Tahun baru 2014 ditandai dengan
rencana kenaikan harga elpiji tabung 12 kg. Semula direncanakan kenaikan harga
elpiji tabung 12 kg tersebut sebesar 60 % atau sekitar kurang lebih Rp. 160
ribu pertabung 12 kg. kenaikan harga ini diakibatkan dari kerugian yang dialami
pertamina kira-kira Rp. 5 ribu/kg gas epiji. Namun akibat rencana kenaikan
harga ini kurang memperhitungkan aspek sosial di mana kurangnya perhitungan
akan peralihan minat pasar dari elpiji tabung 12 kg ke elpiji tabung 3 kg
sehingga alih-alih ingin menghilangkan kerugian produksi namun yang terjadi
ternyata kerugian makin bengkak akibat tidak akan lakunya elpiji tabung 12 kg
dan banjirnya pembelian elpiji tabung 3 kg. Atas masukan berbagai pihak maka
pertamina merevisi kenaikan harga tersebut menjadi Rp. 1.000/kg untuk elpiji
tabung 12 kg.
Salah satu kesimpulan yang bisa
saya ambil adalah bahwa kerugian Pertamina pada produksi elpiji 12 kg dipandang
sebagai perbedaan nilai jual dengan nilai produksi semata tanpa memperhitungkan
inefisiensi yang terjadi di aspek lainnya. Dan yang perlu diingat adalah bahwa
produksi Pertamina bukan hanya gas elpiji semata namun hanya salah satu produk
dari berbagai produk yang dihasilkan Pertamina. Menutupi kerugian produksi
elpiji tabung 12 kg bisa dilakukan dengan mengurangi inefisiensi di produksi
lain. Secara keseluruhan produk maka Pertamina masih dinyatakan untung.
Salah satu inefisiensi yang
terjadi adalah transportasi pengangktan BBM antar kota yang dilakukan dengan
transportasi darat dengan mobil tangki BBM. Dari pos Pertamina disuplai BBM ke
seluruh SPBU melalui transportasi darat dengan memakai mobil tangki BBM, baik
itu untuk solar, premium maupun pertamax. Bayangkan bila suplai BBM ke seluruh
SPBU dilakukan dengan melalui pipa minyak antar kota. Dari kilang BBM disuplai
ke seluruh Indonesia melalui kapal tanker kemudian dipindahkan ke penyimpanan
minyak Pertamina yang biasanya berada di ibukota propinsi. Dari ibukota
propinsi BBM didistribusikan ke seluruh SPBU di propinsi tersebut melalui
angkutan darat memakai mobil tangki BBM setiap hari.
Contoh kasus adalah di propinsi
Sumatra Utara. Propinsi Sumatra Utara memiliki 26 daerah kabupaten dan 7 kota
dengan total 266 SPBU. Setiap SPBU pasti menjual premium dan solar, hanya
sebagian yang menjual pertamax terutama SPBU perkotaan. Berarti minimal setiap
SPBU mendapat suplai minimal 1 mobil tangki BBM premium dan 1 mobil tangki BBM
solar setiap harinya. Sedangkan mobil tangki BBM pengangkut pertamax tergantung
kebutuhan pemesanan karena penjualannya masih terbatas. Kapal tanker pembawa
BBM akan singgah di pelabuhan Belawan Medan dan BBM diturunkan dan disimpan di
gudang besar minyak Pertamina. dari gudang besar minyak Pertamina di Medan BBM
didistribusikan ke seluruh SPBU yang berjumlah 266 tersebut. Medan berada di
paling utara Propinsi Sumatra Utara. Sedangkan SPBU paling jauh ada di
Kabupaten Mandailing Natal sebagai kabupaten paling selatan propinsi Sumatra
Utara dengan jumlah 7 SPBU. Ibukota kabupaten Mandailing Natal bernama Panyabungan
berjarak 480 KM dari Medan. Berarti minimal 7 mobil tangki BBM premium dan 7
mobil tanki BBM solar setiap hari harus berangkat mengambil BBM dari Panyabungan
ke Medan. Akibat dari kondisi alam perbukitan dan kondisi jalan banyak yang
rusak maka jarak 480 km tersebut hanya bisa ditempuh paling cepat 12 jam
perjalanan darat. Bila diasumsikan biaya perjalanan 1 mobil tangki BBM sebesar
Rp. 1 juta (BBM, upah supir, konsumsi dll) sekali berangkat pulang pergi maka
setiap hari biaya pengangkutan mobil tangki BBM sebesar Rp. 1 juta X 14 mobil
tangki sama dengan Rp. 14 juta rupiah. Dalam satu tahun berarti Rp. 5.110 juta
rupiah atau Rp. 5,11 milyar rupiah. Seandainya uang sebesar itu dibelikan pipa
minyak seharga Rp. 1 juta perbatang ukuran 6 meter maka sudah bisa dibelikan
5.110 meter pipa minyak atau 851 buah pipa minyak ukuran 6 meter berdiameter
sedang. Dengan asumsi dan hitungan kasar tadi maka total biaya pengangkutan BBM
dengan mobil tangki BBM dari Medan ke seluruh SPBU selama 1 tahun sudah bisa
menutupi pembelian pipa minyak. Bagaimana kalau 2 tahun ? 3 tahun ? 10 tahun ?
100 tahun ?
Perlu dilakukan pengkajian sosial
dan teknis serta ekonomis tentang kelayakan penggantian transportasi distribusi
BBM dari ibukota propinsi ke seluruh SPBU di wilayahnya dari semula melalui
transportasi darat memakai mobil tangki BBM digantikan dengan melalui pipa
minyak antar kota. Mobil tangki BBM cukup dipakai dari pos distribusi kota
menuju SPBU. Salah satu kelemahannya adalah rawan pencurian dan sabotase. Hal
ini bisa diminimalisir dengan pembuatan jalur pipa minyak pada jalan negara yang
berlalu lintas padat ditambah dengan pelaksanaan razia setiap hari serta
menghitung keakuratan perbandingan antara volume permintaan dan distribusi.
Saya yakin dan percaya jalur pipa
minyak akan jauh lebih ekonomis baik itu dalam jangka pendek, menengah apalagi
jangka panjang. Efisiensi jauh lebih penting daripada menaikkan harga jual
produk.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
13 januari 2014.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar