Selasa, 07 Januari 2014

Ospek : Antara Tirani dan Demokrasi

Ospek kembali menelan korban jiwa. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi teknik di Jawa Timur meninggal pada waktu mengikuti kegiatan ospek di luar kampus pada oktober 2013. Pertiwi berduka.

Kekerasan di kampus dengan mengatasnamakan ospek atau pembinaan telah banyak menelan korban jiwa. Namun tradisi kekerasan seolah tak terbendung.

Apa itu ospek ? Apa bedanya dengan plonco jaman Belanda dulu ?

Ospek adalah singkatan dari orientasi studi dan pengenalan kampus. Ospek adalah pengganti dari plonco. Ospek dari namanya seharusnya bermuatan pengenalan studi dan kampus. Atau lebih singkat lagi pengenalan kampus. Sederhana namun memiliki makna yang dalam. Makna yang dalam ini difahami secara berbeda-beda dan secara multitafsir oleh masing-masing pengelola ospek. Pemahaman ini berbeda-beda mulai dari pemahaman paling sederhana sampai pemahaman yang paling ekstrim. Pemahaman sederhana menempatkan ospek hanya sekedar pengenalan kampus secara biasa saja. Pemahaman yang ekstrim menempatkan ospek sebagai sesuatu yang luar biasa dan sakral. Sakralitas ini menempatkan ospek sebagai kawah candradimuka dan proses transformasi dari status siswa kepada mahasiswa.


Saya adalah salah satu dari mantan mahasiswa yang tidak percaya kepada sakralitas ospek. Saya sendiri tidak ikut ospek tingkat kampus. Saya hanya ikut ospek tingkat jurusan. Ketidakpercayaan saya muncul dari hal yang paling sederhana yaitu tidak adanya unsur demokrasi pada ospek dan cenderung bersifat tiranis. Apalagi proses ospek pada umumnya tidak terpola dan hanya berjalan secara tradisi serta didominasi oleh unsur fisik dan bentak-bentak yang sering diasosiasikan sebagai balas dendam dari senior ke junior. Ospek cenderung minim pembinaan non mental. Apalagi ketika pengelola ospek tidak punya antisipasi kondisi terburuk yang akan dialami oleh peserta ospek seperti sakit dan tidak ada antisipasi yang bersifat medis sehingga berujung kepada korban jiwa maka berkaca dari sini lengkaplah sudah ketidakpercayaan kepada sakralitas ospek. Bagaimana mungkin bisa percaya pada sakralitas ospek di mana unsur HAM yang paling dasar yaitu hak untuk hidup tidak terjaga sama sekali ?

Saya menyadari bahwa mahasiswa baru yang baru lulus dari sekolah harus memiliki sifat dan watak yang berbeda setelah menduduki bangku perguruan tinggi. Mahasiswa dalam sejarahnya telah membuktikan diri sebagai agen perubahan. Proses transformasi ini sangat bersifat mulia dan memiliki misi yang berat. Dan ini tidak bisa dibebankan hanya pada ospek belaka. Ospek hanyalah sebuah pintu masuk dunia baru. Beban berat ospek harus diakhiri. Ospek harus ditempatkan pada tempatnya. Sebagian besar beban berat ospek harus dicover oleh aktifitas organisasi kemahasiswaan.

Ospek dengan segala sakralitasnya hanyalah sebuah kegiatan mubazir bila outputnya hanya sekedar rutinitas belaka. Ospek akan mubazir bila pasca ospek ternyata hanya sedikit yang berminat menjadi aktifitas kemahasiswaan.

Reorientasi ospek sudah mutlak dilakukan. Ospek harus terukur, sistematis, terawasi dengan baik dan punya langkah antisipatif terhadap kondisi terburuk yang akan terjadi.

Salam ospek.

Rahmad Daulay

7 januari 2014.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar