanah suci. Banyak yang melaksanakan ibadah
haji dengan memaksakan biaya dari menjual seluruh atau sebagian hartanya
padahal anak cucunya masih sangat membutuhkan biaya untuk mendukung hidupnya.
Akibatnya setelah selesai berhaji maka anak cucu termasuk dirinya sendiri hidup
miskin melarat. Yang lebih menyedihkan adalah berhutang demi agar bisa
menunaikan ibadah haji. Yang paling parah adalah korupsi untuk biaya haji.
Di sini peranan para ulama untuk lebih proposional mendakwahkan
ibadah haji sesuai poporsinya. Bahwa sesungguhnya ibadah haji sama pentingnya
dengan ibadah yang lain seperti ibadah sholat, puasa dan zakat (fitrah dan
mal).
Justru dakwah tentang zakat mal begitu kurang sehingga ada
pemahaman keliru bahwa zakat mal bukan sesuatu yang wajib dan tidak ada dosa
ketika meninggalkannya. Berhaji tapi meninggalkan zakat mal justru berpotensi
haji tidak mabrur atau setengah mabrur.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
21 juli 2014
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar