BBM dan kenderaan adalah dua hal
yang bisa dipisahkan. Laju pertambahan jumlah kenderaan akan linear dengan laju
kebutuhan BBM. Meningkatnya taraf hidup masyarakat akan membawa konsekuensi
pemenuhan kebutuhan akan kenderaan baik kenderaan roda dua maupun kenderaan
roda empat. Kenderaan di samping berfungsi sebagai kebutuhan primer juga
berfungsi rekreatif. Jalan-jalan sore atau berdarmawisata akan lebih santai
bila memakai kenderaan sendiri. Apalagi di zaman serba cicilan sekarang ini dengan
banyaknya jasa dan bisnis penopang cicilan barang menyebabkan semakin
berkembangnya bisnis kenderaan. Di tambah dengan timpangnya pembangunan antara
kota dan desa serta antar kota itu sendiri menjadikan pertumbuhan jumlah
kenderaan di samping menjadi penyebab kemacetan jalan juga menjadikan tingginya
kebutuhan konsumsi BBM kenderaan yang membawa konsekuensi tingginya subsidi
untuk BBM.
Subsidi BBM membuat pusing
pemerintah. Solusi yang dipikirkan dan ditawarkan selalu saja solusi pemindahan
beban dari pundak pemerintah ke pundak rakyat. Seharusnya solusinya adalah
dengan membenahi manajemen transportasi dan memperbanyak jumlah transportasi
massal.
Salah satu rencana solusi yang
akan diambil untuk mengurangi beban APBN untuk subsidi BBM adalah akan membuat
pola subsidi tetap BBM. Akan terjadi perubahan pola subsidi dari semula harga
dipatok tetap dengan subsidi naik turun mengikuti harga pasar dunia menjadi kebalikannya
yaitu subsidi dipatok tetap dengan harga jual naik turun. Misalnya dipatok
subsidi tetap seribu atau dua ribu rupiah perliter sedangkan harga jual akan
naik turun mengikuti harga pasar dunia.
Kembali pemerintah memberi solusi
yang terlalu matematis dan tidak memikirkan dampak sosial yang akan terjadi.
BBM masih menjadi salah satu poin penting dalam komponen produksi barang dan
jasa sektor riel. Stabilitas harga BBM akan ikut menentukan stabilitas harga di
pasaran. Bila rencana subsidi tetap BBM jadi dijalankan maka akan mengakibatkan
biaya produksi yang memakai BBM akan naik turun tidak stabil. Bisa saja pada
waktu proses produksi barang harga BBM naik dan ketika akan menjual barang
ternyata harga BBM turun sehingga proses perdagangan akan membawa kerugian.
Sebagai pengusaha tentu tidak mau rugi. Barang produksi yang sudah terlanjur
diproduksi dengan biaya tinggi akan disimpan di gudang menunggu harga BBM naik
agar bisnis bisa untung. Kondisi ini akan membuat barang langka di pasaran.
Demikian juga sebaliknya bila pada waktu proses produksi harga BBM turun tapi
pada waktu akan dipasarkan ternyata harga BBM naik maka pengusaha tersebut akan
untung besar. Di sektor transportasi publik juga akan terjadi kekacauan di mana
ongkos transportasi juga akan naik turun. Ketidakpastian ongkos transportasi
ini bisa menciptakan konflik di lapangan antara penumpang dan supir. Di SPBU
juga akan terjadi kelangkaan BBM pada waktu pengusaha SPBU akan menjual rugi,
tentu mereka tak mau rugi dan akan memilih menimbun BBM sampai harga naik
kembali. Dan masih banyak lagi kemungkinan kekacauan perdagangan barang di
masyarakat.
Di sisi pemerintah sendiri
sebenarnya akan banyak dirugikan terutama pada tender dan kontrak pengadaan
barang/jasa. Bisa dibayangkan bila ketika proses tender harga masih wajar namun
pasca tender dan pada pelaksanaan kontrak harga barang mendadak naik maka
pelaksana kontrak akan rugi atau akan memutus kontrak akibat tidak sanggup
menanggung kerugian. Dan sebaliknya bila pada waktu proses tender harga naik
dan pasca tender dan pelaksanaan kontrak harga turun maka pihak pelaksana
kontrak akan dituduh mark up harga dan akan berurusan dengan pihak penegak
hukum, bahkan dengan KPK.
Pengalaman tentang kenaikan harga
elpiji yang semula terlalu matematis ekonomis yang akhirnya harus mengalami
revisi akibat tekanan sosial seharusnya menjadi pelajaran berharga terhadap pemerintah
dalam merumuskan kebijakan harga yang akan dibebankan ke rakyat. Pertimbangan
sosial harus berada di atas pertimbangan matematis ekonomis.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
24 januari 2014
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar