Setelah hampir 2 tahun pasca
penerbitan UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan dikaitkan
dengan 15 tahun perjalanan otonomi daerah, perlu kiranya kita renungkan kembali
perjalanan beberapa instansi birokrasi penting yang menyentuh kebutuhan rakyat
banyak yang masuk dalam kategori instansi yang masuk dalam otonomi daerah.
Ada 4 instansi penting yang dalam
era otonomi daerah mengalami pasang surut yaitu dinas pendidikan, dinas
kesehatan, dinas pertanian dan dinas pekerjaan umum. Mereka bernaung di bawah
kepemimpinan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota). Di pemerintah pusat
mereka bernaung di bawah presiden yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat. Saya sering kali iseng tanya ke kawan-kawan pejabat dinas
daerah siapakah nama menteri mereka. Dan alhamdulillah mereka sebagian besar
tak tahu.
Bagaimanapun juga keempat
instansi teknis tersebut merupakan instansi yang melaksanakan sektor paling
penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Oleh karena itu pasca 15 tahun
otonomi daerah maka perlu kiranya dilaksanakan evaluasi terhadap perjalanaan
keempat instansi daerah tersebut dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan
nasional.
Hal yang pertama yang perlu
dikaji adalah sudahkah program dan kegiatan instansi daerah yang dilaksanakan
setiap tahun itu memiliki sinergisitas dengan program dan kegiatan kementerian
terkait. Yang saya amati komunikasi yang dijalin tidak begitu banyak. Hanya
sekedar musyawarah pembangunan nasional yang terkesan formalistik, program dana
alokasi khusus yang dominan orientasi proyek. Masing-masing pihak jalan
sendiri-sendiri. Kalau tidak bisa dikatakan seolah-olah negara dalam negara.
Hal yang kedua yang perlu dikaji
adalah standarisasi SDM. Mulai dari SDM pejabat struktural maupun pejabat
organisasi proyek. Saya melihat bahwa sudah terjadi disparitas kualitas SDM
antara instansi teknis daerah dengan kementerian. Serta bagaimana pola promosi jabatannya.
Saat ini nyaris tanpa pola dan banyak yang menduduki jabatan tanpa didukung
dengan kemampuan teknis dan latar belakang disiplin ilmu yang sesuai.
Hal yang ketiga yang perlu dikaji
adalah standarisasi sarana dan prasarana. Dalam mencapai tujuan pendidikan,
kesehatan, swasembada pangan dan infrastruktur diperlukan sarana prasarana
standar. Namun banyak di antara instansi daerah yang tidak melengkapi sarana
prasarananya. Contohnya adalah tidak adanya laboratorium pengujian teknis di
beberapa dinas pekerjaan umum.
Hal yang keempat adalah
standarisasi organisasi. Struktur organisasi sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan organisasi. Struktur organisasi harus terus dikembangkan
dalam rangka memeperkaya spesialisasi tugas. Namun masih banyak instansi teknis
daerah yang tidak melakukan reorgansiasi sehingga muncul stagnasi dan monoton
serta kebosanan. Sedangkan siatuasi sosial terus berubah.
Hal kelima yang perlu dikaji
adalah kualitas produk hasil proyek. Perlu dilakukan kajian khusus tentang
produk hasil proyek antara sebelum dan sesudah otonomi. Kalau yang saya amati
kualitas produk infrastruktur justru semakin parah kualitasnya.
Masih banyak hal yang perlu
dikaji namun kelima hal di atas sudah merupakan hal yang paling mendesak. Otonomi
daerah sebagai kebijakan politik untuk mempercepat pembangunan daerah tidak
bisa menjadi alasan untuk mengesampingkan kualitas dan kinerja instansi teknis
di daerah. Bila hasil pengkajian nantinya menyimpulkan bahwa kualitas dan
kinerja sudah sedemikian parah maka jangan ragu-ragu untuk mencabut status
otonomi daerah kepada keempat instansi teknis daerah tersebut dan
mengembalikannya kepada instansi vertikal kementerian terkait dan diakomodir
dalam peraturan turunan dari UU Aparatur Sipil Negara tersebut.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
26 november 2015.
- * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar