Jumat, 19 Juli 2013

LP Ada Apa Denganmu


Sering dalam beberapa ucapan ancaman kita dengan seperti berikut : “awas, kupenjarakan kau!”. Namun belum pernah kita mendengar acaman seperti ini : “awas, kuLPkan kau!”. Tentu ini memiliki perbedaan makna yang mendalam.

Entah apa maksudnya penjara diganti dengan lembaga pemasyarakatan, namun kejadian kerusuhan dan pembakaran di LP Tanjung Gusta Medan Sumatra Utara yang menyebabkan sebagian besar napi melarikan diri walaupun sebagian di antaranya menyerahkan diri dan ditangkap kembali membuat kita harus merenungi kembali makna dari sebuah nama lembaga pemasyarakatan.

Kondisi yang ada pada sebuah lembaga pemasyarakatan bernama LP Tanjung Gusta Medan adalah over kapasitas, kapasitasnya hanya 1.050 orang tapi dihuni oleh lebih dari 2.500 orang. Listrik mati. Air bersih kosong. Aturan remisi yang demikian ketat. Entah apalagi yang melatarbelakangi dan ini semua terakumulasi dan meledak menjadi kerusuhan dan pembakaran.


Harus kita renungi kembali betapa rangkaian perjalanan menuju penjara seorang napi sudah demikian menguras anggaran negara. Mulai dari tindak pidana yang dilakukan sudah jelas merugikan orang lain. Proses penyidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan sudah jelas menguras anggaran negara karena para polisi, jaksa, hakim dan komponen penegak hukum lainnya harus digaji dan diberi fasilitas lainnya dalam melakukan proses penegakan hukum. Dan ketika putusan sudah final dan terjadi eksekusi, sang napi kembali menguras anggaran negara karena harus memberi makan minum, listrik, air bersih, gaji penjaga penjara, dan banyak lagi pengeluaran negara untuk para napi.

Setelah selesai menjalani hukuman maka ternyata tidak ada jaminan bahwa tindak kejahatannya tidak akan diulangi kembali. Hari hari yang dijalani di penjara ternyata tidak membuat jera.

Oleh karena itu maka perlu kiranya dipikirkan format baru pembinaan di lembaga pemasayarakatan. Perbedaan istilah penjara dan lembaga pemasyarakatan harus terbukti nyata dan bukan hanya hiasan mimpi.

Bagaimanapun juga para napi memiliki bakat yang terpancar maupun terpendam. Perlu dilakukan psikotest kepada seluruh napi untuk mengetahui bakat yang sebeanrnya. Bisa jadi ternyata mereka memiliki bakat petani, bakat peladang, bakat seni budaya, bakat olahraga, bakat melaut dan bakat lainnya. Nah, kenapa bakat-bakat ini dikembangkan saja di LP ?

Perlu dilakukan spesialisasi LP, seperti LP pertanian, LP perikanan, LP perkebunan, LP seni budaya, LP olahraga dan lainnya. Spesialisasi LP dan penghuninya tentu akan memberi peluang tobat dan peluang bekerja wirausaha kepada para mantan napi setelah bebas kembali ke masyarakat. Terutama bagi napi yang menunjukkan prestasi dan pertobatan yang baik bisa diberi kebebasan bersyarat setelah menjalani masa hukuman 2/3 dengan catatan bila mengulangi kembali perbuatannya maka hukumannya akan dilipatgandakan.

Dengan demikian maka di samping bisa menghemat anggaran negara juga bisa memberi pemasukan dan keterampilan kerja bagi para napi.

Dan tentunya kejadian kerusuhan dan pembakaran LP seperti LP tanjung Gusta medan tidak akan terulang kembali.

Salam reformasi.

Rahmad Daulay

19 juli 2013.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar