Senin, 03 Februari 2014

10 Tahun KPK : Saatnya Evaluasi dan Introspeksi



Tidak akan ada yang memungkiri bahwa KPK untuk saat ini dan beberapa tahun ke depan sudah menjadi lembaga yang paling dibanggakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Sejak berdiri tahun 2003 sampai sekarang sudah berumur 10 tahun. Sebuah umur yang demikian lama untuk sebuah lembaga yang dilahirkan bukan untuk niatan berdiri selamanya.

Pada periode ketiga kemimpinan KPK, patut direnungkan tentang perjalanan keberadaan KPK baik perjalanan yang telah lalu maupun perjalanan ke depan. Apakah perjalanan KPK sudah sesuai dengan cita-cita reformasi dan cita-cita para pendiri dan penggagas berdirinya KPK.

Hal pertama yang harus dievaluasi adalah struktur dari KPK itu sendiri. Struktur dan tugas pokoknya sedemikian luas dengan beban koordinasi dengan seluruh lembaga penegak hukum. Terbatasnya SDM, anggaran dan struktur yang hanya ada di Jakarta membuat KPK harus membuat skala prioritas di atas prioritas. Banyaknya kasus hukum yang melibatkan elit penting negeri ini terutama pada mega skandal ditambah semakin menumpuknya kasus yang diungkap, belum selesai yang satu sudah datang lagi kasus yang lain, membuat kinerja KPK lebih dominan pada penindakan. Padahal KPK terdiri dari 4 deputi yaitu deputi penindakan, deputi pencegahan, deputi infornasi dan data, deputi pengawasan internal dan pengaduan masyarakat ditambah dengan sekretariat jenderal.


Tindakan pencegahan jauh tenggelam di bawah bayang-bayang penindakan. Sudah banyak kritik tentang hal ini di mana penindakan belum menghasilkan konsep pencegahan korupsi yang memadai. Saya tidak paham bagaimana proses rekrutmen SDM di KPK namun yang saya amati KPK didominasi oleh para penyidik KPK yang berasal dari unsur kepolisian dan kejaksaan. Lembaga kepolisian dan lembaga kejaksaan adalah lembaga yang dominan penindakan. Saya melihat bahwa rekrutmen dari kepolisian dan kejaksaan ini menjadi salah satu penyebab kenapa KPK lebih dominan bertindak penindakan. Sedangkan rekrutmen pada pucuk pimpinan KPK sendiri didominasi dari unsur kepolisian, kejaksaan, LSM, pengacara dan perguruan tinggi. Rekrutmen dan seleksi pimpinan KPK juga mengedepankan kapasitas di bidang hukum. Namanya hukum sudah barang tentu bukan mencegah tapi menindak.

Dari uraian singkat di atas maka saya melihat bahwa anatomi KPK yang demikian akan terus melahirkan penindakan, bukan pencegahan.

Bila kita ingin melihat penampilan KPK dalam bentuk pencegahan maka deputi pencegahan harus diisi oleh unsur birokrasi dan pengusaha. Tindak pidana korupsi melibatkan unsur dominan yaitu oknum birokrasi dan oknum pengusaha. Walaupun ada unsur politisi sebagai oknum namun unsur ini mempergunakan oknum pengusaha sebagai mitra strategisnya. Bagaimanapun juga berbagai model dan modus korupsi lebih dikuasai oleh para oknum birokrat dan oknum pengusaha. Maka yang bisa memberantas dan mencegah korupsi adalah pelakunya sendiri yaitu oknum birokrat dan oknum pengusaha. Satu-satunya yang menjadi kelemahan oknum birokrat dan oknum pengusaha ini adalah penyadapan, selain itu mereka bisa atasi. Seandainya KPK tidak diberi kewenangan penyadapan maka saya yakin KPK juga tidak berdaya menghadapi oknum birokrat dan oknum pengusaha ini. Oleh karena itu saya melihat bahwa SDM di deputi pencegahan harus ditata ulang dan merekrut para birokrat dan pengusaha dari berbagai sektor baik itu sektor anggaran, sektor pemilihan pejabat, sektor tender, sektor kontrak pengadaan dan lainnya. Bagaimana mereka bermain dan bagaimana cara mencegahnya maka para birokrat dan pengusahalah yang memahaminya. Deputi pencegahan sendiri saya melihat harus dipegang oleh dari unsur birokrasi. Bila prioritas di bidang tender maka deputi yang direkrut harus berasal dari birokrat yang berpengalaman dari bidang tender, demikian juga bila prioritasnya yang lain.

Hal kedua yang saya soroti adalah kerjasama antar lembaga. KPK hanya ada di Jakarta dan SDM yang dimilikinya kira-kira 700-800 orang. Sudah tentu SDM yang sangat terbatas ini takkan mampu menjangkau dengan rentang kendali Sabang sampai Merauke. Di sini arti penting kerjasama antar lembaga. Selama ini kerjasama antar lembaga yang dilakukan masih seputar kejaksaan dan Polri saja. Sudah waktunya kerjasama antar lembaga ini dikembangkan dengan lembaga inspektorat baik itu inspektorat pemerintah daerah ataupun inspektorat jenderal kementrian. Kerjasama ini terutama dalam pengembangan pencegahan dan monitoring kelembagaan pemerintahan.

Hal ketiga adalah semakin banyaknya kritik terbuka kepada KPK baik itu dari para politisi maupun para tokoh nasional. Kritik di sini saya lihat masih berada pada batas kritik membangun dan kritik pertanda kecintaan kepada KPK. Apalagi sebagian kritik yang menghadapkan KPK dengan Kuhap. Tentu ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Kritik yang tak kalah pentingnya adalah semakin heroik KPK bertindak justru korupsi semakin tumbuh subur di tempat dan waktu yang berbeda serta bermutasi dengan cara yang acak dan seperti jurus mabuk tak terduga gerakannya. KPK bisa mengadakan seminar atau diskusi tertutup dengan mengundang para tokoh yang selama ini kritis terhadap KPK dengan maksud dan tujuan yang sama yaitu semakin membawa KPK pada khittah pendiriannya.

Dalam usia yang kesepuluh ini saatnya KPK melakukan evaluasi perjalanan masa lalu dan menyusun langkah ke depan dengan semangat introspeksi diri. Tujuan pendirian KPK adalah hanya menjadi lembaga sementara sampai kejaksaan dan kepolisian bisa bertambah kuat. Semakin cepat KPK menyelesaikan tugasnya sesuai cita-cita pendiriannya akan berbanding lurus dengan semakin cepat kita berhadapan dengan KPK jilid terakhir.

KPKmu, KPKku, KPK kita semua.

Salam reformasi

Rahmad Daulay

3 februari 2014.

***.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar