Senin, 13 Januari 2014

Pipa Distribusi BBM Antar Kota



Tahun baru 2014 ditandai dengan rencana kenaikan harga elpiji tabung 12 kg. Semula direncanakan kenaikan harga elpiji tabung 12 kg tersebut sebesar 60 % atau sekitar kurang lebih Rp. 160 ribu pertabung 12 kg. kenaikan harga ini diakibatkan dari kerugian yang dialami pertamina kira-kira Rp. 5 ribu/kg gas epiji. Namun akibat rencana kenaikan harga ini kurang memperhitungkan aspek sosial di mana kurangnya perhitungan akan peralihan minat pasar dari elpiji tabung 12 kg ke elpiji tabung 3 kg sehingga alih-alih ingin menghilangkan kerugian produksi namun yang terjadi ternyata kerugian makin bengkak akibat tidak akan lakunya elpiji tabung 12 kg dan banjirnya pembelian elpiji tabung 3 kg. Atas masukan berbagai pihak maka pertamina merevisi kenaikan harga tersebut menjadi Rp. 1.000/kg untuk elpiji tabung 12 kg.

Salah satu kesimpulan yang bisa saya ambil adalah bahwa kerugian Pertamina pada produksi elpiji 12 kg dipandang sebagai perbedaan nilai jual dengan nilai produksi semata tanpa memperhitungkan inefisiensi yang terjadi di aspek lainnya. Dan yang perlu diingat adalah bahwa produksi Pertamina bukan hanya gas elpiji semata namun hanya salah satu produk dari berbagai produk yang dihasilkan Pertamina. Menutupi kerugian produksi elpiji tabung 12 kg bisa dilakukan dengan mengurangi inefisiensi di produksi lain. Secara keseluruhan produk maka Pertamina masih dinyatakan untung.


Salah satu inefisiensi yang terjadi adalah transportasi pengangktan BBM antar kota yang dilakukan dengan transportasi darat dengan mobil tangki BBM. Dari pos Pertamina disuplai BBM ke seluruh SPBU melalui transportasi darat dengan memakai mobil tangki BBM, baik itu untuk solar, premium maupun pertamax. Bayangkan bila suplai BBM ke seluruh SPBU dilakukan dengan melalui pipa minyak antar kota. Dari kilang BBM disuplai ke seluruh Indonesia melalui kapal tanker kemudian dipindahkan ke penyimpanan minyak Pertamina yang biasanya berada di ibukota propinsi. Dari ibukota propinsi BBM didistribusikan ke seluruh SPBU di propinsi tersebut melalui angkutan darat memakai mobil tangki BBM setiap hari.

Contoh kasus adalah di propinsi Sumatra Utara. Propinsi Sumatra Utara memiliki 26 daerah kabupaten dan 7 kota dengan total 266 SPBU. Setiap SPBU pasti menjual premium dan solar, hanya sebagian yang menjual pertamax terutama SPBU perkotaan. Berarti minimal setiap SPBU mendapat suplai minimal 1 mobil tangki BBM premium dan 1 mobil tangki BBM solar setiap harinya. Sedangkan mobil tangki BBM pengangkut pertamax tergantung kebutuhan pemesanan karena penjualannya masih terbatas. Kapal tanker pembawa BBM akan singgah di pelabuhan Belawan Medan dan BBM diturunkan dan disimpan di gudang besar minyak Pertamina. dari gudang besar minyak Pertamina di Medan BBM didistribusikan ke seluruh SPBU yang berjumlah 266 tersebut. Medan berada di paling utara Propinsi Sumatra Utara. Sedangkan SPBU paling jauh ada di Kabupaten Mandailing Natal sebagai kabupaten paling selatan propinsi Sumatra Utara dengan jumlah 7 SPBU. Ibukota kabupaten Mandailing Natal bernama Panyabungan berjarak 480 KM dari Medan. Berarti minimal 7 mobil tangki BBM premium dan 7 mobil tanki BBM solar setiap hari harus berangkat mengambil BBM dari Panyabungan ke Medan. Akibat dari kondisi alam perbukitan dan kondisi jalan banyak yang rusak maka jarak 480 km tersebut hanya bisa ditempuh paling cepat 12 jam perjalanan darat. Bila diasumsikan biaya perjalanan 1 mobil tangki BBM sebesar Rp. 1 juta (BBM, upah supir, konsumsi dll) sekali berangkat pulang pergi maka setiap hari biaya pengangkutan mobil tangki BBM sebesar Rp. 1 juta X 14 mobil tangki sama dengan Rp. 14 juta rupiah. Dalam satu tahun berarti Rp. 5.110 juta rupiah atau Rp. 5,11 milyar rupiah. Seandainya uang sebesar itu dibelikan pipa minyak seharga Rp. 1 juta perbatang ukuran 6 meter maka sudah bisa dibelikan 5.110 meter pipa minyak atau 851 buah pipa minyak ukuran 6 meter berdiameter sedang. Dengan asumsi dan hitungan kasar tadi maka total biaya pengangkutan BBM dengan mobil tangki BBM dari Medan ke seluruh SPBU selama 1 tahun sudah bisa menutupi pembelian pipa minyak. Bagaimana kalau 2 tahun ? 3 tahun ? 10 tahun ? 100 tahun ?

Perlu dilakukan pengkajian sosial dan teknis serta ekonomis tentang kelayakan penggantian transportasi distribusi BBM dari ibukota propinsi ke seluruh SPBU di wilayahnya dari semula melalui transportasi darat memakai mobil tangki BBM digantikan dengan melalui pipa minyak antar kota. Mobil tangki BBM cukup dipakai dari pos distribusi kota menuju SPBU. Salah satu kelemahannya adalah rawan pencurian dan sabotase. Hal ini bisa diminimalisir dengan pembuatan jalur pipa minyak pada jalan negara yang berlalu lintas padat ditambah dengan pelaksanaan razia setiap hari serta menghitung keakuratan perbandingan antara volume permintaan dan distribusi.

Saya yakin dan percaya jalur pipa minyak akan jauh lebih ekonomis baik itu dalam jangka pendek, menengah apalagi jangka panjang. Efisiensi jauh lebih penting daripada menaikkan harga jual produk.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

13 januari 2014.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar