Jumat, 04 Oktober 2019

Menggagas Asuransi Pengadaan Dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


          Pengadaan barang/jasa pemerintah dimulai dari proses perencanaan pengadaan, penyusunan anggaran, pelaksanaan tender, pelaksanaan kontrak, serah terima pekerjaan dan masa pemeliharaan. Dalam perjalanannya pengadaan pengadaan barang/jasa penuh dengan dinamika permasalahan hukum. Dinamika ini bisa diakibatkan oleh kekalahan dalam proses tender, kualitas proyek yang kurang baik, serah terima pekerjaan sebelum waktunya, kerusakan bangunan pada masa pemeliharaan dan kerusakan pada masa pertanggungan kegagalan bangunan. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya permasalahan hukum dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Mulai dari faktor kualitas SDM, kriminalisasi pengadaan, adanya target pemberantasan tindak pidana korupsi dan persaingan usaha tidak sehat. Namun semua itu tetap membutuhkan penanganan serius mengingat sampai saat ini sebagian besar ASN sangat menjauhi penugasan di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Di samping menghindari permasalahan hukum yang akan terjadi, juga ketika terjadi permasalahan hukum tidak ada pembelaan yang serius dari pimpinan instansi tempatnya bekerja. Apalagi permasalahan hukum tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu maka diperlukan solusi sistemik dan terstruktur agar di satu sisi proses pengadaan barang/jasa pemerintah berjalan dengan baik, di sisi lain permasalahan hukum akibat proses pengadaan barang/jasa pemerintah juga bisa ditangani dengan baik. 
          Apapun bentuk pembangunan yang akan dilaksanakan, baik itu pembangunan di bidang infrastruktur, pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, peternakan, kelautan, perikanan dan lain sebagainya selalu diawali dengan tender pengadaan barang/jasa pemerintah. Selanjutnya dilakukan proses pelaksanaan kontrak, serah terima pekerjaan, masa pemeliharaan maupun masa garansi. Bentuk layanan masyarakat yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah juga membutuhkan pengadaan barang yang merupakan bagian penting dalam pelaksanaan layanan.
          Proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dilaksanakan oleh Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ), Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pem), Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP), Peyedia Barang/Jasa dan unsur penunjang seperti Panitia Peneliti Pelaksanaan Kontrak, Direksi Teknis, Direksi Lapangan dan staf pendukung.
          Rangkaian pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dimulai dari proses perencanaan anggaran di Tim Anggaran Pemerintah, di bawa ke DPR/DPRD, penetapan APBN/APBD, pengumuman rencana umum pengadaan, penetapan spesifikasi teknis/barang dan harga perkiraan sendiri (HPS), proses tender, penandatanganan kontrak dan pelaksanaannya, proses serah terima kegiatan/ hasil pekerjaan dan masa pemeliharaan/masa garansi.          
          Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah masih menjadi primadona dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengadaan barang/jasa pemerintah memang memiliki banyak kerawanan penyimpangan, mulai dari penyimpangan prosedur, penyimpangan anggaran dan penyimpangan kualitas produk. Semua penyimpangan ini bisa terjadi secara sengaja ataupun tidak disengaja. Semua penyimpangan ini berawal dari ketidakpuasan atas kekalahan pada proses tender. Fasilitas sanggahan dan pengaduan memang disediakan setelah penetapan pemenang tender. Mengingat proses tender masih bersifat administrasi maka pengaduan belum bisa ditindaklanjuti. Sehingga masih menunggu apakah akan terjadi permasalahan di pelaksanaan kontrak. Kualitas produk masih menjadi permasalahan utama di pelaksanaan kontrak. Apabila terjadi penyimpangan kualitas pada pelaksanaan kontrak maka pengaduan pada pelaksanaan tender sudah bisa ditindaklanjuti dengan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum (APH). Di samping masalah kualitas produk, sering juga terjadi penyimpangan anggaran berupa penggelembungan harga. Juga bisa terjadi penggelembungan volume. 

          Sebagai akibat dari potensi permasalahan hukum yang sangat luas jangkauannya pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut maka sebagian besar ASN sangat menjauhi penugasan di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Bukan hanya terjadi di tingkatan staf tapi juga terjadi pada tingkatan pejabat struktural. PA ataupun KPA akan berupaya mendelegasikan penandatanganan Kontrak kepada PPK. Sedangkan PPK akan berusaha juga agar penandatanganan Kontrak dilakukan oleh PA atau KPA. Sehingga sering terjadi anggaran tidak terserap sebagaimana mestinya baik itu mengalami keterlambatan maupun tidak terlaksana sama sekali.
          Tentunya apabila penyerapan anggaran terganggu maka proses pembangunan nasional juga akan terganggu. Untuk itu maka Mendagri dan Kapolri dan Jaksa Agung membuat Memorndum of Understanding (MOU) tentang Koordinasi Aparat Pengawas Internal Dengan Aparat Penegak Hukum Terkait Penanganan Laporan Atau Pengaduan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang ditindaklanjuti di tingkat Inspektorat Jenderal Kemendagri, Jampidsus Kejagung dan Kabareskrim Mabes Polri dan seterusnya ditindaklanjuti di tingkat Gubernur dengan Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kepolisian Daerah dan selanjutnya ditindaklanjuti di tingkat Bupati/Walikota dengan Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Kepolisian Resort. Hanya saja masih sering terjadi pengabaian MOU  tersebut. Namun dengan atau tanpa MOU tetap saja proses pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi momok yang menakutkan bagi ASN.  
          Dengan uraian di atas disimpulkan bahwa proses pengadaan barang/jasa pemerintah masih diikuti oleh permasalahan hukum yang menyertainya. Masalah ini dicoba diatasi dengan masuknya pasal pendampingan permasalahan hukum di Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pasal 84 yang mewajibkan instansi pemerintah wajib memberikan pelayanan hukum kepada Praktisi Pengadaan dalam menghadapi permasalahan hukum terkait pengadaan barang/jasa pemerintah. Namun pelayanan hukum tersebut baru diberikan sejak penyelidikan sampai tahap putusan pengadilan. Pasal ini masih banyak diabaikan oleh instansi pemerintah mengingat instansi yang melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah berbeda dengan instansi yang melaksanakan pelayanan hukum. Belum lagi kurangnya pemahaman tentang pengadaan barang/jasa pemerintah oleh pengacara yang disediakan oleh instansi pemerintah tersebut.
          Dalam banyak hal sering terjadi tidak adanya pelayanan hukum yang diberikan oleh instansi pemerintah kepada Praktisi Pengadaan yang terkena permasalahan hukum. Sehingga Praktisi Pengadaan harus mengurus sendiri permasalahannya. Tentu ini membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Mulai dari biaya pengacara, biaya operasional dan transportasi ke pengadilan tindak pidana korupsi, biaya menghadirkan saksi-saksi dan saksi ahli. Kesemuanya itu tentu sangat memberatkan bagi Praktisi Pengadaan. Padahal ketika Praktisi Pengadaan melaksanakan tugasnya di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah belum tentu mendapat honorarium dan imbalan yang memadai. Dengan keterbatasan biaya yang dimiliki tentu tidak bisa membayar pengacara yang memadai dalam menghadapi permasalahan hukum yang menimpanya.
          Untuk itu maka perlu dilakukan pembiayaan sistemik menyeluruh secara nasional terhadap permasalahan hukum yang menimpa para Praktisi Pengadaan. Pembiayaan sistemik menyeluruh ini dalam berbentuk Asuransi Pengadaan dan ditanggung oleh negara dalam komponen biaya Kontrak. Alokasi biaya Asuransi Pengadaan bisa masuk dalam komponen overhead. Biasanya komponen keuntungan dan overhead diberikan sebanyak 15 % dari total keseluruhan nilai Kontrak. Asurasi Pengadaan ini bisa dibentuk oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bekerjasama dengan organisasi ahli pengadaan atau bisa juga digabungkan dalam Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagai bentuk layanan baru. Bisa juga oleh asuransi swasta. Asuransi Pengadaan ini dibayarkan sekali dalam masa Kontrak dan diberlakukan layanan seumur hidup. Besaran premi Asuransi Pengadaan bisa disepakati antara 1-3 % bergantung dari besaran anggaran Kontrak. Layanan yang diberikan berupa semua biaya yang dibutuhkan ketika menghadapi permasalahan hukum pengadaan barang/jasa pemerintah mulai dari biaya transportasi, penginapan, konsumsi, baik kepada Praktisi Pengadaan maupun kepada para saksi, honorarium pengacara, saksi-saksi, saksi ahli dan lain sebagainya. Pengacara yang dipakai adalah pengacara tingkat nasional. Saksi ahli yang dihadirkan adalah saksi ahli yang berkualitas nasional baik saksi ahli teknis pengadaan maupun saksi ahli hukum pengadaan dari pakar hukum pidana, perdata dan tata usaha negara. Dengan demikian maka apabila terjadi permasalahan hukum terhadap Praktisi Pengadaan kapanpun itu terjadi, apakah ketika masih aktif sebagai ASN maupun ketika sudah pensiun maka semua biaya yang terjadi dalam penanganan permasalahan hukum tersebut menjadi tanggungan Asuransi Pengadaan.
          Negara harus bisa menjamin ketersediaan layanan penanganan permasalahan hukum secara sistemik yang terjadi pada para Praktisi Pengadaan. Bila negara tidak menjamin keselamatan hukum dari para Praktisi Pengadaan maka akan terjadi krisis ketersediaan Praktisi Pengadaan di tingkatan staf ataupun pejabat pada ASN. Bila ini terjadi maka penyerapan anggaran akan terlambat atau tidak terserap sama sekali. Ini akan berakibat pada terganggunya proses pembangunan nasional. Asuransi Pengadaan adalah salah satu terobosan yang akan merubah wajah penanganan hukum di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Asuransi Pengadaan bukan hanya sekedar solusipembiayaan semata tapi sudah menjadi solusi pembangunan nasional.
          Semoga !!!
         
Salam reformasi

4 Oktober 2019.

*    *    *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar