Jumat, 20 Desember 2013

Mengkritisi UU Desa


 Kemaren UU tentang desa disahkan, hiruk pikuk dari pendukung pembentukan UU desa ini tentu gegap gempita, seperti hiruk pikuk pada tahun 1999 ketika UU Otonomi Daerah disahkan.

Hati saya bergemuruh ketika melihat bahwa UU Desa disahkan. Sebagai individu yang banyak bersentuhan dengan desa dan lingkungannya, saya jadi merinding membayangkan segala macam ekses negatif yang kini melanda pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) akan berpindah ke desa dengan segala macam metamorfosanya. Walaupun pada sisi yang lain UU Desa ini akan memberi harapan kehidupan desa yang lebih baik kalau dikelola dengan baik namun dalam hati saya perbandingan antara optimisme dan apatisme lebih besar pada apatisme, walaupun saya berkeinginan unsur optimisme yang menjadi pemenang.

Saya mencoba memulai dari unsur optimisme. Letak pertama keoptimisan saya adalah bahwa peraturan yang telah dilahirkan masih pada level UU, sedangkan peraturan turunannya seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah masih belum ada. Semua peraturan turunan ini, terutama pada tingkat peraturan menteri dan peraturan daerah sangat diharapkan untuk menjadi sebuah sistem untuk membuat desa berjalan pada rel dan ruh serta suasana kebatinan pembentukan UU desa. Bagaimanapun juga UU desa akan tetap di bawah pengaruh UUD 1945 yang mana tujuan pembentukan pemerintahan desa dalam payung hukum UU desa ini harus mendukung tujuan kemerdekaan terutama memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Semua peraturan turunan dari UU desa harus mampu menjaga secara sistemik agar perjalanan pemerintahan desa tidak lari atau malah berlawananan arah dengan tujuan kemerdekaan tersebut. Untuk itu maka perlu dilakukan pemetaan dan pendataan potensi masalah yang akan terjadi dengan melakukan workshop tertutup berjenjang mulai dari bawah yaitu workshop tertutup intern pemerintah kabupaten/kota pada unsur terkait dengan semua camat di bawahnya. Hasil workshop tertutup ini dibawakan ke forum pemerintah provinsi dan seterusnya dibawakan ke forum tingkat menteri dalam negeri serta kementrian terkait lainnya. Ini penting mengingat pengalaman negatif dalam menjalankan roda pemerintahan daerah harus menjadi pelajaran yang sangat mahal dalam mengantisipasi munculnya permasalahan yang sejenis di tingkat pemerintahan desa.


Ada beberapa tata pemerintahan desa yang harus diatur secara standar nasional dengan tetap membuka peluang model lokal untuk dimasukkan dalam tata pemerintahan desa. Sama seperti tata pemerintahan pusat dan tata pemerintahan daerah maka pada tata pemerintahan desa harus memiliki standar nasional tentang tata cara pemilihan kepala desa, standar organisasi, tata kelola keuangan, tata kelola aset, tata kelola pengadaan barang/jasa, pembinaan dan pengawasan serta audit.

Pada tata cara pemilihan kepala desa harus diatur sistem terutama untuk mencegah terjadinya politik uang pada pilkades. Dana milyaran akan akan dikelola pemerintahan desa akan sangat menarik minat untuk menjadi seorang kepala desa.

Pada standar organisasi harus diatur standar organisasi minimal yang harus dan wajib dimiliki oleh sebuah pemerintahan desa. Saya memandang bahwa desa merupakan benteng terakhir budaya luhur bangsa, pengendalian penduduk dan ketahanan pangan. Untuk itu maka organisasi perangkat desa tidak boleh meniadakan unsur jabatan ketiga hal tersebut. Seorang kepala desa di samping membawahi seorang sekretaris desa dan bendahara, juga wajib membentuk struktur seksi ketahanan pangan, seksi sarana prasarana, seksi budaya, seksi kependudukan/KB dan seksi lainnya yang dibutuhkan.

Model organisasi perangkat desa akan membawa konsekuensi pada gaji dan belanja pegawai. Pada perangkat desa ternyata hanya sekretaris desa yang berstatus PNS, perangkat lainnya nonPNS. Tentu ini akan membawa konsekuensi tingginya ketergantungan status aparat desa kepada kepala desa karena pengkat desa diangkat oleh kepala desa. Saya melihat ada baiknya penggajian dilakukan bukan berstandar pada UMR tapi pada penyetaraan dengan PNS. Misalnya seorang kepala seksi ketahanan pangan berlatar belakang sarjana yang sesuai seperti sarjana pertanian maka gajinya disetarakan dengan PNS golongan III/A, bila kesarjanaannya tidak sesuai maka disetarakan dengan gaji PNS golongan II/C, dan bila berlatar belakang SMA gajinya disetarakan dengan PNS golongan II/A. ini masih gaji pokok. Sedangkan tunjangan jabatan dan tunjangan kinerja disesuaikan dengan pendapatan desa. Pemilihan pejabat perangkat desa juga harus diatur seobjektif mungkin sehingga memberi peluang kepada SDM terbaik desa untuk menjadi perangkat desa. Untuk itu perlu diwajibkan membentuk panitia seleksi independen yang bekerja mirip baperjakat pemda untuk menjaring orang terbaik di desanya untuk menjadi pejabat desa. Jangan sampai kroni kepala desa menguasi semua jabatan perangkat desa.

Pada tata kelola keuangan harus diatur persentase untuk gaji, belanja pegawai dan belanja publik. Karena ruh pembentukan pemerintahan desa adalah untuk memajukan kesejahteraan umum maka saya mengusulkan pengaturan persentase anggaran 70 % untuk belanja publik dan 30 % untuk belanja pegawai termasuk gaji. Bila tidak diatur maka bisa-bisa belanja pegawai melebihi belanja publik karena ketiadaan lapangan kerja akan membuat pemerintahan desa membuka peluang lapangan kerja sebagai staf dengan gaji berapa saja asalkan bisa bekerja dan mendapat gaji. Hal ini harus diantisipasi. Dari 70 % belanja publik ini harus juga diatur jangan sampai semuanya untuk infrastruktur dan mengabaikan anggaran ketahanan pangan. Saya mengusulkan 20 % anggaran untuk ketahanan pangan, 20 % untuk infrastruktur dan 30 % untuk belanja publik lainnya sehingga semua bertotal 70 %. Sedangkan tata cara pertanggungjawaban keuangan harus dibuat sedemikian simpel dan sederhana dan menghindari kesemrawutan berkas. Bila perlu satu jenis pembelanjaan cukup diwakili oleh satu lembar saja. Misalnya belanja ATK cukup diwakili dengan 1 lembar faktur saja dan distempel dengan tanda terima (mewakili kwitansi) dan stempel pemeriksaan barang (mewakili berita acara pemeriksaan barang) sedangkan order cukup diwakili oleh faktur tadi. Bila tetap dengan model pertanggungjawaban keuangan seperti di pemerintahan daerah maka bisa-bisa dalam 5 tahun kantor kepala desa sudah dipenuhi oleh berkas pertanggungjawaban keuangan.

Pada tata kelola aset, pengalaman buruk pada pemerintahan daerah yang sewaktu audit BPK banyak mendapat predikat disclaimer, tentu ini harus menjadi pengalaman berharga bagainana mengatur tata kelola aset pada pemerintahan daerah. Tata kelola aset desa harus realistis, tidak njelimet dan simpel.

Tata kelola pengadaan barang/jasa menjadi sektor paling krusial dan berpeluang terjadinya berbagai macam penyimpangan mulai dari masalah harga, cara pemilihan penyedia apakah tender atau swakelola masyarakat, bagaimana bentuk sanggahan dan pengaduannya. Saya memandang bahwa sebaiknya tender pengadaan di pemerintahan desa ditiadakan saja karena akan menjadi sumber malapetaka di desa. Sektor pembangunan infrastruktur agar mengikuti saja pola PNPM atau gotong royong. Sedangkan pengadaan barang agar mengikuti saja harga yang sudah tertera pada standar harga barang pemerintah daerah ditambah ongkos angkut/transportasi. Anggap saja standar harga barang pemerintah daerah itu menyerupai e-kataloq pada LKPP. Bila dilakukan tender maka godaan untuk melakukan penyimpangan akan sedemikian besar menyangkut uang milyaran di desa tentu bila terjadi masalah pengaduan tender akan membuat kepala desa dan perangkat desanya berurusan dengan penegak hukum dan menjadi hari-hari yang panjang dengan urusan hukum sehingga tujuan pemerintahan desa dalam memajukan kesejahteraan umum menjadi terbengkalai.

Pada aspek pembinaan, siapakah yang akan membina pemerintahan desa, apakah kecamatan ? Apakah Biro/Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah ? Apakah Inspektorat ? Ini harus jelas. Saya  memandang bahwa peranan terbesar harus diberikan kepada kecamatan. Sedangkan Biro/Bagian Pemerintahan harus dilebur dengan Kantor Pemberdayaan masyarakat  menjadi Badan Pemberdayaan dan Pemerintahan Desa. Ini penting mengingat Kantor Pemberdayaan Masyarakat yang menjadi tulang punggung pembinaan PNPM harus bersinergi dengan pemerintahan desa dan tidak boleh menjadi struktur yang bersaingan. Demikian juga aspek pengawasan dan audit. Pembinaan, pengawasan dan audit adalah sebuah keluarga yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Untuk itu diperlukan sinergi antar lembaga. Akan sangat melelahkan untuk mengaudit kelembagaan yang jarang dibina dan diawasi. Pengawasan paling penting terletak pada pengawasan produk hukum desa seperti pendapatan desa, badan usaha milik desa, peraturan desa. Bila banyak peraturan daerah yang berbenturan dengan peraturan yang lebih tinggi dan terpaksa peraturan daerah tersebut dibatalkan oleh Kemedagri maka diprediksi akan banyak peraturan desa yang juga akan bertabrakan dengan peraturan yang lebih tinggi. Untuk itu maka perlunya pembinaan maksimal di awal sehingga bisa mencegah terjadinya produksi hukum pemerintahan desa yang melanggar aturan yang lebih tinggi. Dan agar pemerintahan desa tidak sepele dalam proses audit maka sekali setahun BPK pada waktu audit rutin di pemerintahan daerah harus juga mengaudit beberapa desa sebagai sampel, misalnya 2 desa perkecamatan setiap tahun diaudit oleh BPK. Sehingga pemerintah desa menjadi lebih hati-hati. Bila hanya diaudit Inspektorat maka pemerintah desa akan cenderung sepele dan santai karena diaudit oleh keluarga sendiri. Keberadaan audit BPK terhadap sampel pemerintahan desa akan menjadi sistem penting peningkatan kehatihatian tata kelola pemerintahan desa. Pemilihan sampel desa harus dipilih langsung secara acak oleh BPK, jangan dipilih oleh pemdanya karena bila dipilih oleh pemdanya maka sudah pasti pemdanya akan memilih sampel desa yang bagus bagus.

Pada tahun pertama selain pembinaan dan pembuatan sistem tata pemerintahn desa, hal penting yang harus dibereskan pada tahun pertama adalah kantor permanen, sarana prasarana dan batas wilayah. Ini tidak mudah mengingat banyak kepala desa yang berkantor di rumahnya tanpa sarana prasarana sama sekali, sedangkan batas antar desa sama sekali tidak ada terutama yang antar desa dibatasi oleh hutan dan lahan kosng. Bila ketiga hal tersebut belum beres maka status pemerintahan desa penuh jangan diberikan dulu tapi cukup pada status pemerintahan desa persiapan saja.

Setelah unsur optimisme di atas, kini saatnya mengkaji unsur apatisme yang saya prediksi bakalan menjadi penyakit dalam perjalanan pemerintahan desa.

Aspek pertama adalah akibat dari besarnya anggaran desa maka besar kemungkinan semua kelurahan akan meminta dirobah menjadi desa. Dan desa-desa besar akan memekarkan diri menjadi beberapa desa. Besarnya anggaran desa nantinya akan melebihi besarnya anggaran kecamatan. Bahkan bisa melebihi anggaran beberapa instansi di pemerintah daerah. Agar anggaran yang besar untuk level desa ini tidak mubazir maka perlu kiranya perjalanan pemerintahan desa ini dimulai dari tahap pemerintahan desa persiapan, bukan pemerintahan desa penuh. Bila diterapkan pemerintahan desa penuh maka saya khawatir semua penyakit pemerintahan daerah akan berpindah ke pemerintahan desa. Akan muncul raja-raja kecil di tingkat desa. Ini dimungkinkan mengingat di desa memiliki pemimpin informal tanpa lawan dan tanpa koreksi seperti tuan tanah, pedagang besar desa, ketua adat, pemuka agama atau struktur kerajaan masa lalu yang mana mereka ini memiliki potensi cukup besar untuk menang di pilkades. Para pemimpin informal yang terpilih menjadi pemimpin formal di desa bila diberi kewenangan seluas-luasnya maka akan menjadi raja-raja kecil di desa.

Aspek kedua adalah politisasi desa. Bayangkan bila sebuah desa dipimpin oleh seorang kepala desa kharismatik, bukan kepala desa administratif, maka kepala desa kahrismatik ini tentu akan sangat berguna untuk mengumpulkan surara baik pada waktu pemilu maupun pilkada. Tentu ini akan bertolak belakang dengan pendidikan demokrasi yang digelorakan dari kampus dan kelas menengah perkotaan. Desa-desa akan menjadi politis dan anti demokrasi.

Aspek ketiga adalah politisasi desa akan memakan biaya besar dan sebagaimana di pemerintah pusat dan pemerintah daerah di mana APBN dan APBD digerogoti sedemikian rupa utnuk pembiayaan politik maka saya mengkhawartirkan anggaran desa akan juga digerogoti untuk pembiayaan politik. Ini akan sangat menarik bila kita bandingkan berapa perbandingan antata pendukung korupsi dan pendukung anti korupsi di desa tersebut. Pendukung anti korupsi rata-rata adalah orang terdidik yang sudah meninggalkan desanya merantau ke kota. Sedangkan yang tinggal di desa adalah orang-orang yang akan pasrah dan patuh kepada para kepala desa kharismatik tersebut dan tidak akan berani bersuara untuk anti korupsi.

Dari ketiga aspek apatis yang saya miliki tadi akan bisa dicegah dengan mengedepankan munculnya kepala desa yang berkualitas administratif. Namun sejarah menunjukkan kualitas administratif sebagian besar kalah pengaruh dengan kualitas kharismatik dalam berpolitik. Misalnya terjadi persaingan pilkades antara seorang sarjana perkotaan dari desa tersebut bersaing dengan tuan tanah atau pemuka adat atau pemuka agama. Bayangkan siapa pemenangnya.

Mudah-mudahan apa yang saya khawatirkan tidak akan terjadi. Dan mudah-mudahan keberadaan pemerintahan desa ini tidak menghancurkan benteng ketahanan pangan dengan menjadikan desa-desa menjadi kota yang penuh dengan gemerlap dunia hiburan.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

20 desember 2013.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar