Jumat, 19 April 2013

Preman, Suatu Ketika


Preman identik dengan kekerasan, keamanan, kriminal, urbanisasi, tato.

Preman hadir pada umumnya di wilayah yang tidak terjangkau oleh negara selama 24 jam. Preman ada di jalanan, bukan di perkantoran. Preman eksis secara riel di lapangan. Sepanjang yang saya tahu preman menguasai pengamanan areal tertentu seperti parkir, hiburan, pusat perbelanjaan, pasar dll.

Preman sering berkelompok, yang pada umumnya berbasis kedaerahan dan sebagai efek urbanisasi. Berbicara urbanisasi maka kita bicara tentang lapangan pekerjaan. Daerah asal hanya menjanjikan pekerjaan bertani, berladang dan dagang kelas kampung. Dan ini bukan pekerjaan yang bergengsi. Maka para putra daerah ini mencoba mengadu nasib ke kota. Bagi yang memiliki keterampilan mereka bisa bekerja di sektor riel formal. Bagi yang hanya modal nekad mereka siap bekerja dengan modal keberanian. Di kota bagi yang tak memiliki keluarga, mereka akan mencari komunitas sedaerah. Bergabunglah mereka dengan kelompok-kelompok kedaerahan. Bagi yang kebetulan bergabung dengan kelompok berbasis preman, maka merekapun terpaksa mempremankan dirinya. Yang tak pernah perkelahi terpaksa harus belajar berkelahi. Demikian seterusnya preman tumbuh subur seiring dengan urbanisasi dan minimnya lapangan pekerjaan di desa.

Saya lebih tertarik dengan eksistensi preman di bidang pengamanan dan parkir. Negara sudah memiliki organisasi yang bertanggung jawab di bidang keamanan yang memiliki struktur dari pusat sampai ke tingkat desa. Negara juga sudah memiliki organisasi yang menangani perparkiran yang sudah didelegasikan kepada pemerintah daerah sebagai amanah otonomi daerah. Namun mengingat luasnya wilayah yang membutuhkan penanganan keamanan dan parkir maka aparat keamanan tidak bisa hadir di seluruh wilayah yang membutuhkan pengamanan. Dan instansi pemda yang menangani perparkiran tidak bisa menangani semua jalan yang sering diparkiri kenderaan. Muncullah jasa pengamanan nonformal yang secara riel dan nyata bisa berikan oleh preman. Dan muncullah jasa parkir nonformal yang secara riel dan nyata ditangani oleh preman. Dan keributan sering muncul akibat dari rebutan lahan antar kelompok preman ini.

Saya melihat bahwa perlu dikembangkan hubungan simbiosis mutualisma dan formalisasi wilayah keamanan dan parkir antara organisasi negara dengan para preman dalam artian preman direkrut dan diseleksi secara khusus oleh negara menjadi jasa pengamanan swasta perseorangan dan jasa parkir swasta perseorangan. Preman direkrut dan diseleksi untuk kemudian dilatih secara formal menjadi tenaga keamanan dalam bentuk yang kita kenal selama ini sebagai satpam dan dipekerjakan dan digaji secara layak oleh pihak yang membutuhkan jasa keamanan seperti dunia hiburan, pasar dan lainnya. Dan bagi yang memenuhi syarat formal bisa direkrut menjadi aparat keamanan sesuai potensinya. Ini penting untuk memutus mata rantai dan kaderisasi preman di lapangan. Preman juga bisa direkrut dan diseleksi serta dibina untuk menjadi jasa parkir legal berbadan usaha perseorangan dan memiliki ijin usaha perseorangan.

Legalisasi sektor yang digarap secara nonformal menjadi sektor formal bisa meminimalkan tubuhkembangnya preman.

Dalam skala kecil, benih-benih preman sudah mulai tumbuh di bangku sekolah SD. Di setiap ruang kelas selain eksistensi terbaik sebagai juara kelas, juga eksis para murid bandel dan sering tinggal kelas. Mereka eksis dan sering bertindak preman skala sekolah. Dan mereka juga sering menjadi promotor tawuran antar sekolah. Mereka ini adalah cikal bakal preman yang setelah dewasa akan pergi merantau dan bergabung dengan para seniornya di perkotaan. Kurangnya perhatian dan pembinaan terhadap para preman cilik ini justru merupakan masalah tersendiri dalam jangka panjang. Untuk itu maka saya melihat pembinaan dini perlu dibuat dan diprogramkan terhadap mereka. Kegiatan ekstrakurikuler perlu digiatkan untuk menjadi wadah pembinaan meminimalisir bakat preman seperti Patroli Keamanan Sekolah, olah raga dan beladiri, Pramuka dan lainnya.

Terlepas dari segala macam masalah yang telah terjadi dengan preman, mereka tetap saja masih warga negara kita, dan menjadi kewajiban negara untuk memberi pembinaan dan penghidupan yang layak secara kemanusiaan. Dan sebagian besar preman justru akibat tekanan keadaan atau dengan kata lain jadi preman untuk cari makan. Preman sudah jadi profesi. Dan bakat utama mereka dalam bentuk nyali besar dan keberanian harus diwadahi dan disalurkan menjadi sarana mencari makan secara legal formal dan bermartabat.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

19 april 2013.

  •   *  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar