Akhir tahun 2013 dunia pendidikan
Indonesia mencatat sejarah baru dengan berubahnya status IAIN Ar Raniry Aceh
menjadi Universitas Islam Negeri Ar Raniry Aceh. Dengan demikian maka UIN Ar
Raniry Aceh menjadi UIN ketujuh setelah UIN Alaudin Makassar, UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang, UIN Sunan Gunung Jati Bandung, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta,
UIN Sultan Syarif Kasim Riau dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan beberapa IAIN lagi akan menyusul menjadi UIN.
Tentunya perubahan status dari
IAIN menjadi UIN akan menambah luas cakupan fakultas dan jurusan sehingga
membuka lebar dibentuknya fakultas dan jurusan non agama. Hal ini diharapkan
akan menambah daya tampung perguruan tinggi negeri dalam menyerap tamatan
sekolah menengah atas dalam menempuh jenjang pendidikan tinggi. Sampai saat ini
tamatan sekolah menengah atas yang mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi belum beranjak dari angka kisaran sepertiga atau 33 % baik itu
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi
swasta. Nah, keberadaan UIN baru diharapkan menambah kesempatan menempuh
pendidikan terutama kepada pelajar berbakat tapi tak mampu secara ekonomi
karena pendidikan tinggi identik dengan perkotaan dan perkotaan identik dengan
biaya hidup tinggi sedangkan mahasiswa pada umumnya berasal dari pedesaan,
kabupaten maupun kota kecil.
Yang menjadi ketimpangan antara
perguruan tinggi negeri dan mahasiswanya salah satunya adalah sebagian besar
atau boleh dikatakan semua PTN baik PTN Kemdikbud maupun PTN Kemenag berada di
perkotaan yaitu di ibukota provinsi. Sedangkan sebagian besar mahasiswanya
berasal dari pedesaan, kabupaten atau kota kecil seIndonesia. Sampai di sini
masalahnya belum begitu krusial. Masalah menjadi krusial ketika fakultas dan
jurusan di dalamnya ternyata memiliki habitat dan alam penerapan non perkotaan alias
di pedesaan tapi tempat belajarnya di perkotaan seperti jurusan pertanian,
peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan dan kelautan. Suasana perkotaan
akan mematikan ruh alam pedesaan tempat habitat dan penerapan fakultas dan
jurusan agraris dan maritim tersebut. Hal itu bisa terlihat ketika para sarjana
berbasis pertanian justru tidak bekerja di bidang pertanian tapi justru bekerja
di jenis pekerjaan perkotaan seperti bank, asuransi dan lainnya.
UIN baru harus dikelola dengan
rekayasa sistematik di mana fakultas dan jurusan non agama yang akan dibentuk harus
memiliki kesesuaian dengan tempat domisili kampusnya dan memiliki suasana
kebatinan untuk menerapkan ilmunya di tempat yang semestinya. Fakultas dan
jurusan baru berbasis agraris dan maritim seperti jurusan pertanian,
peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan dan kelautan harus didirikan di
daerah pedesaan sesuai potensi daerahnya. Dengan demikian maka selama 8
semester menempuh pendidikan mereka akan akrab dengan suasana pedesaan. Selain
itu pula dilakukan rekayasa sistematis untuk menanamkan semangat wirausaha
agraris dan maritim dengan memasukkan mata kuliah wirausaha dan prakteknya
sehingga pada masa menjalani pendidikan mereka sudah direkayasa untuk bisa
membuktikan bahwa wirausaha agraris dan maritim ternyata bisa menghasilkan uang
banyak melebihi daripada menjadi karyawan di perusahaan.
Hal ini juga bisa mendukung
pencapaian swasembada pangan yang kini menjadi masalah bangsa.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
20 november 2013.
- * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar