Kamis, 23 Januari 2014

Banjir Jakarta dan Sampah



Macet dan banjir adalah penyakit kronis Jakarta. Kini banjir tersebut menjadi pusat perhatian media elektronik apalagi mengingat tahun 2014 sebagai tahun politik terasa sekali mengganggu kepemimpinan Jokowi – Ahok walaupun sebenarnya banjir Jakarta bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Banjir Jakarta adalah akhir dari perjalanan air yang tumpah dari langit yang bernama hujan yang memiliki curah hujan tinggi yang jatuh di beberapa dataran tinggi hulu sungai di luar Jakarta dan sungai tersebut mengalir ke hilir yang berlokasi di Jakarta.

Banyak faktor yang menyebabkan banjir Jakarta, mulai dari curah hujan yang cukup tinggi melebihi biasanya, kemampuan tanah yang semakin rendah daya serapnya terhadap air, semakin sempitnya ruang terbuka hijau, semakin rendahnya volume dan daya alir air di sungai/waduk/kanal/drainase, permukaan tanah yang terus turun, permukaan air laut yang naik, dan sebab lainnya. Kali ini saya ingin menyoroti masalah rendahnya volume dan daya alir air di sungai, waduk, kanal dan drainase.

Air hujan secara alami akan bercampur dengan tanah dan menimbulkan sedimentasi pada area yang dilewatinya. Sedimentasi secara perlahan akan memperkecil kemampuan mengalirkan air. Sedimentasi akan semakin parah apabila bercampur dengan sampah yang menyebabkan sampah berhenti di dasar sungai atau drainase dan memperlambat daya alir air.


Sampah adalah fenomena perkotaan. Tapi itu dulu. Kini sampah sudah menjadi fenomena pedesaan. Dulu biasanya rumah tangga pada sore hari menyapu halaman rumahnya dan membakar sampah. Sampah dibakar dengan memakai minyak tanah. Mengingat volume sampah yang tidak terlalu banyak dan dibakar setiap hari maka asap yang ditimbulkan juga berfungsi sebagai pemberantas nyamuk. Kala itu minyak tanah masih sangat murah. Membakar sampah dengan menghabiskan 1 botol minyak tanah setiap hari bukanlah masalah. Itu biasa. Sekarang, minyak tanah sudah mahal akibat dicabutnya subsidi minyak tanah. Minyak tanah di beberapa tempat justru sudah lebih mahal dari pertamax. Belum lagi program tabung gas 3 kg dipaksakan dengan mempersepit pemasaran minyak tanah sehingga minyak tanah sulit diperoleh di pasaran. Efek samping yang tak pernah diduga sebelumnya adalah sudah jarang masyarakat membakar sampah akibat mahal dan sulitnya memperoleh minyak tanah. Sampah dibiarkan menumpuk di pinggir jalan atau dengan seenaknya membuang ke saluran air terdekat. Bahkan saya melihat sendiri bagaimana sampah dalam tas plastik besar dibuang secara paksa ke saluran air kecil dan sampah itupun berjalan perlahan mengikuti aliran air. Drainase dan sungai sudah menjadi tong sampah terbesar di dunia. Bisa dibayangkan apabila masyakarakat mulai dari hulu drainase dan sungai membuang sampah dan sampah mengalir dan menumpuk di hilir. Inilah yang dialami oleh Jakarta, selain menjadi hilir air sungai juga menjadi hilir sampah.

Ini tak perlu disesali, pemerintah harus memutar otak lebih keras lagi. Permasalahan sampah takkan bisa diselesaikan dengan aturan dan sangsi yang keras seperti denda jutaan kepada masyarakat yang membuang sampah di sungai. Apa cukup SDM pemerintah untuk mengawasi seluruh rakyat yang membuang sampah di sungai ?

Hal pertama yang harus dilakukan adalah pencegahan pembuangan sampah ke drainase dan sungai. Gerakan harus dimulai dari wilayah terkecil yaitu rumah tangga. Proses ini dijalankan langsung oleh tingkat desa dan kelurahan. Penanganan sampah bisa dilakukan dengan memberi harga kepada sampah. Perlu dilakukan pembinaan dan melahirkan pemulung sampah terlatih yang bekerja dan berkeliling setiap 1 kali 1 jam mengangkat sampah rumah tangga. Pemulung terlatih ini membuat perjanjian dengan setiap rumah tangga untuk memberikan sampahnya kepada pemulung terlatih tersebut karena setiap sampah yang dikumpulkan dan diangkut oleh pemulung terlatih dihargai misalnya seribu rupiah perkg. Apakah akan terjadi sistem bagi hasil antara rumah tangga tersebut dengan pemulung terlatih itu urusan mereka, yang penting harus terjadi transaksi sampah antara rumah tangga dengan pemulung terlatih. Setiap sore para pemulung terlatih mengumpulkan perolehan sampahnya di tempat yang ditentukan, bila perlu 1 posko sampah di setiap desa / kelurahan. Kumpulan sampah tersebut dibayarkan oleh dinas kebersihan sesuai volume dan harganya dan kemudian dibawa ke tempat pembuangan akhir atau diolah dan didaur ulang. Metode seperti ini harus didukung oleh anggaran yang memadai.

Hal kedua yang bisa dilakukan adalah apabila pemulung terlatih tidak bisa menjangkau seluruh pojok wilayah masyarakat maka sebagian masyarakat akan tetap membuang sampah di sungai atau drainase. Maka hal ini harus dilakukan penyaringan sampah secara bertahap dari hulu ke hilir. Artinya sampah jangan dibiarkan berjalan dari hulu ke hilir. Sampah disaring secara bertahap misalnya setiap 1 km sungai atau setiap 100 meter drainase dibuat saringan sehingga sampah akan menumpuk pada saringan sungai atau drainase dan secara berkala dilakukan pembersihan dan pengangkutan sampah serta bila lokasinya memungkinkan di dekat saringan sampah tersebut dibuat pengolahan sampah terpadu.

Dua hal sederhana di atas bila dijalankan secara efektif, konsisten dan terpadu serta didukung anggaran yang mencukupi maka akan memperkecil kekuatan sampah dalam memperkecil volume dan daya alir air di sungai atau drainase sehingga bila terjadi hujan dengan curah hujan tinggi maka air bisa mengalir dengan cepat dan walaupun terjadi banjir maka waktu banjirnya bisa lebih singkat.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

23 januari 2014

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar