Jumat, 17 Mei 2013

Kemdikbud Pasca UN : Antara Kebijakan Dan Rekrutmen Pejabat


UN telah usai. Beragam penilaian berseliweran di atmosfer nasional. Segala macam hiruk pikuk UN telah usai namun perdebatan ttg UN masih akan terus bergema.

Tadi saya secara iseng membuka website dari Kemdikbud dan membuka daftar pejabat Kemdikbud. Ternyata elit pejabat Kemdikbud didominasi oleh para profesor doktor PhD dan sejenisnya. Direktorat jendral yang berkaitan dengan pendidikan anak usia dini, direktorat jenderal yang berkaitan dengan pendidikan dasar dan menengah serta kejuruan didominasi oleh para profesor doktor dan PhD.

Untuk kondisi pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan kejuruan secara nasional sebagian besar di daerah dengan segala keterbatasannya. Dalam penilaian skala 100, hanya sebagian kecil bisa memiliki di atas 70, sebagian besar di bawah 70. Terbukti dari hasil nilai UN dari tahun ke tahun sebagian besar berada berdekatan dengan ambang batas nilai kelulusan.

Sedangkan para profesor doktor dan PhD dari titel ini secara akademik merupakan perwakilan dari orang terbaik dan untuk penilaian skala 100 mereka ini berada pada posisi mendekati 100. Pejabat dengan kualitas tinggi seperti ini akan memandang sesuatu berdasarkan kacamata dirinya dan lingkungannya. Apalagi titel profesor doktor dan PhD selalu dilekatkan dengan perguruan tinggi. Maka kualitas SDM dan lingkungannya akan sangat mempengaruhi produk kebijakan yang dibuat. Bisa kita lihat bagaimana kebijakan dan peraturan dari Kemdikbud begitu perfect sehingga sulit untuk diterapkan pada sebagian besar sekolah yang berada di daerah dan pedesaan. Bisa diumpamakan bagaimana sebuah mobil mewah harus berjalan di jalan tanah becek berlumpur. UN merupakan perwakilan dari kebijakan perfect produk Kemdikbud yang merupakan puncak gunung es kebijakan pemerintah pusat yang harus diterapkan di sekolah daerah dan pedesaan.


Hiruk pikuk UN yang terjadi merupakan akibat dari kesenjangan kondisi real sekolah dasar dan menengah dengan kacamata pemerintah pusat dengan kualitas SDM profesor doktor dan PhD. Malah mereka berpikiran akan menyelenggarakan UN secara online. Waduh, mereka semakin menunjukkan bahwa mereka memandang negeri ini hanya dari kacamata mereka dan lingkungannya yg memang familier dengan online-isme. Mereka tak pernah memakai kacamata daerah dan pedesaan yg jauh dari situasi online-isme. Mereka tidak memahami bahwa jangankan untuk online, listrik saja tidak ada. Walaupun ada dayanya naik turun, komputer dan internet masih merupakan barang yang aneh. Ketika dana alokasi khusus kemdikbud turun ke daerah di mana salah satu barang yang diadakan adalah komputer dan sarana teknologi informasi. Peralatan tersebut bukannya dipakai tapi disimpan di gudang atau dipajang di etalase lemari kepala sekolah. Alasan pertama adalah listrik tidak mendukung. Alasan kedua guru tidak ada yg pandai lagi mengoperasikannya. Alasan ketiga takut rusak. Asalan keempat takut listrik korslet. Ini hanyalah salah satu contoh bahwa pola pikir SDM berkualitas tinggi yang mendominasi elit Kemdikbud memiliki kesenjangan tinggi dalam penerapan di daerah. Contoh paling mutakhir adalah ketika ujian kompetensi guru (UKG) dilaksanakan online, apakah semua daerah bisa ikut serta ?

Saya melihat bahwa Kemdikbud harus mengakomodir keanekaragaman situasi dan kondisi serta kesenjangan di bidang pendidikan dari seluruh wilayah Indonesia untuk kemudian dirumuskan dalam bentuk kebijakan dan peraturan. Dalam beberapa hal kebijakan dan peraturan memang harus seragam dan berlaku nasional. Namun akibat dari perbedaan dan kesenjangan antar daerah yang terjadi akibat berbagai penyebab maka perlu juga dibuat kebijakan dan peraturan yang berbeda antar daerah. Dalam skala 100 tentu daerah yang masih bernilai 10 kebijakan untuk mereka adalah bagaimana agar nilai 10 bisa diangkat menjadi 20 atau 30. Sedangkan untuk daerah yang sudah benilai 50 tentu kebijakan untuk mereka adalah bagaimana menaikkan angka 50 menuju 60 atau 70. Demikian seterusnya.

Untuk itu maka walaupun birokrasi pemerintahan menganut pola otonomi namun untuk mencapai tujuan di atas maka Kemdikbud perlu merekrut semua mantan kepala dinas pendidikan propinsi/kabupaten/kota dan menempatkannya pada direktorat yang sesuai seperti direktorat pendidikan dasar dan menengah serta kejuruan. Juga mereka bisa ditempatkan di badan litbang. Mereka bisa ditempatkan di jabatan eselon ataupun staf sesuai kapasitasnya. Bila tidak bisa semua, paling tidak dalam jumlah yang mewakili dan representasi keanekaragan kondisi pendidikan nasional. Pengalaman mereka di daerahnya sangat diperlukan sebagai sumber data dan perumusan kebijakan peraturan pendidikan dasar dan menengah serta kejuruan seIndonesia. Serta bagaimana meramu kebijakan dan peraturan nasional dengan mengakomodir situasi lokal dan regional.

Bila hal ini terjadi saya yakin kontroversi UN sebagai faktor utama penentu kelulusan tidak akan segaduh ini.

Dan tentunya bukan hanya Kemdikbud tapi semua kementrian seharusnya melakukan rekrutmen terhadap mantan kepala dinas daerah yang sejenis dengan kementriannya. Tidak sedikit mantan kepala dinas atau sekretaris daerah yang berkualitas nasional dan layak untuk direkrut oleh kementrian.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

17 mei 2013

·           *   *  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar