Senin, 24 Juni 2013

Desakralisasi Kenaikan Harga BBM


Kenapa rencana kenaikan harga BBM begitu sakral dan menghabiskan energi begitu besar terhadap bangsa ini ?

Tak lain dan tak bukan adalah diakibatkan beban berat APBN akibat kenaikan harga minyak dunia dibebankan begitu saja ke pundak rakyat dengan cara menaikkan harga BBM dalam negeri. Rakyat tidak bisa menerima argumen bahwa subsidi BBM salah sasaran yang katanya dinikmati oleh orang kaya. Padahal kenyataannya bila harga BBM dinaikkan toh semua harga ikut naik dan dampaknya paling dirasakan oleh orang miskin.

Saya berpikir apakah rakyat akan marah terhadap rencana kenaikan harga BBM apabila itu adalah jalan terakhir dan pemerintah ternyata telah menempuh semua cara lain selain menaikkan harga BBM ?

Pertanyaan ini cukup signifikan untuk menjawab pertanyaan apakah kabinet yang dipenuhi oleh para profesor doktor itu merupakan kumpulan para putra terbaik bangsa yang memiliki kemampuan lebih dan tidak hanya bisa menaikkan harga BBM tapi memiliki solusi lain yang lebih brilyan.

Terlalu naif apabila disebut ide brilyan karena ide selain menaikkan harga BBM telah berseliweran di tengah masyarakat. Maksimalisasi penerimaan negara, memperkecil kebocoran anggaran, efektifitas dan efisiensi anggaran dan pengembangan energi alternatif adalah solusi yang telah beredar di tengah - tengah masyarakat yang seharusnya ditempuh terlebih dahulu sebelum menaikkan harga BBM.


Pajak merupakan instrumen utama untuk menaikkan pendapatan negara. Belum maksimalnya upaya pengumpulan pajak, tingginya angka kebocoran pajak dan belum tergalinya bentuk penerimaan pajak baru merupakan PR kita semua. Menaikkan pajak kenderaan secara bervariasi sesuai harga dan merk mobil. Penambahan pajak terhadap kenderaan lebih dari satu kepemilikan. Rencahnya persentase saham negara atas investasi tambang di negara ini merupakan problema tersendiri yang sampai sekarang belum pernah teratasi. BUMN yang seharusnya merupakan pihak pengumpul pundi-pundi negara belum efektif dan efisien. Kebocoran anggaran baik itu dalam bentuk korupsi, kolusi tender, proyek tak berguna, pajak yang dimanipulasi, hingga politisasi anggaran menyebabkan anggaran bukan hanya bocor tapi tumpah dan sia-sia. Tidak adanya upaya sistemik terhadap pengembangan energi alternatif menyebabkan ketergantungan terhadap BBM belum teratasi. Kemacetan Jakarta merupakan salah satu pemborosan terbesar penggunaan bahan bakar kenderaan.

Oleh karena itu pemerintah perlu menjalin komunikasi yang efektif dengan semua pihak untuk memaksimalkan upaya mengatasi tingginya subsidi BBM tanpa harus menaikkan harga BBM. Apalagi presiden telah memberi instruksi terhadap beberapa perguruan tinggi untuk mengembangkan kenderaan nonBBM merupakan langkah yang harus diikuti di berbagai bidang. Sudah saatnya dianggarkan dana bantuan terhadap para mahasiswa yang mengerjakan skripsi/tugas akhir yang berbentuk pengembangan energi alternatif.

Saya yakin dan percaya Indonesia yang memiliki ribuan profesor, puluhan ribu doktor, ratusan ribu magsiter dan jutaan sarjana mampu memikirkan solusi atas subsidi BBM tanpa harus menaikkan harga BBM dalam negeri.

Namun perlu juga dipikirkan apabila harga BBM tidak pernah dinaikkan maka perbedaan harga BBM dalam dan luar negeri akan semakin jauh. Untuk itu perlu dipikirkan upaya perlahan menaikkan harga BBM dalam negeri tanpa harus memberatkan rakyat seperti menaikkan sebesar Rp. 50/bulan yang kumulatif pertahunnya Rp. 600/tahun.

salam reformasi.

Rahmad Daulay

3 april 2012

  •   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar