Macet dan banjir adalah penyakit
kronis Jakarta. Kini banjir tersebut menjadi pusat perhatian media elektronik
apalagi mengingat tahun 2014 sebagai tahun politik terasa sekali mengganggu
kepemimpinan Jokowi – Ahok walaupun sebenarnya banjir Jakarta bukanlah kejadian
yang berdiri sendiri. Banjir Jakarta adalah akhir dari perjalanan air yang
tumpah dari langit yang bernama hujan yang memiliki curah hujan tinggi yang
jatuh di beberapa dataran tinggi hulu sungai di luar Jakarta dan sungai
tersebut mengalir ke hilir yang berlokasi di Jakarta.
Banyak faktor yang menyebabkan
banjir Jakarta, mulai dari curah hujan yang cukup tinggi melebihi biasanya,
kemampuan tanah yang semakin rendah daya serapnya terhadap air, semakin
sempitnya ruang terbuka hijau, semakin rendahnya volume dan daya alir air di
sungai/waduk/kanal/drainase, permukaan tanah yang terus turun, permukaan air
laut yang naik, dan sebab lainnya. Kali ini saya ingin menyoroti masalah
rendahnya volume dan daya alir air di sungai, waduk, kanal dan drainase.
Air hujan secara alami akan
bercampur dengan tanah dan menimbulkan sedimentasi pada area yang dilewatinya.
Sedimentasi secara perlahan akan memperkecil kemampuan mengalirkan air.
Sedimentasi akan semakin parah apabila bercampur dengan sampah yang menyebabkan
sampah berhenti di dasar sungai atau drainase dan memperlambat daya alir air.
Sampah adalah fenomena perkotaan.
Tapi itu dulu. Kini sampah sudah menjadi fenomena pedesaan. Dulu biasanya rumah
tangga pada sore hari menyapu halaman rumahnya dan membakar sampah. Sampah
dibakar dengan memakai minyak tanah. Mengingat volume sampah yang tidak terlalu
banyak dan dibakar setiap hari maka asap yang ditimbulkan juga berfungsi
sebagai pemberantas nyamuk. Kala itu minyak tanah masih sangat murah. Membakar
sampah dengan menghabiskan 1 botol minyak tanah setiap hari bukanlah masalah.
Itu biasa. Sekarang, minyak tanah sudah mahal akibat dicabutnya subsidi minyak
tanah. Minyak tanah di beberapa tempat justru sudah lebih mahal dari pertamax. Belum
lagi program tabung gas 3 kg dipaksakan dengan mempersepit pemasaran minyak
tanah sehingga minyak tanah sulit diperoleh di pasaran. Efek samping yang tak
pernah diduga sebelumnya adalah sudah jarang masyarakat membakar sampah akibat
mahal dan sulitnya memperoleh minyak tanah. Sampah dibiarkan menumpuk di
pinggir jalan atau dengan seenaknya membuang ke saluran air terdekat. Bahkan
saya melihat sendiri bagaimana sampah dalam tas plastik besar dibuang secara
paksa ke saluran air kecil dan sampah itupun berjalan perlahan mengikuti aliran
air. Drainase dan sungai sudah menjadi tong sampah terbesar di dunia. Bisa
dibayangkan apabila masyakarakat mulai dari hulu drainase dan sungai membuang
sampah dan sampah mengalir dan menumpuk di hilir. Inilah yang dialami oleh Jakarta,
selain menjadi hilir air sungai juga menjadi hilir sampah.
Ini tak perlu disesali,
pemerintah harus memutar otak lebih keras lagi. Permasalahan sampah takkan bisa
diselesaikan dengan aturan dan sangsi yang keras seperti denda jutaan kepada
masyarakat yang membuang sampah di sungai. Apa cukup SDM pemerintah untuk
mengawasi seluruh rakyat yang membuang sampah di sungai ?
Hal pertama yang harus dilakukan
adalah pencegahan pembuangan sampah ke drainase dan sungai. Gerakan harus
dimulai dari wilayah terkecil yaitu rumah tangga. Proses ini dijalankan
langsung oleh tingkat desa dan kelurahan. Penanganan sampah bisa dilakukan
dengan memberi harga kepada sampah. Perlu dilakukan pembinaan dan melahirkan
pemulung sampah terlatih yang bekerja dan berkeliling setiap 1 kali 1 jam
mengangkat sampah rumah tangga. Pemulung terlatih ini membuat perjanjian dengan
setiap rumah tangga untuk memberikan sampahnya kepada pemulung terlatih
tersebut karena setiap sampah yang dikumpulkan dan diangkut oleh pemulung
terlatih dihargai misalnya seribu rupiah perkg. Apakah akan terjadi sistem bagi
hasil antara rumah tangga tersebut dengan pemulung terlatih itu urusan mereka,
yang penting harus terjadi transaksi sampah antara rumah tangga dengan pemulung
terlatih. Setiap sore para pemulung terlatih mengumpulkan perolehan sampahnya
di tempat yang ditentukan, bila perlu 1 posko sampah di setiap desa /
kelurahan. Kumpulan sampah tersebut dibayarkan oleh dinas kebersihan sesuai
volume dan harganya dan kemudian dibawa ke tempat pembuangan akhir atau diolah
dan didaur ulang. Metode seperti ini harus didukung oleh anggaran yang memadai.
Hal kedua yang bisa dilakukan
adalah apabila pemulung terlatih tidak bisa menjangkau seluruh pojok wilayah
masyarakat maka sebagian masyarakat akan tetap membuang sampah di sungai atau
drainase. Maka hal ini harus dilakukan penyaringan sampah secara bertahap dari
hulu ke hilir. Artinya sampah jangan dibiarkan berjalan dari hulu ke hilir.
Sampah disaring secara bertahap misalnya setiap 1 km sungai atau setiap 100
meter drainase dibuat saringan sehingga sampah akan menumpuk pada saringan
sungai atau drainase dan secara berkala dilakukan pembersihan dan pengangkutan
sampah serta bila lokasinya memungkinkan di dekat saringan sampah tersebut
dibuat pengolahan sampah terpadu.
Dua hal sederhana di atas bila
dijalankan secara efektif, konsisten dan terpadu serta didukung anggaran yang
mencukupi maka akan memperkecil kekuatan sampah dalam memperkecil volume dan
daya alir air di sungai atau drainase sehingga bila terjadi hujan dengan curah
hujan tinggi maka air bisa mengalir dengan cepat dan walaupun terjadi banjir
maka waktu banjirnya bisa lebih singkat.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
23 januari 2014
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar