Jumat, 19 April 2013

Parpol dan Kualitas : Refleksi Ke Depan


Bila kita bedah anatomi SDM suatu parpol di daerah, dari 100 % pengurus maupun aktifisnya, berapa persenkah dari mereka yang tahu nama ketua umum dan Sekjen DPP/DPWnya, wakil parpolnya di kabinet, ataupun memiliki / pernah membaca ataupun memahami AD/ART parpolnya ? Yang lebih mengkhawatirkan adalah berapa persen dari mereka yang benar – benar memperjuangkan aspirasi masyarakat lewat parpolnya / fraksinya di DPRD ?

Secara eksak pertanyaan di atas tak bisa dijawab tanpa memiliki data yang sah sebagai dasar pemberian nilai, namun secara abstrak bisa kita jawab walaupun akan banyak pihak yang mempertanyakan dasar penilaian yang abstrak tersebut.

Tanpa bermaksud mengecilkan arti penting parpol di daerah, saya pribadi mengeluhkan rendahnya kualitas SDM dan pengabdian pengurus / aktifis parpol di daerah dalam berpolitik keseharian. Pertanyaan di atas sering saya lontarkan secara guyonan kepada teman – teman aktifis parpol di daerah dan jawabannya sungguh mengecewakan.


Kenapa kualitas SDM parpol di daerah begitu minus nilainya ?

Bila kita lakukan kilas balik pada masa awal kehidupan parpol di Indonesia yang dimulai sejak jaman penjajahan Belanda maka akan terlihat jelas bahwa parpol pada waktu itu didominasi oleh para mahasiswa / sarjana yang sadar akan arti penting perjuangan bangsa melalui parpol. Dengan kata lain parpol pada waktu itu didominasi oleh para putra terbaik bangsa. Hal yang sama terjadi pada masa orde lama, para putra terbaik bangsa masih mendominasi kehidupan parpol. Perubahan mulai terjadi ketika rezim orde baru mulai melaksanakan pembangunan ekonomi yang memberi dampak pada berkembangnya usaha swasta yang kemudian menarik minat para putra terbaik bangsa untuk berkecimpung di sektor swasta baik itu sebagai wirasawasta maupun sebagai pekerja profesional. Persentase para putra terbaik bangsa yang berkiprah di parpol semakin sedikit.

Di era reformasi, ketika sektor swasta mengalami kegoncangan dan sektor politik mengalami booming parpol, para putra terbaik bangsa mulai kembali melirik parpol, sayangnya ini hanya terjadi di perkotaan. Dan memang para putra terbaik bangsa tersebut lebih memilih untuk berdomisili di perkotaan tempatnya menuntut ilmu daripada tinggal di daerah asalnya yang tidak menjanjikan pekerjaan dan penghargaan kepada ilmu yang dimilikinya. Hal ini membawa dampak kurangnya distribusi para putra terbaik bangsa tersebut ke daerah dalam berpolitik.

Ketentuan dalam UU Parpol yang boleh ikut pemilu adalah parpol yang memiliki pengurus di 60 % dari jumlah propinsi, pengurus di 50 % kabupaten pada propinsi tersebut dan pengurus di 25 % kecamatan pada kabupaten tersebut membawa dampak keterpaksaan bagi parpol untuk membentuk kepengurusan di kabupaten dan kecamatan tanpa perlu mempertimbangkan kualitas SDM yang ada pada daerah tersebut. Dan ini juga membutuhkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Telah banyak terjadi di mana pengurus parpol di daerah tak pernah menjalankan mekanisme organisasi dan hanya sebatas pergantian pengurus serta sekretariat yang selalu kosong tanpa aktifitas. Dan tak jarang pada pengurus kecamatan malah tidak punya kantor yang layak. Jumlah kepengurusan di daerah sudah tidak lagi mencerminkan kekuatan suatu parpol, malah mencerminkan rapuhnya suatu kekuatan semu yang dimiliki parpol.

Hal – hal di atas tak bisa dibiarkan terus berlarut – larut. Parpol di daerah masih tetap merupakan aset terpenting dan merupakan mitra pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan daerah. Banyak hal yang bisa ditempuh untuk memperbaiki kualitas parpol di daerah. Dua hal penting yang bisa ditempuh adalah  :
  1. UU Parpol yang mewajibkan komposisi kepengurusan 60 % propinsi, 50 % kabupaten dan 25 % kecamatan harus dirubah menjadi 80 % propinsi, 80 % kabupaten / kota terseleksi (terseleksi dalam hal kualitas SDM yang berkualitas yang ditandai dengan adanya distribusi jumlah sarjana di daerah tersebut dan perguruan tinggi dengan nilai akreditasi tertentu) dan tidak perlu mewajibkan kepengurusan di kecamatan. Hal ini akan membuat banyaknya parpol yang bisa memenuhi syarat jumlah kepengurusan untuk ikut pemilu. Dan ini lebih baik sebagai pilihan di mana geliat politik di tingkat atas akan lebih baik daripada memaksakan geliat politik di tingkat bawah. Akan rumit di tingkat atas tapi hanya pada waktu pemilu saja dan akan sederhana di tingkat bawah. Walaupun pada akhirnya parpol membentuk kepengurusan di daerah dasarnya bukan keterpaksaan untuk boleh ikut pemilu lagi tapi sudah merupakan dinamika organisasi. Parpol yang ramping kepengurusan tapi berkualitas dan handal tapi memiliki keuangan pas - pasan akan bisa ikut pemilu, dan mungkin malah harapan masyarakat terletak di tangan partai yang ramping tersebut.
  2. Parpol melakukan rekrutmen kepada para putra terbaik bangsa yang umumnya berdomisili di perkotaan tempatnya menuntut ilmu. Dan ini bukan perkara gampang karena arus pragmatisme sudah mendominasi di banyak perguruan tinggi. Apalagi wajah parpol di mata mereka cukup miring. Parpol di perkotaan perlu membentuk struktur fungsional yang jauh dari gesekan politik, dan ini akan mewadahi para putra terbaik bangsa tersebut dalam berkiprah dalam kepartaian. Bentuk struktur tersebut bisa sebagai litbang atau lembaga pengkajian strategis dan bila perlu sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang dimilikinya. Dan ketika pelaksanaan pemilu mereka didistribusikan ke daerah asalnya sebagai calon legislatif / DPRD. Mereka akan cukup efektif meraup suara rakyat karena umumnya mereka cukup dikenal oleh masyarakat daerahnya terutama oleh generasi muda seusianya.

Kedua hal di atas cukup sederahana sebagai sebuah ide tapi akan sulit dalam hal penerapan mengingat kuatnya pengarus kepentingan antar parpol dalam menyusun aturan main kepartaian yang cenderung untuk menguntungkan parpolnya sendiri.

Semoga.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

31 desember 2007.

  •   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar