Selasa, 23 April 2013

Desakralisasi UN


UN sudah sedemikian sakral, melebihi sakralitas pemberantasan korupsi. Ini harus segera diakhiri.

Ada pemikiran agar UN dihapus saja.

Ada juga pemikiran UN masih dibutuhkan yang salah satu alasannya adalah untuk mengetahui tingkat pendidikan secara nasional.

Saya pribadi berpendapat bahwa UN masih dibutuhkan dengan beberapa modifikasi terutama pada desakralisasi UN dan mempermurah biaya baik biaya finansial maupun biaya sosial. Semua cerita haru biru UN yang hanya diketahui oleh para pengambil kebijakan di jakarta melalui media cetak dan elektronik tapi tidak menyaksikan langsung dan semua cerita haru biru ini harus segera diakhiri. Negara didirikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk menstreskan kehidupan bangsa.


Dimulai dari desakralisasi UN. UN sedemikian sakral. Sampai ada doa bersama dan istighosah maupun ritual lainnya agar bisa lulus UN. Ataupun ritual negatif dalam bentuk contekan, kunci jawaban, cari bocoran soal, dugaan pengawas yang membantu murid, hanya saja belum terdengar ada dugaan joki. Ini semua terjadi akibat UN dalam persentase tertentu ikut menentukan lulus tidaknya murid. Kelulusan bukan hanya masalah prestasi tapi prestise dan harkat martabat keluarga. Apabila murid tidak lulus maka nama baik keluarga akan tercoreng. Bukan hanya keluarga, nama baik sekolah juga tercoreng. Atau jangan-jangan nama baik kecamatan dan kabupaten/kota juga ikut tercoreng. Maka dari itu sakralitas UN harus diakhiri dengan tidak perlu membuat keterkaitan antara UN dengan kelulusan murid. Serahkan saja urusan kelulusan murid kepada wali kelas dan kepala sekolah. Dengan demikian maka UN bisa dilangsungkan secara rileks dan tenang. Gambaran yang sebenarnya tentang kondisi riel pendidikan justru akan bisa diperoleh dalam suasana rileks dan tenang ini. Hanya akan ada segelintir siswa yang bekerja keras demi nilai UN yang ini terjadi hanya pada beberapa siswa yang punya kecenderungan berprestasi tinggi yang biasanya adalah para rangking atas kelas dan rangking atas sekolah. Sebagian besar akan santai-santai saja. Sebagian kecil lagi mungkin justru akan memandang rendah pada UN atau bahkan tidak ikut UN. Yang memandang rendah UN tapi ikut ujian, biar sajalah bila ternyata bisa lulus. Kita kan sedang mencari gambaran riel, bukan bayang ilusi pendidikan. Yang tidak ikut ujian dipersilahkan ikut UN ulang yang bila masih tetap tidak ikut ujian, apa boleh buat, tidak bisa lulus sekolah. Jadi, kelulusan sekolah cukup pada ikut atau tidak ikut UN saja.

Agar UN masih demikian sakral untuk sebagian kecil siswa maka agar UN menjadi penentu utama terhadap fasilitas bebas testing yang dulu bernama PMDK yang sekarang entah apa namanya. Saya malah berpikir perlu dibentuk sakralitas baru UN tapi cukup kepada siswa yang suka prestasi. Mereka ini sebenarnya harapan bangsa. Mereka yang berprestasi yaitu para peraih nilai UN 10 besar kabupaten dan 3 besar perkecamatan agar diberi fasilitas bebas testing masuk perguruan PTN dan PTS tertentu dengan kombinasi biaya Kemendibud, Dinas Pendidikan Propinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan variasi PTN/PTS terutama jurusan kependidikan, kesehatan, pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan. Untuk 10 besar perkabupaten/kota bisa masuk bebas testing di PTN perpropinsi. Sedangkan para 3 besar rangking perkecamatan menjadi urusan kabupaten/kota untuk masuk bebas testing di PTS terdekat. Atau bila pemerintah daerah memiliki perguruan tinggi sendiri bisa memperbesar persentase bebas testing untuk memenuhi kebutuhan aparat birokrasi di pedesaan terutama keguruan dan kesehatan. Sakralitas seperti ini akan menumbuhkembangkan semangat berprestasi siswa.

Dari segi efektifitas pembuatan soal, sebaiknya tim pembuatan soal ujian dibentuk di setiap propinsi dengan gabungan unsur dinas pendidikan propinsi, perguruan tinggi dan pakar pendidikan setempat. Pembuatan soal ujian terlalu kecil untuk ditangani langsung oleh Kemdukbud. Sedangkan Kemdikbud cukup sebagai pembinaan dan pengawasan saja. Ini penting mengingat perbedaan dalam banyak hal antar propinsi membuat tidak layaknya soal bersifat sama secara nasional. Kualitas soal tergantung bagaimana standar dan kriteria yang diberikan oleh Kemdukbud dan bagaimana mengakomodir faktor lokal. Sedangkan pencetakan soal dan jawaban diserahkan saja kepada lembaga percetakan yang dimiliki negara tanpa tender dengan memberikan waktu yang mencukupi untuk pencetakan tanpa harus diburu waktu. Sedangkan distribusi juga diserahkan saja kepada organisasi negara yang mengurusi jasa pengiriman dengan atau tanpa pengawalan ketat. Pengiriman naskah soal dan jawaban juga harus memberi waktu yang mencukupi sehingga apabila ditemukan kesalahan pengiriman ataupun kesalahan jumlah atau lainnya masih ada waktu yang cukup untuk memperbaiki baik melalui pengiriman ulang atau lainnya.

Lanjutkan UN, dengan desakralisasi dan biaya murah meriah.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

23 april 2013.

  •   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar