Jumat, 06 Desember 2013

PT Inalum dan yang lainnya


Inalum merupakan singkatan dari Indonesia Asahan Aluminium. PT Inalum didirikan pada tahun 1975 setelah melalui rangkaian panjang mulai dari studi kelayakan sampai pengoperasian. PT Inalum sebelum pindah tangan ke Indonesia, sahamnya dimiliki oleh pemerintah RI dan Nippon Asahan Aluminium Co yang merupakan gabungan pemerintah Jepang dengan 12 investor sebelumnya. Komposisi saham antara RI dan NAA bergerak dinamis mulai dari RI : NAA sebesar 10 % : 90 %, kemudian 25 % : 75 %, kemudian 41,13 % : 58,87 %, kemudian 41,12 % : 58,87 %.

Sesuai dengan kontrak kerjasama maka pengelolaan PT Inalum berakhir pada 31 Oktober 2013 dan harus diserahkan ke pemerintah RI. Namun pelaksanaan ketentuan penyerahan ini tidak berjalan mulus. Pemindahtanganan semula dilakukan dengan pemindahan saham kemudian berubah dengan pemindahan aset yang diamanahkan oleh perjanjian kerjasama. Dengan kepemilikan saham 58,87 % maka NAA sebagai representase Jepang mematok harga aset sebesar 650 juta dolar AS yang kemudian turun menjadi 626 juta dolar AS. Sedangkan pemerintah RI setelah melalui audit BPKP mematok harga 424 juta dolar AS. Selisih harga ini tidak mencapai titik tengah sehingga harus melalui proses sengketa di arbitrase. Namun sengketa di arbitrese dibatalkan dan setelah melalui negosiasi akhir disepakati pada angka 556,7 juta dollar AS.


Kerjasama seharusnya menyenangkan dan juga berakhir menyenangkan, bukan menegangkan. Namun pengakhiran kerjasama pengelolaan PT Inalum berlangsung cukup menegangkan. Ada beberapa istilah yang muncul dan rasanya kurang sreg untuk didengar pada akhir sebuah proses kerjasama seperti : kembali ke pangkuan RI dan mengusir direksi dari Jepang. Istilah ini saya menilai merupakan perlambang dan bentuk inferior dari kita terhadap Jepang. Dan istilah ini mengesankan bahwa kerjasama selama ini tidak ikhlas atau dibenci.

PT Inalum merupakan kerjasama peleburan aluminium dengan memanfaatkan sungai Asahan sebagai sumber energi listrik. Bentuk kerjasama seperti ini layak untuk diterapkan di tempat lain dengan variasi bentuk kerjasama mengingat keterbatasan teknologi, pendanaan dan SDM yang dimiliki oleh Indonesia. Hanya saja proses pengakhiran kerjasama ini saya melihat kurang baik untuk diterapkan. Saya menilai bahwa kerjasama ini harus terus dilaksanakan selama perusahaan tersebut terus dioperasikan. Yang dilakukan cukup melakukan perpanjangan kontrak kerjasama dengan melakukan revisi dan divestasi saham sampai pada tingkat konstan dan tetap.

Sebuah kerjasama seperti PT Inalum dengan perbandingan saham tertentu di awal antara RI dan investor asing harus diatur sedemikian rupa dan berjalan dinamis sehingga pada tahun ke-10 pengoperasian komposisi saham sudah 51 % milik RI. Dan pada akhir kerjasama pengoperasian komposisi saham RI sudah 80 % - 85 %. Akhir kerjasama tak perlu dengan pengambilalihan 100 % baik aset maupun saham. Kepemilikan investor asing pada komposisi saham konstan 15 % - 20 % dalam rangka penyeimbang baik dari segi kualitas manajemen, untung rugi perusahaan, alih teknologi baru maupun maintenance hubungan baik selanjutnya. Divestasi saham secara dinamis ini bisa melalui kesepakatan dan bisa juga mengukur nilai saham dengan mengujicoba langsung melempar saham misalnya 5 % ke bursa saham dan harga pasarnya dijadikan patokan untuk divestasi saham secara dinamis tadi.

Di samping membentuk komposisi saham konstan, pasca kerjasama pengoperasian maka sebuah produk kerjasama seperti PT Inalum selayaknya menjadi BUMN baru dengan status sebuah perusahaan profit. Jadi yang seharusnya terjadi bukan pengambilalihan ke pangkuan bumi pertiwi dan mengusir direksinya tapi dengan melakukan perubahan bentuk dari perusahaan kerjasama operasi menjadi BUMN baru dengan saham konstan milik investor asing maksimal 20 % dan sebagai akibat dari kepemilikan saham ini maka pemegang saham akan memiliki hak suara untuk menempatkan orang – orangnya di jajaran direksi. Penempatan orang asing ini perlu untuk transfer teknologi dan manajemen serta maintenance hubungan baik.

Pasca PT Inalum, maka sebentar lagi akan datang blok Siak, blok Mahakam dan lainnya. Tentu ini kabar baik bagi kita semua.

Bila proses yang dilakukan adalah kembali ke pangkuan bumi pertiwi serta mengusir direksi orang asing maka dikhawatirkan adalah penyakit birokrasi akan menjangkiti dan manajemen tidak memiliki check and balance. Dan jajaran komisaris akan diperebutkan oleh yang bukan bidangnya.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

6 desember 2013.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar