Sering dalam beberapa ucapan ancaman kita dengan
seperti berikut : “awas, kupenjarakan kau!”. Namun belum pernah kita mendengar
acaman seperti ini : “awas, kuLPkan kau!”. Tentu ini memiliki perbedaan makna
yang mendalam.
Entah apa maksudnya penjara diganti dengan lembaga pemasyarakatan,
namun kejadian kerusuhan dan pembakaran di LP Tanjung Gusta Medan Sumatra Utara
yang menyebabkan sebagian besar napi melarikan diri walaupun sebagian di
antaranya menyerahkan diri dan ditangkap kembali membuat kita harus merenungi
kembali makna dari sebuah nama lembaga pemasyarakatan.
Kondisi yang ada pada sebuah lembaga pemasyarakatan
bernama LP Tanjung Gusta Medan adalah over kapasitas, kapasitasnya hanya 1.050
orang tapi dihuni oleh lebih dari 2.500 orang. Listrik mati. Air bersih kosong.
Aturan remisi yang demikian ketat. Entah apalagi yang melatarbelakangi dan ini
semua terakumulasi dan meledak menjadi kerusuhan dan pembakaran.
Harus kita renungi kembali betapa rangkaian
perjalanan menuju penjara seorang napi sudah demikian menguras anggaran negara.
Mulai dari tindak pidana yang dilakukan sudah jelas merugikan orang lain.
Proses penyidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan sudah jelas menguras
anggaran negara karena para polisi, jaksa, hakim dan komponen penegak hukum
lainnya harus digaji dan diberi fasilitas lainnya dalam melakukan proses penegakan
hukum. Dan ketika putusan sudah final dan terjadi eksekusi, sang napi kembali
menguras anggaran negara karena harus memberi makan minum, listrik, air bersih,
gaji penjaga penjara, dan banyak lagi pengeluaran negara untuk para napi.
Setelah selesai menjalani hukuman maka ternyata
tidak ada jaminan bahwa tindak kejahatannya tidak akan diulangi kembali. Hari
hari yang dijalani di penjara ternyata tidak membuat jera.
Oleh karena itu maka perlu kiranya dipikirkan
format baru pembinaan di lembaga pemasayarakatan. Perbedaan istilah penjara dan
lembaga pemasyarakatan harus terbukti nyata dan bukan hanya hiasan mimpi.
Bagaimanapun juga para napi memiliki bakat yang
terpancar maupun terpendam. Perlu dilakukan psikotest kepada seluruh napi untuk
mengetahui bakat yang sebeanrnya. Bisa jadi ternyata mereka memiliki bakat
petani, bakat peladang, bakat seni budaya, bakat olahraga, bakat melaut dan
bakat lainnya. Nah, kenapa bakat-bakat ini dikembangkan saja di LP ?
Perlu dilakukan spesialisasi LP, seperti LP
pertanian, LP perikanan, LP perkebunan, LP seni budaya, LP olahraga dan
lainnya. Spesialisasi LP dan penghuninya tentu akan memberi peluang tobat dan
peluang bekerja wirausaha kepada para mantan napi setelah bebas kembali ke
masyarakat. Terutama bagi napi yang menunjukkan prestasi dan pertobatan yang
baik bisa diberi kebebasan bersyarat setelah menjalani masa hukuman 2/3 dengan
catatan bila mengulangi kembali perbuatannya maka hukumannya akan dilipatgandakan.
Dengan demikian maka di samping bisa menghemat
anggaran negara juga bisa memberi pemasukan dan keterampilan kerja bagi para
napi.
Dan tentunya kejadian kerusuhan dan pembakaran LP
seperti LP tanjung Gusta medan tidak akan terulang kembali.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
19 juli 2013.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar