Rabu, 20 November 2013

UIN Baru dan Swasembada Pangan


Akhir tahun 2013 dunia pendidikan Indonesia mencatat sejarah baru dengan berubahnya status IAIN Ar Raniry Aceh menjadi Universitas Islam Negeri Ar Raniry Aceh. Dengan demikian maka UIN Ar Raniry Aceh menjadi UIN ketujuh setelah UIN Alaudin Makassar, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Sunan Gunung Jati Bandung, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, UIN Sultan Syarif Kasim Riau dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan beberapa IAIN lagi akan menyusul menjadi UIN.

Tentunya perubahan status dari IAIN menjadi UIN akan menambah luas cakupan fakultas dan jurusan sehingga membuka lebar dibentuknya fakultas dan jurusan non agama. Hal ini diharapkan akan menambah daya tampung perguruan tinggi negeri dalam menyerap tamatan sekolah menengah atas dalam menempuh jenjang pendidikan tinggi. Sampai saat ini tamatan sekolah menengah atas yang mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi belum beranjak dari angka kisaran sepertiga atau 33 % baik itu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta. Nah, keberadaan UIN baru diharapkan menambah kesempatan menempuh pendidikan terutama kepada pelajar berbakat tapi tak mampu secara ekonomi karena pendidikan tinggi identik dengan perkotaan dan perkotaan identik dengan biaya hidup tinggi sedangkan mahasiswa pada umumnya berasal dari pedesaan, kabupaten maupun kota kecil.


Yang menjadi ketimpangan antara perguruan tinggi negeri dan mahasiswanya salah satunya adalah sebagian besar atau boleh dikatakan semua PTN baik PTN Kemdikbud maupun PTN Kemenag berada di perkotaan yaitu di ibukota provinsi. Sedangkan sebagian besar mahasiswanya berasal dari pedesaan, kabupaten atau kota kecil seIndonesia. Sampai di sini masalahnya belum begitu krusial. Masalah menjadi krusial ketika fakultas dan jurusan di dalamnya ternyata memiliki habitat dan alam penerapan non perkotaan alias di pedesaan tapi tempat belajarnya di perkotaan seperti jurusan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan dan kelautan. Suasana perkotaan akan mematikan ruh alam pedesaan tempat habitat dan penerapan fakultas dan jurusan agraris dan maritim tersebut. Hal itu bisa terlihat ketika para sarjana berbasis pertanian justru tidak bekerja di bidang pertanian tapi justru bekerja di jenis pekerjaan perkotaan seperti bank, asuransi dan lainnya.

UIN baru harus dikelola dengan rekayasa sistematik di mana fakultas dan jurusan non agama yang akan dibentuk harus memiliki kesesuaian dengan tempat domisili kampusnya dan memiliki suasana kebatinan untuk menerapkan ilmunya di tempat yang semestinya. Fakultas dan jurusan baru berbasis agraris dan maritim seperti jurusan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan dan kelautan harus didirikan di daerah pedesaan sesuai potensi daerahnya. Dengan demikian maka selama 8 semester menempuh pendidikan mereka akan akrab dengan suasana pedesaan. Selain itu pula dilakukan rekayasa sistematis untuk menanamkan semangat wirausaha agraris dan maritim dengan memasukkan mata kuliah wirausaha dan prakteknya sehingga pada masa menjalani pendidikan mereka sudah direkayasa untuk bisa membuktikan bahwa wirausaha agraris dan maritim ternyata bisa menghasilkan uang banyak melebihi daripada menjadi karyawan di perusahaan.

Hal ini juga bisa mendukung pencapaian swasembada pangan yang kini menjadi masalah bangsa.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

20 november 2013.

  •   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar