Jumat, 24 Januari 2014

Manajemen Dana Bencana Alam



Dalam beberapa kejadian bencana alam pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terkesan gagap melakukan penanganan bencana alam. Salah satu sebabnya adalah ketidakcukupan anggaran penanganan bencana alam. Anggaran yang tidak mencukupi sangat membelenggu gerakan penanganan bencana alam.

Bila kita telaah UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pada pasal 27 ayat (4) dan pasal 28 ayat (4) menyebutkan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam keadaan darurat dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN/APBD dan atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. Pada penjelasan dijelaskan bahwa pengeluaran belanja untuk keperluan mendesak kriterianya ditetapkan dalam UU tentang APBN atau peraturan daerah tentang APBD.

Pasal di atas diterjemahkan lebih lanjut pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 162 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD. Hanya saja pasal ini kemudian dibelenggu oleh dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa pengeluaran yang belum tersedia anggarannya hanya menggunakan pos belanja tak terduga, penjadwalan ulang program/kegiatan dan memanfaatkan uang kas yang tersedia.


Hal ini diperparah lagi oleh Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah pasal 13 yang melarang pejabat pembuat komitmen (dulu pimpro) untuk tidak boleh mengadakan kontrak pengadaan apabila belum tersedia anggarannya.

UU tentang keuangan negara telah memberi ruang gerak yang sangat luas tentang penganggaran penanganan bencana alam namun ruang gerak yang sangat luas itu dibelenggu oleh peraturan teknis di bawahnya baik itu peraturan presiden tantang pengadaan barang/jasa pemerintah maupun peraturan menteri dalam negeri tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Hal ini membuat para kepala daerah tergagap menangani bencana alam yang terjadi di daerahnya. Kurangnya antisipasi terhadap terjadinya bencana alam di daerahnya dalam bentuk minimnya anggaran cadangan biaya tak terduga seharusnya bisa dicover dengan memakai payung hukum UU keuangan negara tersebut.

Saya melihat bahwa diperlukan payung hukum yang lebih fleksibel dan sesuai dengan situasi kondisi pada saat bencana alam terjadi dan diterjemahkan dalam sebuah peraturan teknis dan aplikatif. Situasi kondisi bencana alam biasanya situasi tidak normal baik metode kerja, ketersediaan barang, harga barang cenderung naik, transportasi terganggu, administrasi kacau balau dan lain sebagainya. Sulit untuk mengharapkan tata kelola administrasi berjalan dengan baik, harga normal, transportasi lancar, bekerja dengan lancar. Oleh karena itu payung hukum yang fleksibel ini harus disusun oleh para penyelenggara negara yang sudah berpengalaman menangani kejadian bencana alam. Bila payung hukum ini disusun oleh para penyelenggara negara yang tidak pernah menangani kejadian bencana alam dan hanya birokrat yang terbiasa duduk di belakang meja maka payung hukum tersebut tidak akan aplikatif dan tidak terterapkan di lapangan sehingga bila dijalankan akan menjerat para penyelenggaranya ke meja penegak hukum. Pengganggaran tidak terduga selain berasal dari dana cadangan, penjadwalan ulang program kegiatan dan kas negara/daerah juga harus memungkinkan untuk melakukan dana pinjaman kepada pihak yang bisa dipertanggungjawabkan seperti pinjaman dana swasta, perbankan, yayasan sosial, pinjaman dana cadangan antar pemerintah daerah dan lainnya sehingga permasalahan dana bisa luwes dan fleksibel.

Hal lain selain penggaran adalah kerjasama antar lembaga negara seperti badan penanggulangan bencana pusat/daerah, TNI, Polri, Satpol PP, Kesbang Linmas, SAR, PMI di mana metode kerja antar mereka harus diatur sedemikian rupa dalam bentuk standar operasional dan prosedur tetap dan telah menjalani pelatihan berkali-kali sehingga ketika terjadi bencana alam mereka semua bisa bergerak cepat menangani bencana alam. Jangan sampai mereka bergerak secara sendiri-sendiri.

Selain SOP juga diperlukan peralatan standar yang harus sudah tersedia sebelumnya dan bila belum tersedia bisa memakai peralatan dari instansi pemerintah terdekat atau meminjam dari swasta. Kendala peralatan juga menjadi masalah tersendiri di lapangan.

Kondisi alam nusantara yang rentan terhadap bencana alam memerlukan sebuah kelembagaan penanganan bencana alam yang tangguh yang didukung ketersediaan dana yang cukup dan fleksibel serta SDM terlatih disertai peralatan mendukung.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

24 januari 2014.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar